20. Putus Asa

3.7K 172 0
                                    

Mention kalau ada typo.

Happy reading💐

🥀☕️


Kedatangan Devka berhasil membuat Marva mau tak mau keluar dari kamar. Tubuhnya sudah lumayan baik, hanya saja suhunya masih hangat.

"Lo dan Kira jadian?" Marva bertanya sembari meletakan teh hangat di atas meja untuk Devka. Meski masih lemas tak membuat Marva lari dari tanggung jawab untuk menjamu tamu walau tamunya adalah teman sendiri.

"Ya. Udah lama sih. Waktu sebelum covid." Devka raih teh hangatnya kemudian menyeruput nikmat.

Marva menjatuhkan bokongnya pada sofa hadapan Devka. "Pantesan lo sering ke Kasena ya," ujarnya baru menyadari tingkah Devka yang begitu sering berkunjung ke rumah sakit Kasena pada saat proses pembangunan.

Devka letak perlahan gelas tehnya kembali pada meja. Lalu menyender nyaman pada sofa. "Lo kayak nggak tau gue aja." Tersenyum polisi itu menanggapi.

Diam kedua pria itu di sana. Membiarkan terpaan angin dari pendingin udara mengenai tubuh mereka. Sejujurnya, niat Devka datang di siang bolong ke rumah Marva bukan hanya untuk menjenguk. Tapi, karena ia tahu jika Marva membutuhkan dukungan dari seorang lelaki.

"Lo ... pengidap Azoospermia?" Pelan dan hati-hati Devka bertanya. Tatapan matanya pun sudah tak secerah tadi. Merasa empati pada temannya.

Dari Devka di depan pelan-pelan pandangan mata Marva turun. Menunduk wajahnya sambil menghela nafas. Dia malu. Sangat malu. Entahlah, kepercayaan dirinya sebagai seorang pria pun runtuh, terinjak, dan tergiling hingga halus.

Tanpa sadar Marva menelan ludah. Dadanya sesak untuk menerima kenyataan bahwasannya ia memang tak dapat memberikan keturunan untuk Fawnia. Ia tak akan pernah bisa menjadi seorang ayah.

"Gue nggak mau Fawnia menderita." Marva akhirnya bersuara setelah beberapa saat diam. "Mandul itu bisa beresiko dari segala arah. Oke Fawnia bisa menerima, tapi keluarganya? Nyokapnya? Kak Caitlyn? Kalo sampe berita ini menyebar, mungkin Kak Caitlyn bakalan nyuruh Fawnia buat mutusin gue."

"Kak Caitlyn nggak mungkin kayak gitu kali." Cepat Devka menepis.

"Nggak ada yang nggak mungkin. Mana ada orang tua yang mau punya menantu yang mandul."

Devka pun bergeming memandang lurus pada bola mata Marva. Di raihnya lagi tehnya, lalu meneguknya singkat. Kemudian kembali menaruhnya lagi di atas meja. "Kak Caitlyn itu punya pemikiran yang panjang. Dia beri kita hadiah berupa tes ini bukan semerta-merta tahu akan kesehatan aja. Tapi dia juga sudah bersiap, mungkin akan ada beberapa orang yang terkejut melihat hasil dari tesnya. Termasuk lo. Kak Caitlyn juga pasti udah menyiapi hati dan mentalnya untuk hasil dari tes yang nggak sesuai harapan dari para pekerjanya."

Ke mata Devka Marva menatap. Mendengar segala kalimat yang polisi itu katakan. Ke arah lain matanya melirik. Ke kanan dan kiri, lalu kembali memandang Devka di depan.

"Devka, sekarang gue tanya. Jika ini terjadi ke lo, apa yang akan lo lakukan?" Marva bertanya. Kali ini dia membalikan situasinya. Ia tak mau terpojok sendiri.

"Lo bertanya jika itu terjadi di gue." Devka berdiam sebentar tengah berpikir. Lidahnya sesekali mendorong pipi bagian dalam berpikir keras untuk menjawab pertanyaan Marva. "Lo tau, Tuhan menciptakan manusia sesuai dengan porsinya."

Ke depan Devka mencondongkan tubuhnya. Kakinya mengangkang dan sikunya bertumpu pada lutut. "Mungkin, alasan Tuhan mempertemukan lo dan Fawnia, karena cuma dia satu-satunya wanita yang bisa menerima kekurangan lo. Tuhan menciptakan Fawnia dengan hati yang porsinya lebih besar agar bisa nerima kekurangan lo."

TETAP BERSAMA [DIROMBAK]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang