Mention kalau ada typo.
Happy reading💐
🥀☕️
Selesai Fawnia sarapan Marva pun bersiap untuk memijat kaki sang wanita sebagai tanda pemanasan sebelum belajar jalan.
"Gimana?" Marva memandang kepada wajah kekasihnya.
"Ya.. lumayan juga." Tersenyum manis Fawnia di sana.
Dari telapak kaki, betis, sampai pada lutut pelan-pelan Marva pijat. Sesekali memeriksa apakah wanitanya kesakitan atau tidak. Memeriksa apakah sentuhannya terasa nyaman, atau Fawnia tidak menyukainya. Tak ada yang lebih prioritas di banding Fawnia saat ini.
Selesai pada waktu pemanasannya, Marva sempat keluar dari kamar rawat untuk mengambil kursi roda. Di gendongnya Fawnia, dan meletakan wanitanya dengan hati-hati di kursi roda tersebut.
Pada koridor taman belakang rumah sakit Marva membawa kekasihnya. Tempat ini cukup sepi dan nyaman untuk memulai latihan belajar jalan. Di temani banyaknya bunga serta tumbuhan membuat nafas menjadi segar.
Marva berhenti mendorong. Berjalan memutar pria itu dan berlutut di depan wanitanya. "Ayo."
Fawnia tak merespon. Wajahnya berubah murung serta kepala menunduk. "Aku takut." Pelan seperti bisikan Fawnia berkata. Namun, Marva justru dapat mendengarnya dengan jelas.
Tertawa pelan pria itu. Ia ulurkan tangannya di hadapan Fawnia. "Ku pegangi."
Ke tangan Marva Fawnia memandang. Kemudian berpindah pada matanya. Sejujurnya Fawnia bukan tak percaya pada Marva. Ia tidak percaya pada dirinya sendiri. Entah kenapa kalimat belajar jalan sekarang terdengar menakutkan.
Bagaimana jika ia terjatuh? Bagaimana jika ia merepotkan banyak orang? Atau bagaimana jika ia selamanya akan lumpuh?
"Hey." Lembut Marva memanggil. Di tangkupnya pipi Fawnia. "Jangan mikir yang aneh-aneh dulu." Pria itu berkata. Sungguh, dia hafal ekspresi apa yang di buat Fawnia jika sedang memikirkan sesuatu.
"Ayo." Sekali lagi Marva berkata sembari menggerakan jari-jari tangannya sebagai isyarat pada Fawnia untuk memegang.
Fawnia mengulum bibir bawahnya guna menenangkan diri dan mengusir rasa takutnya. Tanpa sadar ia menelan ludah. Perlahan, tangannya ia letakan di atas telapak tangan Marva. Langsung saja pria itu bangkit dan menarik kekasihnya sampai berdiri. Cepat sekali kejadiannya.
Cepat juga Marva menuntun tangan Fawnia untuk melingkar pada lehernya. Cepat pula Marva meletakan tangannya pada kedua sisi pinggang kekasihnya untuk menahan agar Fawnia bisa berdiri tegak.
"Marva!" teriakan Fawnia menggelegar di koridor. Bagaimana tidak? Marva begitu cepat menariknya hingga berdiri.
Sekuat tenaga perempuan itu mengunci tangannya di leher Marva. Menduga-duga prianya akan melepaskan tangan dari sisi pinggangnya. Di dada kanan Marva Fawnia menyembunyikan wajah. Memejamkan mata, takut jika dirinya seolah akan terhempas pada lantai dan jatuh. Gemetar tubuhnya, nafasnya pun sesak. Sungguh, penampakan keramik lantai kini sangat menakutkan bagi Fawnia.
Membayangkan dirinya terhempas hebat dan kepala bocor akibat terantuk pada lantai. Padahal dulu ia begitu cepat melangkah hingga jas putih yang selalu ia gunakan berterbangan kebelakang begitu elegan.
"Aku pegangi." Marva berkata tepat di telinga sang wanita.
"Nggak mau!" Fawnia menolak. Dia tidak percaya pada dirinya sendiri. Bahkan ia sangat yakin jika saja Marva tak memegangi sisi pinggangnya, mungkin sekarang Fawnia sudah jatuh terduduk pada lantai.
KAMU SEDANG MEMBACA
TETAP BERSAMA [DIROMBAK]
Подростковая литератураFawnia, dia adalah seorang Dokter Spesialis Kesehatan Jiwa. Dia bekerja di rumah sakit milik Kakaknya. Berita mengenai kecelakaan proyek tak sampai di telinga Fawnia maka saat ia berniat menemui sahabatnya, Kira di IGD. Psikiater itu pun terkejut me...