Mention kalau ada typo.
Happy reading💐
🥀☕️
Berjalan-jalan menulusuri koridor setelah jam kerja selesai adalah rutinitas Fawnia. Energinya terkuras habis untuk mendengarkan keluh kesah pasien. Maka dari itu, untuk mengembalikan energinya ia sering menikmati angin sore seperti ini.
Melangkah santailah Fawnia dengan kedua tangan bersembunyi di kantung jas putih kebanggaannya. Sesekali tersenyum, menyapa pasien dan orang-orang rumah sakit.
Niatnya sih dia ingin ke taman belakang rumah sakit. Caitlyn, si pemilik rumah sakit ANESKA membangun air mancur mini di taman belakang. Suara airnya yang terus mengalir menjadi alunan musik indah. Cukup bisa membuatnya tenang.
Biasanya dia suka duduk di kursi kayu dekat air mancur itu. Namun, langkah Fawnia terhenti di penghujung lantai sebelum masuk ke area rumputan taman. Matanya memandang lurus pada seorang pria. Satu tangan Pria itu di pakaikan arm sling. Pria itu duduk santai di kursi kayu dekat air mancur—tempat favoritnya Fawnia.
Cukup lama Fawnia berdiri di sana. Diam memandang punggung Marva yang membelakanginya. Pria itu sesekali memandangi tangannya yang di gendong, lalu menatap lurus ke depan menikmati angin sore.
Fawnia masih di sana. Dia diam berpikir. Ingin rasanya menghampiri Marva di sana, tapi di sisi lain otaknya mengatakan hal sebaliknya. Setelah beberapa menit, barulah dia bertekad untuk melangkah tegap menghampiri pria itu. Fawnia wujudkan apa yang di inginkan oleh hatinya. Tanpa menyapa atau permisi, Fawnia langsung menjatuhkan bokongnya tepat di samping Marva.
Tersentaklah pria itu sampai kedua matanya melotot saat menemukan Fawnia telah duduk di sampingnya. Fawnia mengernyit tanda heran, apakah dia tidak boleh duduk di sini? Lalu Marva memutuskan kontak mata secara sepihak, dia buang muka ke arah lain. Tak sanggup untuk berlama-lama saling pandang.
Suasananya persis sama seperti tadi pagi. Kecanggungan mengelilingi mereka kembali. Serentak keduanya menelan ludah bersama. Fawnia pun merasa menyesal telah duduk di sana. Seharusnya dia tidak usah ke sini. Entah apa yang membuat hatinya ingin ke sini.
"Lo.." Marva membuka suara. Fawnia pun menoleh kepadanya. "Udah lama kerja di sini?"
"Rumah sakit ini milik Kak Caitlyn." Singkat, padat, dan jelas Fawnia beritahu. Sungguh, suara Marva terdengar sangat berat layaknya pria dewasa yang matang.
Tentu saja Marva tahu siapa Caitlyn. Dia sering bertemu saudari perempuannya Fawnia waktu masih SMA dulu. Tak di sangka jika rumah sakit sebesar ini adalah milik perempuan itu.
Marva mengangguk, dan mereka kembali diam lagi. Otak keduanya berpikir keras. Berlomba mencari topik yang asyik untuk di bahas.
"Gimana rasanya jadi Arsitek?" Kali ini Fawnia yang membuka topik pembicaraan. Tidak enak juga sudah duduk di sini tapi orang yang duluan duduk malah di diamin.
Marva menoleh. Dia tatap wajah wanita di sampingnya. "Ya.. gitu deh. Menggambar, merancang, mempertimbangkan hal-hal kayak fungsionalitas, daya tahan, dan anggaran. Duduk di depan meja komputer sambil menggambar berjam-jam di autocad. Belum lagi mengawasi pembangunan yang di rancang dari awal sampe akhir. Memastikan bangunan itu sesuai sama rencana awal." Marva menjelaskan sebisanya. Matanya tak sepenuhnya memandang Fawnia selama dia menjelaskan. Pria itu lebih banyak melihat orang-orang di belakang Fawnia atau rerumputan di bawah.
KAMU SEDANG MEMBACA
TETAP BERSAMA [DIROMBAK]
Novela JuvenilFawnia, dia adalah seorang Dokter Spesialis Kesehatan Jiwa. Dia bekerja di rumah sakit milik Kakaknya. Berita mengenai kecelakaan proyek tak sampai di telinga Fawnia maka saat ia berniat menemui sahabatnya, Kira di IGD. Psikiater itu pun terkejut me...