[2 - Secangkir kopi]

1.7K 70 0
                                    

Arkana berjalan tertatih ke ambang pintu kamar. Matanya masih berat dan ia sangat butuh tidur yang lebih panjang. Namun suara keras itu tak kunjung berhenti.

Asalnya dari dapur rumah. Dia menemukan punggung seorang perempuan. Mengenakan kemeja biru yang lengannya di tekuk hingga siku. Dia menyanggul rambutnya ke atas sehingga belakang lehernya yang bersih di hiasi oleh anak rambut.

"Pagi." sapa Qiana dengan senyuman cerah.

Arkana baru ingat kalau dia sudah menikah kemarin. Wanita ini istrinya dan dia akan berada di rumahnya sepanjang hidup. Memikirkan hal itu saja sudah membuat hari Arkana semakin buruk. Dia pun berjalan ke belakang namun langkahnya di halangi oleh Qiana.

"Aku tadi masak opor ayam, coba cicipi dulu." pinta Qiana seraya meletakkan sendok berisi kuah di depan bibir Arkana.

"Aku nggak suka ayam."

Penolakan Arkana membuat Qiana murung seketika. "Tapi mama bilang kamu suka banget sama opor ayam. Kenapa tiba - tiba nggak suka ayam?"

"Menurutmu kenapa?" tanya balik Arkana lalu ia kembali berjalan dengan mantap ke bagian belakang rumah. 

Qiana menatap kuah di sendok lalu menyicipinya sendiri. Dia mengangguk puas dan merapikan sisa bahan makanan sambil sesekali menatap ke belakang. Menunggu Arkana kembali muncul di hadapannya.

Arkana muncul dengan wajah yang lebih segar. Dia meletakkan handuk ke lehernya dan Qiana tidak menghabiskan sedetik pun untuk menarik perhatian pria itu.

"Arka." panggil Qiana sebab Arkana terus berjalan melewatinya.

"Bisa minggir gak?!" bentak Arkana dengan keras.

Qiana sampai terkejut setengah mati. Namun bukan Qiana namanya jika ia takut hanya karena satu bentakan. Dia tidak gentar sebab ada tugas yang harus ia laksanakan yaitu berperan sebagai istri yang sempurna.

"S-sarapannya udah siap."

Arkana menghela nafas dan meninggalkan dapur sambil menyisir ke belakang rambutnya. Dia benar - benar tidak tahan dengan segala sikap Qiana. 

Qiana menahan lengan laki - laki itu sekali lagi. Yang langsung ia lepas setelah Arkana menatapnya tajam. "A-aku mau pergi ke kampus habis ini." ucapnya dengan hati - hati.

"Terserah kamu Qiana. Pergi ya pergi aja, kalau bisa nggak usah kembali."

Qiana kembali cemberut mendengar itu. Dia membiarkan Arkana berjalan menuju ruang tamu. Sebelum terlambat menghadiri kelas, Qiana melepas apron dan mengaduk isi gelas untuk melarutkan gula. 

Setibanya Arkana di depan TV, Qiana segera menghampirinya bersama secangkir kopi hitam. Kali ini Arkana masih mendapat senyuman dari Qiana. Namun bukan balasan senyum yang Qiana dapatkan, melainkan dua alis berkerut tanda tidak suka.

"Apa ini?"

"Kopi." jelas Qiana penuh kesabaran. "Secangkir kopi di pagi hari. Sarapan yang siap di santap dan senyuman seorang istri. Katanya hal itu selalu di dambakan para laki - laki. Aku melakukan kerja yang bagus kan?" tanyanya menunggu persetujuan.

Qiana harusnya tidak menanyakan hal itu. Dia tahu jelas jawaban Arkana seperti apa namun ia malah berkata demikian. Hal itu hanya akan membuatnya terluka. Seperti saat ini, Arkana malah menertawakannya.

"Kamu berusaha terlalu keras. Sebenarnya apa tujuan kamu setuju menikah denganku Qiana?"

Qiana tidak ingin menjawab hal itu. Kalau Arkana tahu dia setuju karena dulu pernah menyukainya, Arkana akan semakin membencinya. Qiana memilih untuk kabur dengan alasan telat masuk kelas.

SINCERELY YOURSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang