[18 - Cafe Celalurame]

742 41 1
                                    

Qiana hampir mati kelelahan. Dia sibuk di kampus seharian. Mengisi materi di tiga kelas, dan berurusan dengan prof. Simon yang memberinya lebih banyak tugas pada penelitian terbaru mereka.

Walaupun begitu, bekerja sebagai asisten dosen mendatangkan banyak rezeki lebih dari yang ia bayangkan. Prof. Simon juga sangat dermawan dan suka memberinya dana lebih jika pekerjaan Qiana bagus dan lebih cepat. Namun akhir - akhir ini pekerjaannya terlalu banyak. Qiana bahkan ketiduran di sofa tanpa membersihkan wajah dan bajunya.

Arkana memungut tas Qiana yang jatuh dari sofa. Dia bermaksud baik namun wanita itu langsung membuka matanya saat mendengar langkah kakinya.

"Tidur di kamar sana. Punggungmu bisa sakit."

"Perhatian sekali kamu Arka," ujar Qiana sambil tersenyum gemas. Dia tidak menyia - nyiakan kesempatan untuk menunjukkan rasa senangnya di depan Arkana.

"Aku hanya tidak ingin tamuku menderita. Bayangkan saja pemandangan yang pertama kali dilihat mereka adalah seekor paus yang terdampar."

Qiana langsung mencebik lalu memutar matanya malas. Kemudian ia meraih ponselnya yang ada di saku celananya. Masih dengan posisi yang sama, Qiana memeriksa jadwal esok hari.

"Aku harus membuat presentasi dan menyiapkan bahan untuk seminar besok. Tapi aku nggak punya tenaga."

"Tidak usah datang saja kalau capek. Kamu terlalu memaksakan diri. Manusia menghabiskan malam untuk tidur dan istirahat. Tapi kamu malah sibuk bekerja seperti tidak ada hari esok."

Qiana menyimpan ponselnya dan tidur miring menghadap Arkana. Laki - laki itu sedang memangku gitar. Memetik beberapa kunci dan menulis beberapa kata di buku tulisnya.

"Lalu bagaimana denganmu? Bukankah kamu juga masih kesusahan tidur di malam hari?"

Arkana tidak menjawab. Dia memilih untuk tetap fokus pada gitar dan lirik di bukunya. Qiana pun mencari jawabannya sendiri. Dia memperhatikan laki - laki itu cukup lama dan mudah saja menemukan kantung mata hitam itu. Arkana tidur setelah jam 3 pagi dan bangun saat adzan subuh berkumandang. Jika dihitung, itu kurang dari dua jam dan hal itu berulang hampir setiap hari.

"Kenapa lihat - lihat?"

"Aku cuma lihat doang." jawab Qiana lalu tetap saja menonton permainan Arkana.

Laki - laki itu memiliki kulit bersih sedikit kecoklatan khas Indonesia. Namun hidung dan beberapa fitur wajahnya sedikit mengarah ke Jerman. Negara asal Arman. Qiana tidak tahu jelas apa itu tapi menurutnya Arkana sangat tampan. Mungkin pembawaannya yang tenang, tatapannya yang tajam dan terkadang lembut, atau mungkin karena caranya berpikir atau mimpinya.

Jika diingat kembali, Alifia memiliki sebagian besar fitur Jerman dalam keluarganya. Rambut sedikit pirang dan mata warna terang persis seperti Arman. Arsyaka memiliki wajah khas jawa seperti Suci dan memiliki senyuman paling manis diantara ketiganya. Yang terakhir adalah Arkana, yang campuran dari keduanya.

Qiana menggelengkan kepala agar lamunannya buyar. "Kayaknya tenagaku akan penuh setelah mendengar lagumu. Aku tahu kamu sudah selesai membuatnya. Aku juga tahu kamu akan mengabulkan permohonanku. Kali ini saja," pintanya.

Arkana hanya menatapnya lalu kembali fokus pada jarinya yang ada di leher gitar. Laki - laki itu tidak membuka mulutnya. Dia terus memetik satu kunci dan kunci lain tanpa mengeluarkan sedikit pun suara.

"Kamu masih kesusahan tidur." Ujar Qiana tiba - tiba. Respon yang ia dapat pun masih sama saja. Qiana berdecak sebelum mengatakan, "Your undereyes are getting darker. Why don't you go to the doctor?" Tanya Qiana, mungkin Arkana akan menjawabnya jika ia bicara dengan bahasa Inggris.

SINCERELY YOURSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang