Bagian 34

1.5K 155 9
                                    


Suara mesin pematik yang mati diiringi kepulan asap yang keluar menjadi teman Heeseung saat ini. Pipinya tertarik ke dalam saat menghisap batang nikotin yang baru ia nyalakan. Lingkaran asap yang sengaja ia buat, ia mainkan hingga menghilang menyatu dengan alam.

Langkah kaki seseorang terdengar pada indra pendengarannya. Hingga wangi parfum yang sangat ia kenali, tercium di sampingnya.

"Tumben ngerokok? Masih pagi," ucap orang yang baru saja sampai.

Heeseung tersenyum simpul seraya kembali menghisap rokoknya yang sudah hampir habis. Ia keluarkan asap, kembali menghisap, keluarkan asap lagi, sampai perlahan rokok itu habis.

Selama kegiatannya itu, tidak ada sedikit pun suara yang keluar dari mulut mereka. Heeseung masih setia menatap ke depan, meskipun ia tahu orang di sebelahnya sudah menatap seolah menuntut penjelasan.

"Waktu gue kebuang cuma-cuma kalau cuman lihatin lo ngerokok doang."

Bersamaan dengan satu kalimat itu terdengar, rokok Heeseung habis. Pria dari dua anak itu langsung membuang puntungnya ke bawah dan menginjaknya dengan kaki yang dibaluti sepatu pantofel. Kemudian, atensinya beralih pada pria yang sedari tadi ia diamkan.

"Gue ngerokok paling lama cuman sepuluh menit, lebih sedikit waktunya dibanding gue anter anak-anak gue ke sekolah," ucap Heeseung tanpa beban.

Pria di hadapan Heeseung menghela napas kasar, ia tatap bos sekaligus teman dekatnya itu dengan tatapan yang menantang. "Terus ... lo mau apa?" tanyanya. Kepalang tertangkap basah.

Heeseung ikut menarik napasnya, tatapannya yang sedari tadi menatap orang di sebelahnya kini kembali menatap ke depan. "Sunghoon ... kenapa?" tanyanya.

Sunghoon—pria yang sedari tadi ada di sampingnya itu—mengernyitkan alisnya. "Kenapa apanya?"

Lagi-lagi Heeseung tidak menjawab dan hal itu membuat Sunghoon geram. "Sumpah, lo kalau mau diem gini terus mending gue balik. Kerjaan gue numpuk dan gue nggak mau ngehabisin waktu gue cuman buat nemenin bos yang nggak ngapa-ngapain," cetusnya karena terlampau kesal.

Sunghoon hendak membalikkan badannya, tapi satu kalimat yang muncul dari mulut Heeseung menghentikan pergerakannya.

"Kenapa lo obses sama keluarga gue?" tanya Heeseung.

"Obses? Obses apaan maksud lo bangsat?" sentak Sunghoon dengan tubuh yang kini menatap Heeseung sepenuhnya.

"Lo ngikutin gue yang lagi nganterin Jungwon sama Riki, lo rela jemput Jungwon ke sekolah dengan alibi mau ketemu gue, lo rela dateng ke sekolah mereka cuman buat ketemu sama Riki, dan lo ...."

Heeseung menggantungkan ucapannya, matanya menatap Sunghoon yang sedari tadi tengah menatap tajam ke arahnya. "Dan lo sampe ngehasut Riki," lanjutnya.

"Kenapa? Lo mau apa sebenernya?" tanya Heeseung.

Berkat informasi yang ia dapat dari beberapa rekannya, Heeseung berhasil mengumpulkan info-info yang menjurus pada satu titik. Benang merah yang kusut, kini mulai terlihat dan siap untuk ditarik.

"Lo bilang kalau gue ngabisin waktu lo cuman karena gue diem dan ngerokok, tapi lo rela ngabisin waktu lo cuman buat ngikutin gue yang lagi nganterin anak-anak gue ke sekolah," ucap Heeseung.

Kali ini, Sunghoon yang terdiam. Matanya berkeliaran tak mampu menatap Heeseung yang ganti menatapnya tajam. Mulutnya terlalu kaku untuk sekadar membuka suara.

"Oke, gue nggak bakal terlalu jauh, deh. Gue penasaran sama hal ini, lo ... kenapa tiba-tiba ngehasut Riki sampai anak gue jadi jauh dari kakaknya sendiri?" tanya Heeseung pada Sunghoon yang tak kunjung menjawab.

"Anak gue?" gumam Sunghoon yang sayangnya dapat didengar oleh Heeseung.

Pria berkulit putih itu terkekeh, kemudian menoleh ke arah Heeseung yang masih setia menatapnya.

"Anak gue lo bilang?" tanya Sunghoon.

"Ya. Anak gue," ucap Heeseung menantang.

Tanpa diperkirakan, Sunghoon memukul Heeseung sampai pria itu terhuyung ke belakang. Tangannya mencengkeram kerah kemeja Heeseung yang sedang meringis kesakitan.

"Anak gue lo bilang? Berani lo sebut Riki anak lo di saat lo nggak sedikit pun ngasih peran ayah ke dia hah?" sentaknya sebelum satu pukulan kembali melayang.

Heeseung terjatuh pada rumput-rumput taman, ia terbatuk pelan sebab pukulan Sunghoon barusan mengenai hidung dan mulutnya. Senyumnya tertarik, lalu sedikit keluar kekehan, dan berakhir tawa mengudara.

"Memangnya lo tahu apa hah? Memangnya lo tahu gimana peran ayah ke anak di saat lo sendiri nggak punya anak?" tanyanya dengan dagu dan alis yang terangkat.

Mendengar itu Sunghoon menggeram marah, ia menarik kemeja Heeseung dan kembali memukulinya. Namun, kali ini Heeseung membalas. Satu pukulan dan mampu membuat Sunghoon jatuh di hadapannya.

Mulutnya berdecih saat dirasa darah mencampur bersama air liurnya. Ia menatap sekitar taman yang sepi lalu berjongkok mensejajarkan tubuhnya dengan Sunghoon.

Heeseung yang baru saja hendak berbicara itu mengurungkan niatnya saat Sunghoon tiba-tiba bersuara.

"Gue emang nggak tahu persis gimana peran ayah buat anaknya. Tapi gue tahu kalau lo bukan ayah yang baik untuk anak-anaknya," ucap Sunghoon. "Baik? Lo bahkan nggak ngakuin anak dari wanita yang lo cinta itu, Seung. Berapa tahun lo nggak nerima Jungwon? Enam belas tahun? Lo pikir anak lo gimana perasaannya hah?" tanyanya disertai dengan tawa.

"Kenapa? Kenapa lo obses sama keluarga gue?" tanya Heeseung mengulang kembali pertanyaan yang sama.

"Ah bukan-bukan. Lo belum jawab pertanyaan gue. Kenapa lo ngehasut Riki sampai anak gue jadi jauh dari kakaknya sendiri?" tanyanya dengan penuh penekanan.

Sunghoon menggeram marah. "Karena gue sayang dia," jawabnya.

"Kenapa lo sayang sama Riki?" Heeseung kembali bertanya dengan cepat. "Lo bukan siapa-siapanya dia. Lo bukan saudara kandung gue, lo nggak kenal deket sama Riki. Lo cuman sekretaris gue yang bantu urusin surat adopsi Riki," ucapnya lagi.

"Karena dia anak gue! Dia anak kandung gue!" sentak Sunghoon karena terlampau emosi.

Bingo.

Heeseung tersenyum saat Sunghoon berhasil memakan umpannya. Cukup satu kalimat dan kini ia tahu kenapa semuanya terjadi. Lantas, ia mengulurkan tangannya pada Sunghoon sebagai ajakan untuk berdiri.

Sunghoon menerima dan setelah keduanya berdiri, Heeseung menepuk pundak sekretarisnya itu sebanyak tiga kali sebelum pergi meninggalkannya tanpa ada sepatah kata yang keluar.

"Brengsek!" umpat Sunghoon.

Pria itu baru sadar jika sedari tadi, Heeseung memang sengaja memancing emosinya. Sunghoon baru sadar setelah mengucapkan kalimat berupa fakta yang seharusnya ia ketahui sendiri.

"Lo ... gue nggak akan diem lagi kali ini," gumamnya penuh amarah.

---

Haii, maaf baru updatee. Semoga sukaaa 💗💗

Jangan lupa vote dan komennya ❤️❤️

About Me • Heewon [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang