Bagian 19

2.1K 187 9
                                    


Saat pekerjaannya sudah rampung lebih awal, Heeseung masih betah untuk duduk di kursi kerjanya. Jemari tangannya yang diletakkan di bagian dagu itu sesekali berpindah mengetuk meja.

Pikirannya melanglang buana pada beberapa tahun ke belakang di saat dia memutuskan untuk mencoba menerima anaknya. Bukan tanpa alasan, hari di mana Yujin dan Riki pergi dia pun pergi ke kantor sebentar untuk mengecek sesuatu.

Di perjalanan pulang, Heeseung tidak sengaja melihat sosok ayah dan anak yang sedang makan di rumah makan sederhana. Heeseung bisa melihat di hadapan mereka hanya ada satu piring saja yang artinya satu makanan untuk berdua. Tanpa disadari, hatinya sedikit terenyuh melihat bagaimana sosok ayah yang begitu baik membagi makanannya, menyuapi anaknya, bahkan dilihat dari tatapannya pun Heeseung bisa melihat sebesar apa rasa sayang ayah itu pada anaknya.

Pikirannya langsung ingat Jungwon, sosok anak yang selama ini dinantikan hadirnya. Namun, anak itu bahkan tidak menerima kasih sayang yang seharusnya. Mungkin Jungwon pun mendambakan hal yang sama seperti yang dia lihat sekarang. Belum lagi jika ingat setiap kali dirinya melakukan projek bersama anak-anak yang kehilangan orang tua, yang ditinggalkan orang tua, binar harap serta bahagia dari wajah mereka mampu menggetarkan isi hatinya.

Harusnya, Jungwon sangat disayang olehnya. Harusnya, Jungwon dijaga dengan sekuat tenaga olehnya. Karena kehadiran Jungwon adalah kehadiran yang selama ini dinantikan olehnya dan Karina.

"Rin, kamu pasti marah sama aku kalau tahu sikap aku ke Jungwon gimana," gumamnya saat tiba-tiba ingat istrinya.

Heeseung juga ingat bagaimana pilunya suara tangis Jungwon di malam satu hari setelah pernikahan keduanya. Tangisan yang begitu menyanyat hati saat tak sengaja ia dengar. Berbekal dengan tujuan awalnya, Heeseung berusaha memastikan diri untuk mencoba berdamai dengan masa lalunya.

Jungwon hadir karena keinginannya.

Jungwon hadir karena perjuangan Karina yang mempertahankannya.

Terlebih, Jungwon hadir karena Karina rela pertaruhkan nyawanya supaya Jungwon bisa hidup di dunia.

Jika begitu, bukankah sosok Jungwon—anaknya—ini patut ia jaga dengan sepenuh jiwa?

Akhirnya, Heeseung pulang dengan tujuan ingin minta maaf pada anaknya, tetapi yang ia temukan adalah Jungwon yang terlihat sedih sembari memegang album fotonya. Hatinya mendadak kembali berdenyut nyeri saat sadar bahwa Jungwon mungkin saja mencari album yang ada foto Karina karena dia tidak pernah mengizinkan Jungwon untuk melihat foto istrinya.

Setelah berhasil menunjukkan foto Karina pada Jungwon, Heeseung hanya diam dengan Jungwon yang ada di pangkuannya. Anak semata wayangnya itu sedang tertidur dengan wajah yang damai setelah menangis karena merindukan mamanya.

"Mas?"

Heeseung menoleh dan menemukan Yujin beserta Riki yang baru saja datang. Tak lupa beberapa belanjaan yang ada pada kedua tangan mereka.

"Kakak kenapa?" tanya Yujin.

"Nggak kenapa-kenapa. Lagi tidur aja," jawab Heeseung.

Yujin hanya mengangguk lalu berlalu meninggalkan Heeseung, Jungwon, dan Riki di sana. Tak lama setelahnya Riki pun ikut menyusul Yujin pergi ke kamar. Hingga hanya tersisa Heeseung dan Jungwon saja di ruang keluarga itu.

Heeseung masih betah melihat wajah Jungwon yang sangat damai ketika tertidur. Dia baru menyadari bahwa anaknya ternyata selucu ini, sepolos ini.

"Mungkin Papa nggak sadar, tapi Papa sayang banget sama kamu, Nak. Terima kasih sudah hadir," ucapnya.

Sejak saat itu, Heeseung benar-benar berubah. Sudah tidak lagi dingin seperti dulu, sudah tidak lagi malu menunjukkan kasih sayangnya. Sudah secara terang-terangan menyayangi Jungwon sebagai anaknya.

"Heeseung!"

Heeseung mengerjapkan matanya berkali-kali, dia melirik Sunghoon yang tengah berdiri di hadapannya. "Kenapa?" tanyanya.

"Lo yang kenapa? Ngelamun sambil senyum-senyum sendiri," ucap Sunghoon.

Heeseung diam sebentar, kemudian terkekeh begitu menyadari bahwa dia baru saja melamun dan memikirkan hari di mana hubungan dia dengan anaknya membaik. Sampai tidak sadar Sunghoon masuk ke dalam ruangannya.

"Bukan apa-apa. Ada apa? Pekerjaan gue udah beres," kata Heeseung.

Sunghoon menyimpan sebuah map di atas meja bosnya itu, membuat Heeseung menatap dengan pandangan heran.

"Apa ini?"

"Coba lo lihat sendiri."

Heeseung bergerak mengambil map itu dan membukanya. Wajahnya langsung menunjukkan raut terkejut begitu melihat isi dari map tersebut.

"Lo dapet ini dari mana?" tanyanya langsung.

"Ada lah. Nggak perlu pikirin hal itu, yang harus lo lihat adalah gimana sikap Riki di sekolah," kata Sunghoon.

Map tersebut berisi foto-foto Riki yang sedang bolos sekolah, sedang nongkrong di warung-warung, dan yang lebih parah adalah ada foto Riki yang tengah menghisap satu batang tembakau.

Riki merokok.

Heeseung memijat kepalanya, merasa pusing sekaligus terkejut saat mengetahui sebuah fakta baru tentang salah satu anaknya.

"Sejauh yang gue tahu, dia baik-baik aja, Hoon. Lo bisa dapet foto ini dari mana?" tanya Heeseung.

Mendengar itu Sunghoon menghela nafas lelah, dia berjalan menjauhi Heeseung dan berdiri di hadapan jendela yang langsung memperlihatkan pemandangan padatnya jalanan.

"Sebenernya hal itu nggak perlu dipikirin, Hee. Hal yang perlu lo perhatikan di sini adalah kenapa Riki bisa sampai kayak gitu? Kenapa Riki sampai berani ngerokok? Apa yang buat dia ngelakuin hal itu?" tanya Sunghoon beruntun.

Heeseung terdiam, masih mendengarkan perkataan sekretarisnya itu yang ia yakini belum selesai berbicara.

"Lo tahu kasus anak yang jadi nakal kayak gitu karena apa?" tanya Sunghoon, lagi. Kali ini dia berbalik menatap Heeseung yang masih diam. "Karena kurang kasih sayang dan perhatian dari orang tuanya," lanjutnya.

"Maksud lo ... gue kurang ngasih kasih sayang sama kurang perhatian ke Riki, gitu?" tanya Heeseung.

"Well, gue nggak tahu."

"Terus kenapa lo bilang gitu?"

Atmosfir di ruangan kerja itu seketika menjadi menegang saat keduanya mulai merasakan emosi dan sedikit demi sedikit mengeluarkannya.

"Lah buktinya Riki sampai kayak gitu," dalih Sunghoon.

Heeseung menatap tajam wajah Sunghoon yang menatapnya juga. Heeseung tidak mengerti mengapa sekretarisnya ini tiba-tiba saja datang lalu mencoba mendebatkan hal ini.

"Gue nggak paham tujuan lo bilang hal ini ke gue apa, bahkan sampai ngotot kayak gini. Oke, gue ucapkan terima kasih karena lo ngasih tahu gimana Riki di sekolah. Tapi, esensi lo sampai mau debat dan kelihatan kesel sama gue itu apa? Lo bahkan nggak ngasih tahu dari mana foto itu ada," ucap Heeseung.

"Gue cuman mau ngingetin kalau sekarang anak lo itu udah ada dua. Ngelihat Riki di sekolah kayak gitu, ada baiknya lo renungi alasan kenapa dia sampai kayak gitu," kekeh Sunghoon.

Heeseung berdecak. "Gue ngerti dan udah nangkep maksud lo apa. Sekarang lo keluar dan lanjutin pekerjaan lo," titahnya.

Sunghoon diam sebentar, kemudian berjalan keluar hingga menyisakan Heeseung sendirian di sana. Ayah dari dua anak itu kembali memijat pelipisnya dengan pelan, sedikit terdistrak oleh apa yang Sunghoon katakan.

Rasanya dia sudah berusaha untuk adil dalam memberikan kasih sayang dan juga perhatian kepada kedua anaknya. Berusaha untuk tidak membedakan Jungwon dan Riki dalam hal apapun.

Lantas, mengapa tiba-tiba Sunghoon datang dan berkata seperti itu? Apa tujuannya? Karena sebenarnya, Heeseung menjadi sedikit kepikiran dengan apa yang sekretarisnya itu katakan.

Benarkah dia kurang memberikan kasih sayang dan perhatian pada anak keduanya?

---

Haloo, maaf baru updatee. Semoga nggak mengecewakan ya 💗💗

Jangan lupa vote dan komennya ❤️❤️

About Me • Heewon [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang