Sebenarnya kota itu tampak gelap kalau saja lampu-lampu yang menjadi sumber cahaya itu padam. Walau hari sudah hampir tengah malam, kota itu masih tampak ramai dengan anak-anak muda menghabiskan waktu dengan teman atau pasangan di kafe-kafe outdoor.
Berbeda dengan muda-mudi di luar sana, seorang pemuda sedang mengendarai mobilnya. Tatapannya tampak fokus ke arah jalan. Wajahnya tegas dengan garis rahang yang kokoh terkesan dewasa dan penuh kharisma. Bulu matanya lentik yang membuatnya terlihat ramah dan penyayang serta bola mata yang bersinar di bawah cahaya lampu kota. Hidung mancung dengan bibir tipis terkatup rapat. Rambutnya yang halus dan lebat dibiarkan berantakan seperti orang yang memiliki banyak masalah.
Seharusnya ia pulang besok, karena masih ada tugas kuliah yang belum selesai, tetapi karena ia sudah sangat merindukan rumahnya, ia memaksakan menyelesaikan tugasnya dan bisa pulang hari ini.
Mobil memasuki gang kompleks perumahannya. Tak ada yang berubah selama ia meninggalkan rumah. Semuanya tampak sama. Setelahnya ia tiba di rumah dengan dua lantai. Orang tuanya sangatlah sederhana, tidak suka sesuatu yang berlebihan, jadi mereka membeli rumah sederhana tanpa perlu mencari asisten rumah tangga.
Arzen keluar dari mobil dan membuka bagasi, mengambil kopernya dan menutup bagasinya kembali. Ia memperhatikan rumah yang tidak pernah berubah. Tanaman ibunya masih tertata rapi di halaman. Pasti ibunya itu berusaha keras untuk merawat tanaman kesayangannya. Ia perlahan menuju teras dan mendengar suara samar-samar. Didorongnya pintu yang ternyata tidak dikunci. Berjalan perlahan hingga ia sampai di ruang keluarga dan melihat tingkah kekanakan orang tuanya. Ibunya yang memiting leher ayahnya, ayahnya yang berusaha melepaskan belitan di lehernya, serta Aren yang tertawa puas melihat Andri yang teraniaya.
Arzen menghela napas. Ternyata kekonyolan keluarganya tak pernah hilang. "Mau aku bantu?" Arzen menginterupsi kegiatan mereka. "Dengan begitu akan lebih cepat untukku mengambil alih perusahaan," sarkas Arzen yang tak ada lembut-lembutnya.
Mereka semua menoleh dan tak menyangka dengan keberadaan Arzen. Mereka pikir Arzen akan pulang besok, tapi pemuda itu berdiri di sana sekarang.
Misa melepaskan tangannya dari leher Andri dan berjalan mendekati Arzen. Wanita itu tersenyum dengan sedikit tatapan jenakanya. Wanita itu merentangkan tangan, memberi kode agar Arzen segera memeluknya. Namun, bukan pelukan yang ia terima, melainkan tatapan bingung dari Arzen.
"Dasar nggak peka," gumam Misa kesal. Ia menghentakkan kakinya dan menerjang tubuh sang anak. Ia memeluknya erat dan tersenyum senang saat Arzen membalas pelukannya.
"Kamu sehat aja, kan selama di sana?" tanya Misa setelah pelukan mereka terlepas.
Arzen mengangguk dan mendekatkan wajahnya kemudian mencium kedua pipi Misa. Wanita itu memegang lengan Arzen yang terasa keras dan berotot. Sepertinya anaknya rajin olahraga.
"Kamu udah makan? Kalau belum biar Mama masakkan," ucap Misa menawarkan.
"Nggak perlu, aku udah makan. Lagian udah malem." Arzen melarikan pandangannya ke arah sang ayah lalu ia berjalan mendekat. Walau kalimatnya tadi hanya sebuah sindiran, ia tetap mencium tangan sang ayah. Ia juga tidak mau mengurus perusahaan yang cukup besar itu seorang diri.
"Kamu masih sering ke kantor?" tanya Andri, menepuk bahu Arzen sekilas.
"Masih. Aku juga masih belajar dari pak Wahyu," ucap Arzen mendudukkan dirinya di samping Andri. Tatapannya beralih menatap Aren yang terdiam.
"Apa?" ketus Aren saat melihat senyum Arzen saat menatapnya.
Pria itu kemudian bangkit dari duduknya. "Aku mau istirahat." Arzen menyeret kopernya menuju lantai atas.
KAMU SEDANG MEMBACA
Take Me Home
Teen FictionHarapan Hera hanyalah bisa mengubah sikap ayahnya menjadi sosok yang hangat dan perhatian seperti saat ia kecil dulu. Semua usaha ia kerahkan untuk mengubah ayahnya menjadi seperti semula termasuk menuruti apa yang ayahnya katakan. Namun, kesalahann...