[13 - look alike]

795 42 0
                                    

Arkana menekan tombol angka 4 pada lift. Tidak ada orang lain di lift ini selain mereka berdua. Qiana melepas genggaman tangan Arkana lalu melipat tangannya di depan dada.

"Ekhem." deham Arkana sedikit canggung lalu kembali menatap ponselnya.

Qiana menatap lurus ke depan. Memperhatikan pantulan wajahnya sendiri dari pintu lift. Dia menunggu Arkana memberikan penjelasan atas tindakan bodohnya barusan. Tapi tidak ada satu pun kata keluar dari mulut laki - laki itu.

"Kenapa berantem sama Arsya?" tanya Qiana, gagal menahan rasa penasaran.

Arkana memasukkan ponsel ke dalam saku celana. Dia bersandar pada besi pegangan di dalam lift dengan tangan di lipat sama seperti Qiana. Dia memperhatikan Qiana hingga wanita itu melirik dan menatapnya.

Jika saja pernikahan ini tidak terjadi, Arsyaka bisa saja berakhir dengan Qiana. Hal itu sangat mungkin terjadi sebab Arsyaka termasuk laki - laki yang tidak sembarang jatuh cinta. Dia mengenal Arsyaka dengan baik. Laki - laki itu memiliki tekad dan suka berobsesi jika sudah menyukai sesuatu.

Dulu ada sebuah motor mainan. Arsyaka sangat menginginkannya hingga dia pun menabung demi mendapatkan mainan itu. Arkana sudah mengiminginya dengan es krim tapi Arsyaka tetap teguh akan menyimpan uangnya. Seminggu kemudian dia baru bisa membeli mainan itu dan dia menjaganya sampai sekarang.

Arsyaka bisa mengorbankan segalanya untuk mendapatkan apa yang ia inginkan. Malam ini ia melihat seberapa besar perasaan Arsyaka pada Qiana. Wanita di depannya ini memiliki sesuatu yang sangat Arsyaka inginkan atau kagumi. Dia jadi ingin tahu apa itu.

"Sudah berapa lama temenan sama Arsya?"

Qiana menoleh dan menautkan alisnya hingga dahinya berkerut. Dia terdiam sejenak. "Aku yang nanya duluan, kamu seharusnya menjawab bukannya bertanya balik." ujarnya.

Lift berhenti dan pintu terbuka. Arkana berdiri tegap dan menunggu Qiana akhirnya keluar dari sana duluan. Dengan berat hati Qiana beranjak walaupun tidak mendapatkan jawaban dari laki - laki itu. Biasanya Arsyaka tidak pernah semarah itu tapi malam ini berbeda.

Qiana hanya tidak bisa melupakan kejanggalan itu begitu saja. Arkana mengikutinya dan berjalan sejajar dengannya berkat langkah lebarnya itu. Dia kembali fokus pada ponselnya. Qiana malas rasanya ingin bertanya lagi. Arkana tampaknya tidak ingin membicarakan hal itu.

"Apa nggak bisa kita pulang dan tidur di rumah saja?" tanya Qiana di tengah perjalanan.

"Lakukan itu dan mertuamu akan marah esok hari." balas Arkana.

Arkana bukan malas bicara. Dia memang tidak ingin membahas alasan ia berkelahi dengan Arsyaka barusan. Qiana yakin masalah mereka sangat penting atau sangatlah sepele.

"Lagi pula kasur di hotel ini sama nyamannya dengan di rumah. Kenapa kamu sangat ingin pulang?" tanya Arkana heran, Qiana selalu semangat tentang pulang ke rumah.

"Aku suka aja, pulang.." gumam Qiana memelan. Tiba - tiba suaranya hilang bersamaan dengan menurunnya fokus tentang hal yang sedang dibahas. Arkana menunggu kelanjutannya hingga ia bertanya, "Pulang terus kenapa?" tanyanya.

Qiana mengangkat bahunya. "Aku lupa mau ngomong apa. Pokoknya aku suka saja," jelas Qiana seadanya. Dia menyerah menggali alasan apa yang membuatnya suka dengan rumah.

"Mungkin rasanya kayak 'aku pulang' gitu." gumam Qiana lagi sambil mengetukkan jari telunjuk di pipinya.

"Aku nggak ngerti apa yang kamu maksud," balas Arkana. Dia tidak bisa menebak apa yang dilihat Arsyaka dari Qiana. Dia cantik tapi menurutnya wanita ini memiliki wajah yang mudah dilupakan. Dia pintar tapi terkadang bisa ceroboh dan bodoh seperti barusan.

SINCERELY YOURSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang