[27 - wejangan]

606 38 0
                                    

Arkana berdiri di samping hospital bed. Ia memperhatikan ayahnya yang terbaring lemah. Mulai dari tangan kurus dan ringkih yang dipasang alat infus sampai ujung rambut Arman yang mulai memutih. Keriput matanya semakin jelas terlihat. Jejak perjuangannya tampak jelas di wajah pria paruh baya itu. Guratan - guratan membuatnya terlihat bijaksana dan semakin tua. Tubuh yang dulu tegap dan kekar kini menjadi semakin kurus diserap oleh penyakit.

"Kenapa nak?" Arman menatap putranya itu dengan tatapan sayu. Dia tidak tahu apa yang anak laki - lakinya itu maksud jika ia tidak bersuara. Namun jika disuruh menebak, sepertinya Arman tahu apa isi pikiran putranya. "Apa kamu mengasihaniku?"

Arkana percaya manusia bukan mahkluk yang fana. Suatu saat semua orang pasti akan mati. Dia tidak meragukan hal itu sedikit pun. Namun ia tidak pernah membayangkan hal itu akan terjadi secepat ini. "Sungguh mengerikan cara kerja penyakit ini, kanker!" keluh Arkana.

"Kudengar kanker sebagian disebabkan oleh pola hidup atau genetik. Kalau saja papa tidak sibuk mengurus bisnis dari pagi sampai malam. Kalau saja papa menyempatkan diri memeriksa kesehatan, kanker ini pasti dapat dicegah. Pasti tidak akan separah ini!"

Arman berdecak, "Kamu tahu itu, kenapa kamu membiarkan ayahmu ini sibuk sendirian? Kamu memarahiku tanpa memberi solusi, menurutku ini semua sudah jalannya seperti ini. Tapi jujur saja papa sedikit menyalahkanmu."

Arkana tidak tahu harus berkata apa. Dia tidak bermaksud ingin egois dan membuat Arman menjadi seperti ini. Keinginannya tidak lain ingin Arman segera membimbing Arsyaka untuk menggantikan posisinya. Fisik Arsyaka memang tampak seperti anak berandalan lebih darinya. Tato di lengan, bekas tindik di telinga atau alis yang dicukur. Itu semua akan tampak mencolok jika dibandingkan dengan penampilan Arkana yang bersih dan rapi. Namun kalau masalah otak dan kepribadian, Arkana akui kalau dia jauh lebih brengsek dari Arsyaka.

Keinginannya mungkin saja tidak akan didengar. Arman menyayangi Arsyaka seperti anaknya sendiri namun dia tidak menaruh harapan lebih padanya. Tidak sebesar harapannya kepada Arkana, bahkan Arsyaka masih dianggap sebagai anak remaja oleh Arman atau Suci.

Arman batuk beberapa kali bahkan semakin lama semakin parah. Dengan sigap Arkana mengambil segelas air putih di atas meja lalu mengarahkan mulut sedotan pada bibir ayahnya. Pria itu pun berhasil membasahi tenggorokannya dan akhirnya bisa menghela nafas lega.

"Dulu aku sering berpikir kalau menjadi sakit, tua atau lemah itu sebuah aib atau kutukan. Tapi sekarang mulai terasa seperti rahmat, kata Qiana sakit bisa menggugurkan dosa. Sakit bisa juga diartikan sebagai teguran, agar kembali mendekatkan diri kepada-Nya. Kata - kata itu sudah sering kudengar namun Qiana mengatakannya dengan sangat lembut dan penuh kasih." Arman menyunggingkan senyum ketenangan.

"Sungguh luar biasa perempuan itu! Dia pandai merayu, bertutur kata lembut dan penuh empati. Sungguh anak perempuan yang baik!" Pujian Arman pada Qiana disela oleh suara batuk, sehingga pria paruh baya itu mengelus dadanya.

"Dosaku," gumam Arman. "Mungkin benar kalau dosaku sudah terlalu banyak. Kalau harus menderita agar segala kesalahan - kesalahan itu gugur, aku pasti manusia paling beruntung. Sekarang tolong kabulkan permintaanku. Kamu harus menjaga mereka kalau papa pergi."

Arkana menghela nafas, "Nggak usah bawa - bawa mati pah!"

"Tidak, kamu yang harus mendengarkan papa. Mamamu yang lembut hatinya, kakakmu yang belum juga menikah, Arsyaka bahkan Qiana harus kamu jaga. Begitu pula para pekerja yang mencari nafkah di perusahaan papa. Mereka semua membutuhkanmu Arka."

Arkana menghela nafas lagi. Dia berpegangan pada tepi kasur dan menopang tubuhnya dengan kedua tangan. Dia menundukkan kepalanya dan menggelengkan kepala beberapa kali. "Tidak - tidak, papa pasti sembuh, harus sembuh! Aku nggak bisa pah! Aku belum siap, mungkin nggak akan siap memegang tanggung jawab sebesar itu. Papa sudah lupa? Apa kejadian dulu itu tidak membuat papa jera? Apa bencana waktu itu belum cukup membuktikan kalau aku tidak kompeten?"

SINCERELY YOURSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang