Besok paginya, Jungwon mengunjungi tempat peristirahatan terakhir sang mama. Di tangannya ia membawa satu bucket bunga yang ia beli saat di perjalanan tadi."Halo Mama, maaf aku baru ke sini lagi," ucapnya sebagai salam pembuka.
"Mama, hari ini aku ingin cerita banyak hal. Mama mau dengar, 'kan?"
Jungwon meletakan bunga itu, senyumnya terukir dengan tulus kali ini. "Usaha aku gagal lagi, Ma. Beberapa hari yang lalu masakanku ditolak Papa lagi."
"Mama, Papa itu sebesar apa ya cintanya untuk Mama? Pasti besar sekali ya, pasti hatinya sudah penuh sama Mama sampai aku tidak kebagian tempat sedikitpun."
Dengan mulut yang terus bercerita, tangan Jungwon aktif mencabut rumput liar yang tumbuh di sekitaran makam mamanya. Laki-laki itu bahkan sudah duduk di bawah dengan kedua kaki yang menyilang.
"Sewaktu aku antar makanan lagi buat Om Jay, aku enggak sengaja lihat Om Jay lagi main PS sama Sunoo. Kelihatannya seru, aku jadi pengen main seperti itu sama Papa."
"Oh ya semalem Papa mabuk lagi, Papa banting meja di ruang keluarga sampai aku kaget. Terus ... terus omongan Papa berhasil buat aku berpikir lagi semalaman, Ma," ucapnya dengan nada yang mulai bergetar.
Setelah memastikan papa nyaman malam itu, Jungwon kembali ke kamar dan merenung semalaman panjang. Meskipun dirinya hanya diam memandang langit malam dengan pikiran yang dipenuhi oleh kalimat-kalimat yang papa ucapkan.
"Selama ini aku berusaha abai sama fakta itu, tapi Papa ingetin aku. Aku minta maaf ya Mama, sudah buat pisah sama Papa."
"Aku sering dengar Papa bicara sendiri kalau Papa rindu sama Mama. Sering juga lihat Papa tiba-tiba diam saat mau lakukan sesuatu yang mungkin buat Papa ingat Mama," kata Jungwon. "Tapi Ma, aku juga sama rindunya kok seperti Papa, aku juga rindu sama Mama. Kata bibi di rumah, aku belum sempat digendong sama Mama. Hihi, aku juga enggak tahu wajah Mama seperti apa," lanjutnya.
"Papa pelit Ma enggak pernah mau kasih lihat foto Mama ke aku. Padahal kan aku juga mau tahu gimana cantiknya wajah malaikat yang sudah lahirkan aku ini," adu Jungwon seperti anak kecil yang melapor ada yang menjahilinya.
Jungwon tiba-tiba tertawa kecil padahal aslinya ia tengah menahan tangis. Hanya ini yang bisa Jungwon lakukan, bercerita di depan makam mamanya sampai dirinya merasa lega.
"Mama bahagia enggak di sana?" tanya Jungwon.
Gerakan tangannya yang mencabuti rumput liar itu berhenti, digantikan dengan gerakan mengusap nisan sang mama dengan pelan. Matanya berkaca-kaca, siap menumpahkan liquid yang sudah ia tahan-tahan.
"Mama apa enggak bisa kembali lagi ke sini? Ke dunia ini? Supaya Papa enggak sedih, supaya Papa enggak benci aku, supaya Papa enggak anggap aku mati," pinta Jungwon.
"Papa lebih sayang Mama dari pada aku, Ma," lanjutnya lirih.
Akhirnya, tangis itu tidak bisa Jungwon bendung lagi. Air matanya meluncur deras tepat setelah mengucapkan kalimat itu.
Untuk yang kesekian kalinya, Jungwon kembali menumpahkan air mata di hadapan makam mamanya.
---
Bertahun-tahun hidup dalam bayangan istrinya, hingga bayi kecilnya berusia empat belas tahun pun, Heeseung masih belum bisa menerima. Kehadiran Jungwon di hidupnya membuat Heeseung merasakan rasa yang berbeda.
Saat kecil, mungkin Jungwon tidak mengerti dengan sikapnya yang sangat dingin. Saat Jungwon masuk sekolah dasar, anak laki-lakinya itu mulai mendekatinya perlahan-lahan.
"Papa, besok Jungwon bagi rapot, Papa diundang Ibu Guru untuk ke sekolah."
"Papa besok ada pentas seni, Jungwon ikut tampil. Papa jangan lupa datang ya!"
KAMU SEDANG MEMBACA
About Me • Heewon [End]
FanfictionFamily Jungwon hanya ingin diakui oleh Papa, tapi rasanya sulit sekali untuk mendapatkan inginnya. Usahanya sering kali diabaikan, sering pula tidak dipedulikan. Tentu saja Jungwon tidak akan menyerah begitu saja. Tapi, Jungwon bisa apa jika Papa le...