[3 - primadona kampus]

1.3K 55 0
                                    

"Qiana, ada yang cari kamu. Cowok ganteng banget di depan fakultas."

Qiana memeriksa ponselnya. Ada banyak sekali panggilan telepon dari Arkana. Bukannya dia tidak tahu, Qiana sengaja mengabaikannya lantaran masih sakit hati. Teman satu kelasnya itu menarik tangannya menuju jendela kelas.

"Kamu kenal cowok itu? Siapa dia Qi?"

Qiana mengangkat telepon dan benar - benar mengabaikan pertanyaan temannya.

"Kamu yang turun atau aku yang nyeret kamu dari sana?" ancam Arkana.

Qiana mengerutkan dahinya. Perkataan Arkana sangat seram dan ketika melihat kembali rupa pria itu di bawah sana, Qiana tahu kalau Arkana sedang tidak main - main.

"Maaf Kinanti, aku pergi dulu. Makasih ya semalam sudah ngizinin aku nginap."

Qiana tidak memberikan jawaban yang dibutuhkan Kinanti. Wanita berambut gelombang yang sibuk mengisir poninya itu pun menyenggol bahu temannya yang baru saja muncul dari ambang pintu kelas.

"Kenapa Qiana lari - lari?"

"Qiana punya cowok! Cowok Arsya! Tega banget dia nggak pernah cerita sama kita!" ujar Kinanti heboh lalu menarik tangan temannya itu ke dekat jendela. Sama seperti yang ia lakukan barusan pada Qiana.

Arsyaka menarik sudut bibirnya penuh arti. Melihat itu membuat Kinanti mengerutkan dahinya curiga. "Kok kamu nggak kaget?" tanya Kinanti heran dan sedikit kesal.

"Udahlah, nanti pasti Qiana cerita sendiri pas waktunya tepat. Qia kan memang begitu, dia pasti punya alasan nggak cerita sama kita."

Setelahnya Arsyaka merangkul Kinanti dan mengalihkan perhatian temannya yang kepo itu dengan cafe baru yang dibuka di kota. Sementara itu Qiana cepat - cepat menuruni anak tangga. Sesampainya di depan laki - laki itu, dia menarik Arkana dengan cepat agar cepat menjauh dari area fakultasnya.

"Kamu ngapain datang kesini?"

Arkana mengeraskan rahangnya. Dia menatap kedua mata hitam Qiana dalam - dalam. Wanita itu mudah sekali takut padanya dan dia tahu itu.

"Kamu laporin apa aja ke Arman?"

Qiana meremas tali tas bahunya. Dia tidak berani menatap mata Arkana lagi. Qiana menatap ke depan, tepat di dada Arkana. Arman? Rasanya Qiana pernah mendengar nama itu.

"Hei ngomong sesuatu."

"Arman itu maksudnya papa kamu?" tanya Qiana ragu - ragu. Mana mungkin ada anak yang berani memanggil orang tuanya dengan nama saja? Tidak kan?

"Kamu ngomong apa aja ke bapakku Qiana?"

"A-aku nggak ngomong apa - apa."

Qiana terus menerus menatap sekeliling. Dia khawatir mereka akan dijadikan tontonan publik. Belum lagi perdebatannya mereka pasti akan di dengar dan dijadikan gosip oleh orang lain.

Arkana menyentil dahi Qiana hingga perhatian wanita itu kembali padanya. "Fokus padaku, katakan yang sejujurnya."

"Kalau kamu tidak mengatakan apapun, darimana Arman tahu masalah kemarin malam? Hah? Menurutmu dari siapa kalau bukan dari kamu?"

Qiana memegangi dahinya yang terasa sakit. "Aku nggak punya pilihan lain." gumamnya pelan.

Arkana melirik orang berpakaian anak muda di bangku dekat mereka. Orang itu sedang membaca bukunya secara terbalik dan sesekali mengintip mereka dengan cara yang paling mencurigakan.

"Ikut aku dan nggak usah banyak tanya." perintah Arkana lalu menarik tali tas Qiana hingga tubuh Qiana ikut tertarik. Qiana jadi harus ikut menyamai kecepatan langkah Arkana. Batu kerikil menyandung kaki Qiana dan Arkana langsung merangkul bahunya.

SINCERELY YOURSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang