Mention kalau ada typo.
Happy reading💐
🥀☕️
"Kira!" Suara Fawnia berhasil membuat Kira sadar dari lamunannya. Pandangan matanya masih mengarah ke depan walau Devka sudah tak ada di sana.
"Kira lo nggak apa-apa, kan?" Fawnia bertanya khawatir masih dengan nafas yang terengah-engah karena tak memberi jeda pada tubuhnya saat menaiki tangga. Ia sentuh kedua pipi Kira, juga beberapa anggota tubuh lainnya. Memastikan sahabatnya itu benar-benar tak terluka.
"Gue nggak apa-apa," serak suara Kira menjawab. Tatapan matanya melambangkan keterkejutan dan ketakutan.
Tepat saat Marva telah sampai pada lantai kedua wanita itu berada. Di saat itu pula suara tembakan kembali terdengar. Bukan Fawnia yang sekarang berlari, tapi Kiralah orang pertama yang berlari menuju bangunan kedua.
Sejenak Fawnia dan Marva saling pandang sama-sama bertanya lewat isyarat mata sebelum ikut berlari mengikuti Kira. Mereka bertiga bersama-sama melewati jembatan penyatuan yang masih setengah jadi. Kembali menaiki tangga menuju lantai paling atas.
Mereka tak memberi jeda pada kaki dan terus di paksa naik tangga. Bahkan sekarang keringat sudah membasahi tubuh mereka.
Di lantai paling atas bangunan kedua tepatnya di rooftop, di situlah mereka bertiga menemukan Devka dan Andro saling menodongkan pistol dalam jarak tiga meter.
Rahang Devka mengetat hingga memunculkan urat-urat bertanda emosinya sudah di ujung tanduk. Sementara pria bernama Andro di depan sana masih sesekali menunjukan gelagat aneh.
Fawnia terengah-engah kelelahan, menunduk menyentuh lutut kakinya sendiri. Marva juga melakukan hal yang sama. Sementara Kira sudah berdiri tegak di belakang Devka dengan jarak cukup dekat.
Kira tak menunjukan ketakutan apapun. Ia pandangi punggung polisi itu. Mengamati tetesan-tetesan darah yang berasal dari telinga Devka dan jatuh mengenai bahunya.
"Pak Andro Arsenio, anda di tangkap atas pengedaran dan mengkonsumsi obat-obatan terlarang." Lurus kedepan Devka arahkan senjata apinya. Dalam satu tarikan saja di pastikan Andro akan berdarah-darah di sana.
Tidak seperti tadi, kali ini tiba-tiba saja Andro menangis. Namun, tangannya masih menggenggam pistol. Kedua alis Devka berkerut setelah menyaksikan sendiri perubahan suasana hati Andro yang begitu cepat.
Setelah di rasa mendingan, barulah Fawnia bisa berdiri tegak. Pandangannya mengarah kepada Andro di depan sana. "Dia..." Marva di sampingnya menoleh. "Dia habis mengkonsumsi obat."
"Pergi!" Andro tarik pelatuknya. Serentak mereka semua menunduk.
Marva menarik Fawnia kedalam dekapannya lagi. Sementara Kira mendorong Devka cukup kuat hingga mereka berdua pun jatuh bersamaan ke lantai.
Sementara Andro begulat pada sejata apinya yang kini telah kehabisan peluru. Dia berteriak, mengangung-ngaung kesal karena tak bisa menembaki Devka.
Di atas tubuh Devka Kira meletakan kepalanya sambil memejamkan mata. Ia sebenarnya takut tapi tetap berusaha untuk melindungi Devka. Setidaknya ia harus balas budi karena polisi itu sudah menyelamatkannya tadi.
Tersadar jika dirinya berada di atas dada pria, buru-buru Kira bangkit berdiri. Ia tepuk-tepuk jas putihnya berniat membersihkan dari debu membandal yang sebenarnya bersih tanpa noda. Devka pun bangkit berdiri memandangi Kira yang masih sibuk membersihkan jasnya.
"Gue nggak apa-apa." Devka berkata. Padahal Kira sama sekali tidak menanyakan kondisi pria itu.
Dari arah bawah, terdengar suara sirine polisi lain yang bisa langsung di tebak oleh Devka jika itu adalah rekan-rekannya. Devka melangkah mendekati Andro. Dalam satu kedipan mata ia rampas pistol itu dari tangan Andro, kemudian di lempar kesembarang arah.
Tak sampai di situ, Devka tarik tangan pria itu kemudian menyatukannya di belakang. Ia keluarkan dua besi bulat legendarisnya lalu memborgol pergelangan tangan Andro.
Di bawah langit sore dengan sunset yang di tunggu-tunggu Kira sejak tadi. Misi penangkapan Andro Arsenio kini di nyatakan berhasil.
°~°~°~°~°~°
"Bawa dia!" Devka dorong Andro seperti barang kepada dua rekannya. "Jangan sampe lepas lagi." Peringatan tegas dari Devka.
"Baik, Pak." Kedua polisi itu menunduk kemudian memasukan Andro kedalam mobil. Siap untuk di bawa ke kantor polisi di pusat kota.
Mobil mereka pun melaju pergi meninggalkan Devka di sana.
Tiba-tiba saja dengungan seperti suara mic melanda telinga kanan Devka. Ia meringis sambil memegangi telinganya sendiri. Padahal tadi baik-baik saja meski terluka, tapi sekarang dengungan itu tiba-tiba datang.
Mata Devka sampai terpejam sanking sakitnya dengungan itu. Nafasnya pun tak beraturan.
Tak lama, dengungan itupun perlahan-lahan hilang. Barulah Devka bisa membuka matanya dan menemukan Kira sudah berdiri di depan.
"Sini gue obati." Tanpa permisi, Kira langsung menarik tangan Devka untuk mengikutinya. Wanita itu sudah dari tadi memperhatikan gelagat Devka yang aneh setelah mobil rekannya itu pergi.
Kira membawa Devka ke dalam tenda yang menjadi kamarnya. Belum sempat Devka menolak, Kira sudah menekan kedua bahu pria itu untuk duduk di atas kasurnya lalu bersingkut pergi ke arah lemari untuk mengambil kotak P3K.
Kini, Devka yang harus menengadah kepada Kira lantara wanita itu telah berdiri di hadapannya. Tanpa sadar Devka menelan salivanya susah payah akibat kecanggungan mengelilinginya. Entahlah, tiba-tiba saja seluruh tubuhnya kaku dan ia tak berani memandang Kira di atas.
Sementara Kira terlihat biasa saja. Bahkan sekarang tangannya mulai bergerak menyentuh daun telinga Devka yang terluka.
"Aw aw, Kira." Devka reflek menjauhkan telinganya. Perih menjelajar saat kapas yang sudah di basahi obat oleh Kira menyentuh daun telinganya.
Kira memberhentikan aktivitasnya sejenak berniat memberi jeda. Ia tatap wajah Devka yang terpejam dengan alis yang berkerut menahan perih.
"Tahan sebentar." Kembali Kira mengobati luka pada telinga Devka. Kali ini lebih hati-hati, pelan dan lembut usapannya seakan tak mau jika polisi itu meringis lagi.
Beberapa saat kemudian, kini telinga Devka telah di balut oleh perban. Kira hanya membalut perban pada bagian daun telinga atas Devka yang terluka.
Wanita itu pun menyusun obat-obat kedalam kotak P3Knya kemudian menyimpannya kembali ke dalam kemari.
"Apa kabar, Kira?"
Pertanyaan itu pun berhasil membuat Kira membeku di depan lemari. Sementara Devka masih duduk di atas kasur memandang punggung wanita itu. Cukup lama Kira mematung di sana hingga ia berbalik badan dan melangkah mendekati Devka.
Mendeliklah Devka pada saat Kira memeluknya. Begitu erat pelukannya sampai ia sulit bernafas. Namun, Devka tak membencinya, justru ia membalas pelukan Kira. Ia usap-usapi punggung wanita itu. Ia cium sisi kepala wanita itu. Ia juga mencium bahu serta mengendus kuat-kuat aroma parfum dari tubuh Kira.
Sudah sangat lama, sangat lama Devka tak mencium aroma ini. Sudah sangat lama pula ia tak merasakan pelukan seerat ini. Pelukan erat yang berasal dari wanita pujaan hatinya.
Terima kasih banyak sudah membaca.
rosekopi🥀☕️
KAMU SEDANG MEMBACA
TETAP BERSAMA [DIROMBAK]
Ficção AdolescenteFawnia, dia adalah seorang Dokter Spesialis Kesehatan Jiwa. Dia bekerja di rumah sakit milik Kakaknya. Berita mengenai kecelakaan proyek tak sampai di telinga Fawnia maka saat ia berniat menemui sahabatnya, Kira di IGD. Psikiater itu pun terkejut me...