Mention kalau ada typo.
Hari ini aku revisi 2 chapter yaa.
Jangan skip narasi.
Happy reading💐
🥀☕️
"Ada pasien wanita dengan luka tusuk. Tiga menit lagi mereka akan sampai." Salah satu Suster baru saja menerima telepon segera melaporkannya pada dokter spesialis emergency .
Sibuklah mereka yang berada pada ruangan unit darurat. Cepat menyiapkan apa saja untuk menyambut pasien tersebut. Tak berselang lama, suara sirine ambulan pun terdengar bertanda pasien yang di informasikan telah tiba. Semuanya bersiap pada posisi masing-masing. Bergegas berlari menuju pintu ambulan di bagian belakang.
Semua orang pun melotot, ternganga, nafas mereka tertahan di hidung begitu melihat pasien luka tusuk tersebut tidak lain dan tidak bukan adalah adik dari pemilik rumah sakit ANESKA. Alias Fawnia.
Di dalam ambulan itu pun ada Marva yang setia duduk menemani kekasihnya. Fawnia telah berada di ambang kesadaran terakhir. Buru-buru para suster dan dokter segera menurunkan Fawnia dari ambulan, mendorongnya masuk pada IGD, kemudian memindahkan Fawnia dari brankar ambulan kepada brankar rumah sakit.
Salah satu dokter pun mengeluarkan senter guna memeriksa mata Fawnia. Lalu dokter itu memeriksa luka tusuk pada bagian perut kiri. Salah satu suster bergegas setelah di perintahkan untuk mengabari dokter Arza.
Itu karena di prediksi luka tusuk tersebut seperti telah menusuk terlalu dalam dan kemungkinan mengenai tulang.
Arza pun telah tiba di IGD. Begitu mendapatkan informasi jika pasiennya kali ini adalah Fawnia, ia meninggalkan waktu istirahatnya. Meninggalkan apapun yang sedang di butuhkan oleh perutnya. Fawnia adalah prioritasnya sekarang.
Kepada Marva yang berdiri di dekat meja resepsionis Arza memandang. Arsitek itu tak di izinkan untuk mendekat. Hanya boleh berdiri dan memantau dari sana meski sebenarnya kekasihnya terhalang oleh tirai.
Kepada wajah pucat Fawnia Arza kali ini memandang. Semua suster beserta beberapa dokter hanya menunggu perintah darinya. Luka pada bagian perut kiri Fawnia itu telah tertusuk dalam. Kemungkinan ada fraktur di tulang belakangnya atau di bagian lainnya.
"Siapkan ruang operasi." Tegas Arza bersuara memerintahkan suster untuk segera menyiapkan.
Sementara dokter di ruangan itu masih setia berdiri di sana, siap membantu Arza mendorong brankar Fawnia untuk membawanya bersama-sama kedalam ruang operasi.
Selama beberapa jam telah berlalu yang di lakukan oleh Marva adalah menunggu, menunggu, dan menunggu. Tak peduli selama apa. Hanya di depan pintu ruang operasilah dia setia berada. Tentu saja masih dengan kemeja berlumuran darah sang kekasih.
Sesekali mondar-mandir. Mengigit kuku ibu jari, dan berkacak pinggang serta bersadakap. Marva tak bisa diam. Cemas, gelisah, khawatir, hatinya campur aduk. Membayangkan Fawnia sudah tak menjadi penghuni bumi terus menghantuinya. Ia tepis pemikiran jelek itu, mencoba berpikir positif. Namun, tetap saja pemikiran jelek selalu menghantuinya.
"Bagaimana kondisi Fawnia, Dok?" Langsung saja Marva bangkit berdiri setelah melihat pintu operasi terbuka lebar dan menemukan Arza keluar dari sana. Masih dengan seragam operasi lengkap tentunya.
Di mata Arza terdapat ketidak sukaan pada Marva. Sebisa mungkin ia harus profesional dalam bekerja. "Operasinya berjalan lancar. Pisau itu telah membuat fraktur kecil di bagian tulang belakang. m Kemungkinan Fawnia akan lumpuh sementara dan akan pulih dengan terapi fisik," jelas Arza sebagai dokter yang mengoperasi.
KAMU SEDANG MEMBACA
TETAP BERSAMA [DIROMBAK]
Fiksi RemajaFawnia, dia adalah seorang Dokter Spesialis Kesehatan Jiwa. Dia bekerja di rumah sakit milik Kakaknya. Berita mengenai kecelakaan proyek tak sampai di telinga Fawnia maka saat ia berniat menemui sahabatnya, Kira di IGD. Psikiater itu pun terkejut me...