Bagian 6

2.3K 220 10
                                    


Untuk pertama kalinya, Jungwon tidak ingin pergi keluar kamar dan bertemu papa. Sedari kejadian dirinya mengamuk dan dicekik papa tadi, Jungwon tidak berani untuk sekadar menunjukkan wajahnya di luar kamar. Hal yang sedari tadi ia lakukan hanyalah duduk meringkuk sembari memeluk kedua kakinya yang tertekuk.

Tidak ia pedulikan ketukan pintu kamarnya yang dia duga itu adalah bibi dan sudah pasti wanita paruh baya itu menyuruhnya untuk keluar.

"Den Jungwon, sudah malam. Ayo makan dulu."

"Aden ...."

Jungwon mendengar itu semua, tapi ia tidak ingin keluar. Tubuhnya terasa sangat lemas, bahkan untuk sekadar beranjak naik ke kasurnya saja dia tidak sanggup.

Sedangkan di luar, bibi tampak khawatir saat sang pemilik kamar tak kunjung membukakan pintu. Sebenarnya, dia sangat khawatir dengan anak laki-laki yang sedari kecil ia asuh itu. Dirinya juga melihat bagaimana tadi Jungwon yang mengamuk.

"Bibi ngapain berdiri di situ?" tanya Heeseung yang baru saja keluar kamar dengan nada datar.

"Nunggu Den Jungwon, Tuan. Dia enggak mau keluar kamar," jawab bibi, sopan.

Heeseung mendengus, tidak peduli dengan bagaimana kondisi anaknya itu. "Nggak usah ditunggu, Bi. Anak enggak tahu diri kayak dia jangan dipedulikan," tandasnya.

Bibi terkejut mendengar ucapan Heeseung, sekalipun dia tahu alasan mengapa majikannya itu seperti ini. Tetap saja, dia tidak menyangka bahwa akan ada keluar kalimat seperti itu dari ayah untuk anak kandungnya.

"Atas nama Den Jungwon, saya minta maaf Tuan. Mungkin Jungwon tadi sedang tantrum, makannya seperti itu," ucap bibi saat melihat Heeseung berjalan menuju lantai bawah.

Bibi tahu persis bagaimana tumbuh kembang Jungwon yang sejak kecil tidak pernah merasakan kasih sayang dari Heeseung. Tantrum mungkin tidak tepat untuk dialami anak seusia Jungwon, tapi, mengingat bagaimana masa kecil Jungwon yang sangat jarang sekali mengekspresikan sebuah rasa, bibi bisa memakluminya.

Jungwon tumbuh dan berkembang tanpa adanya pengawasan. Sekalipun dia menjadi pengasuhnya, bibi tidak bisa selamanya menemani Jungwon saat itu. Jungwon kecil masih tetap menjadi Jungwon yang kesepian bahkan hingga sekarang.

"Saya tidak peduli, Bi."

Bibi memang berusaha memberi Heeseung pengertian. Tapi tetap saja, ayah satu anak itu memang dasarnya keras kepala jadi semua petuah-petuah asisten rumah tangganya itu ia abaikan begitu saja.

Heeseung tidak peduli sekalipun Jungwon tantrum atau apapun itu. Sebab baginya, hadirnya Jungwon sudah tidak ada artinya bagi dirinya sendiri.

Namun, jauh dalam lubuk hatinya yang paling dalam, Heeseung pun masih berusaha meredakan gundahnya. Rasa bersalah yang kian menyeruak saat bayangan sang istri yang ia cekik tadi terus berputar di kepalanya dan mengganggu konsentrasinya.

Oleh sebab itu, ia putuskan untuk ke bawah dan membuat kopi dengan harapan dapat redakan sedikit gundahnya.

"Kangen banget sama kamu sayang," batin Heeseung di sela dirinya yang tengah mengadukan kopi.

Netra itu terlihat sayu dan lelah, meski kantung matanya tidak kentara, tapi dari sorot matanya, mungkin orang akan tahu bahwa Heeseung sedang dalam keadaan tidak baik-baik saja.

"Aku bingung harus bagaimana, Karina," gumamnya.

Karina. Nama yang begitu sakral baginya itu akhirnya ia sebut setelah sekian lama. Sosok perempuan cantik yang menjadi istrinya selama dua tahun ini dan sayangnya sudah pergi sangat jauh sekali.

Heeseung menghela nafas lelah, ia teguk kopinya sedikit sebelum berjalan menuju ruang keluarga dan membuka laci yang ada di lemari sana. Ia mengambil satu album yang tidak terlalu besar lalu duduk di sofa.

Ini adalah album pernikahan mereka.

Di halaman pertama, ada dirinya dan Karina-istrinya itu dengan pakaian khas pengantin. Saat itu, baru saja resmi dia dan Karina menjadi sepasang suami istri. Halaman berikutnya tetap sama, masih dengan pakaian khas pengantin namun dengan warna dan model yang berbeda. Serta, di halaman-halaman selanjutnya, di penuhi dengan foto dari serangkaian acara pernikahan mereka.

Heeseung beralih mengambil album kedua, kali ini adalah album yang berisi bagaimana mereka saat masih muda. Foto-foto ala anak SMA yang berpacaran ada di sana, foto-foto kegiatan-kegiatan yang mereka ikuti saat di kampus pun tercetak dengan jelas.

"Miss you, babe," lirih Heeseung dengan tangan yang mengusap wajah Karina di fotonya.

Karina itu cinta pertama Heeseung saat SMA. Dirinya yang saat itu sedang mencalonkan diri menjadi ketua OSIS, bertemu dengan Karina yang juga melakukan hal yang sama. Lucu sebenarnya, mereka dekat hanya karena kegiatan kampanye dan debat terbuka.

Seperti orang-orang pada umumnya, Heeseung berkeinginan untuk menjadikan Karina sebagai seorang pacar. Maka saat dia berhasil memenangkan gelar ketua OSIS, dirinya langsung mengajak Karina berpacaran.

Kisah cintanya di zaman SMA terbilang mulus, bahkan saat di kampus pun tetap sama meskipun pertengkaran itu selalu ada. Sampai di mana Heeseung yang sudah bekerja dan berniat menjadikan Karina sebagai calon istrinya, dia mendapatkan sebuah tantangan baru, yaitu orang tua Karina yang tidak merestui hubungan mereka.

Dua tahun berjuang, dengan segala usaha dan tekad kuat yang ia punya, akhirnya restu itu Heeseung dapatkan. Maka tanpa pikir panjang ia langsung melamar perempuan yang sudah mengisi hatinya sejak zaman SMA itu dan mengajaknya untuk lebih serius yaitu jenjang pernikahan.

"Boleh ngulang waktu enggak sih, yang?" tanya Heeseung saat matanya melihat foto dia dan Karina yang menggunakan seragam SMA.

Heeseung tiba-tiba menjadi rindu masa-masa itu, masa dimana tidak ada yang perlu ia pikirkan selain proker OSIS dan UTBK.

"Miss you ... aku benar-benar kangen kamu."

Semakin lama melihat album foto yang berisi kenangan antara dia dan Karina, semakin banyak pula rindu yang memupuk di hatinya. Sampai tidak sadar perlahan-lahan air mata itu meluncur keluar dari kedua matanya.

"Aku masih belum bisa terima ...."

Heeseung menangis tergugu seraya memeluk kedua album kenangan yang baru saja ia buka. Kali ini saja, biarkan dia menjadi si lemah yang sedang rindu pada istrinya.

Sedangkan di belakang sana, ada Jungwon yang melihat bagaimana bergetarnya pundak papa. Pundak yang biasanya selalu kokoh itu terlihat sangat rapuh, membuat hati Jungwon ikut merasakan sakit. Terlebih, saat ia mendengar bagaimana Heeseung yang mengucap kalimat rindu pada istrinya.

Karina, nama mama yang baru saja Jungwon ketahui setelah lima belas tahun hidupnya.

---

Haiii, gimana? Semoga feelnya nyampe yaa 💗💗

Jangan lupa vote dan komennyaaaaa yang baanyakkk ❤❤

About Me • Heewon [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang