17. Sepotong Roti

4.6K 192 4
                                    

Dikit lagi masuk ke konflik utama. Sabar yaa...

Mention kalau ada typo💐

Happy reading

🥀☕️

Pagi tadi, Fawnia telah di nyatakan sembuh dari virus Corona. Sudah boleh baginya keluar dari ruang karantina. Bahkan sudah boleh juga di izinkan untuk bekerja. Namun, Marva menyarankan Fawnia untuk jangan bekerja dulu. Sudah jelas karena perempuan itu baru baik sakit.

"Nggak ada rasa." Fawnia berkata untuk kesekian kalinya. Ia lihat Marva tengah membuka sebungkus roti untuknya sarapan.

"Ada. Aku beli yang rasa coklat. Kata Masnya manis." Marva lipat kedua sisi bungkusan roti itu lalu meletakannya di tangan Fawnia.

Pasrah Fawnia di sana. Padahal sesungguhnya ia sama sekali tidak selera untuk makan apa-apa. Tapi, Kira berpesan kepada Marva untuk memperhatikan Fawnia agar tetap makan walau sedikit.

Mereka berdua berada di ruang makan. Marva meletakan laptopnya di atas meja, tetap bekerja sambil memperhatikan Fawnia yang duduk di hadapannya melahap roti pelan-pelan. Sabar pria itu menunggu wanitanya makan. Ia tahu, batapa tidak enaknya makan pada saat indra perasa hilang.

"Kenyang." Fawnia sodorkan rotinya di depan wajah Marva.

Tatapan mata Marva jelas berpindah dari laptop ke roti. Bahkan jauh dari kata setengah, roti itu tidak lebih dari dua gigitan saja.

Pria itu menghela nafas pelan, menoleh ke samping melihat kepada wanitanya. "Kamu belum makan apa-apa dari tadi malam loh." Pelan, lembut, penuh kasih sayang Marva berkata. Mengambil ahli roti tersebut dari tangan Fawnia. "Sini ku suapin." Tanpa berpikir, ia tinggalkan pekerjaan dan langsung menarik kursi agar mendekat pada sang wanita di depan.

"Nggak mau ih! Kayak anak-anak aja."

"Mau kamu bertingkah kayak anak-anak pun aku nggak masalah."

Fawnia menerjabkan matanya beberapa kali. Menatap dalam  kedua pupil Marva lalu mengernyit tak habis pikir. "Gila, ya?"

Simpul Marva tersenyum, "Ayo makan."

"Nggak mau!" Fawnia menutup kedua mulutnya dengan tangan, begitu menolak atas permintaan Marva. Perempuan itu sungguh tersiksa.

Kembali pria itu menghela nafas. Bukan marah, hanya saja ia khawatir pada berat badan Fawnia yang terus-terusan berkurang setiap harinya. Lihat, wanita itu sangat kurus sekarang. Pipinya sudah tak segembul dulu. Badannya sudah tak seberisi dulu. Bahkan bisa di katakan jika tubuh Fawnia terlihat seperti tengkorak hidup.

"Kamu kurus banget, Sayang." Lembut Marva berkata. Sorot matanya mendung memandang Fawnia di depan. Khawatir pria itu pada kesehatan wanitanya.

"Oh, jadi kamu nggak suka sama tubuhku yang sekarang?" tanya Fawnia beruntun. Ia lepas kedua tangan dari depan mulut.

"Bukan itu maksudku." Marva menggeleng cepat. Akhir-akhir ini Fawnia sedikit sensitif entah karena apa. Kalau kata Kira dan Elly memang biasanya orang baru baik sakit emosinya sedikit tidak stabil. "Aku nggak mau kamu sekurus ini. Coba liat, tubuhmu kurus banget. Kamu nggak sayang sama tubuhmu sendiri?"

Mendengar pertanyaan Marva barusan lantas membuat Fawnia juga memperhatikan tubuhnya sendiri. Wanita itu menunduk memperhatikan pergelangan tangannya yang memang tampak hampir tulang saja. Juga di bagian kakinya pun sangat kurus hingga tulang mata kakinya terlihat jelas.

Terdiamlah Fawnia di sana. Perlahan kepalanya kembali menengadah memandang wajah pria di depannya. Marva tersenyum manis, bukan karena marah, hanya saja ia tak mau Fawnia menyalahkan dirinya sendiri atas perubahan berat badan yang ia alami. Itu semua karena indra perasanya hilang. Jika saja mulut perempuan itu bisa merasakan makanan, mungkin Fawnia tak akan sekurus sekarang.

TETAP BERSAMA [DIROMBAK]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang