16. Iri

4.6K 192 0
                                    

Mention kalau ada typo.

Happy reading💐

🥀☕️

Pada pagi itu tepat setelah Fawnia mengatakan jika mie cupnya tidak ada rasa. Mereka semua langsung mengambil sempel darah Fawnia. Dan benar, Fawnia dinyatakan positif covid. Buru-buru mereka menempatkan Fawnia ke salah satu ruangan di rumah sakit. Karantina sendirian, di temani oleh kasur, nakas, dan ponsel yang tetap berada di tangan.

Begitu mendapati informasi Fawnia positif covid. Marva yang sedang berada di luar untuk mencari beberapa alat bangunan pun lantas bergegas kembali. Ia banting stir untuk berbelok pada pulau jalan di depan, cekatan memegang stirnya seperti seorang yang sudah ahli di bidang tersebut.

Merapatlah mobil jeep wrangler hitam tersebut. Keluar sang pemilik dari sana, berlari secepat yang ia bisa. Tidak peduli pada nafasnya yang terengah-engah. Hanya Fawnia yang bisa membuatnya begitu. Tanpa sengaja Zelin keluar dari tenda berniat mencari udara segar lantas melihat kalang kabutnya Marva memasuki rumah sakit terburu-buru.

Sorot mata Zelin terukir ketidak sukaan, kebencian, dan iri. Lantaran hanya Fawnia seoranglah yang dapat membuat Marva mampu meninggalkan segalanya demi wanita itu.

"Fawnia!" teriak Marva sambil mengetuk-ngetuk pintu ruangan. "Fawnia, jawab! Kamu nggak apa-apa kan?" Keringat mengalir deras pada keningnya sebagai bukti Marva tak menjeda larinya.

"Hey, tenanglah. Aku nggak apa-apa." Fawnia melangkah mendekat pada pintu, jelas ia tidak akan membukanya.

"Fawnia.." Marva menghela nafas. Hanya dengan mendengar suara wanitanya pria itu bisa bernafas lega. Tenang jantungnya berdetak, nafasnya pun kembali normal. "Kamu udah minum obat?"

"Tadi udah minum beberapa vitamin. Aku nggak apa-apa. Kamu nggak perlu khawatir."

"Mana bisa aku nggak khawatir. Ini virus berbahaya Fawnia. Kamu bisa aja—"

"Nggak akan," potong Fawnia cepat. "Nggak akan terjadi apa-apa. Aku janji bakal sembuh." Tegas suara wanita itu berkata, namun demikian juga Marva menyadari wanita di dalam sana sedang berusaha menunjukan sisi dirinya yang baik-baik saja.

"Tetap bersama, ya? Kamu nggak boleh pergi." Serak Marva berkata. Mati-matian ia tahan sesak di dada, dan lingkar matanya agar tak berair.

Hari-hari berita di tv terus bermunculan mengabari para korban virus berbahaya. Banyak yang meninggal, dan banyak yang sembuh juga. Meskipun begitu tetap saja tak memungkinkan membuat Marva tidak khawatir. Pria itu lemas, pasrah, lunglai dan penuh keresahan karena wanitanya harus terkena virus tersebut.

Jika bisa depresi, maka Marva pun akan depresi. Pria itu menyisir rambutnya ke belakang frustasi. Perasaannya campur aduk.

"Aku nggak apa-apa, Marva. Aku pasti sembuh." Dari dalam sana Fawnia mencoba menenangkan prianya. Mencoba untuk terlihat baik-baik saja meski sebenarnya ia takut, sangat takut.

Lemas Marva di luar ruangan. Ia tempelkan keningnya di pintu. Perasaan campur aduk, berserakan, tak terkendali, entahlah. Bernafas saja rasanya susah. "Tetap bersama. Jangan pergi." Penuh putus asa, kesedihan, kekhawatiran Marva berkata.

Dan tanpa di ketahui olehnya, tepat di akhir kalimat itu. Fawnia di dalam sana meneteskan air mata yang sudah sejak tadi ia tahan mati-matian. "Iya. Aku pasti sembuh," tanpa sadar suaranya bergetar.

°~°~°~°~°~°

Hari-hari di karantina, Fawnia hanya bisa melihat ruang kamarnya. Yang biasanya ia sibuk mengurus pasien, kini ia harus terbaring lemah di atas kasur. Bibirnya pun pecah-pecah, kering. Indra perasanya masih lumpuh, bahkan ayam goreng saja tak memiliki rasa apapun begitu bersentuhan dengan lidahnya. Fawnia sempat sesekali mencoba menghirup parfum miliknya, namun tetap ia sama sekali tak bisa mencium apapun.

TETAP BERSAMA [DIROMBAK]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang