14

30 8 0
                                    

Hera berdiri di depan pintu kamar Arzen. Ini tidak seperti ia sedang menunggu pintu itu terbuka, melainkan menenangkan jantungnya yang berdetak dua kali lebih cepat dari biasanya. Setelah kegiatannya membantu Misa memasak, Hera memutuskan untuk memenuhi panggilan Arzen.

Tangannya bergerak perlahan membuka pintu dan mengintip sedikit sebelum pemilik kamar menyuruhnya masuk kemudian berdiri tidak jauh dari sofa karena Hera tidak tahu apa yang harus dilakukan di saat seperti ini.

"Duduk." Arzen menepuk sofa di sampingnya agar gadis itu segera duduk dan menyingkirkan laptop dari pangkuannya.

Hera segera duduk dengan perasaan tidak menentu karena tatapan Arzen seperti terus mengamatinya. Seperti ada penyangga di belakang punggungnya hingga ia duduk dengan posisi tegap dan terasa lucu di mata Arzen.

Pria itu mengambil sesuatu dan menyerahkannya kepada Hera. "Ambil ini."

Hera menatap Arzen dan paper bag itu bergantian seakan bertanya apa yang Arzen berikan untuknya. Menatap Arzen yang mengisyaratkan agar Hera segera membukanya, gadis itu meraih paper bag dan mengintip isinya sebelum mengeluarkan boks dengan gambar sebuah ponsel di atasnya.

"Ini ...." Hera bingung kenapa pria itu memberikannya ponsel. Dilihat dari tampilan boks-nya saja sudah bisa dipastikan bahwa ponsel itu memiliki harga yang cukup fantastis.

"Aku lihat kamu tidak memiliki ponsel," ucap Arzen sebelum melanjutkan, "Tentu saja tidak punya karena kamu bahkan tidak tahu cara menggunakan tab-ku saat itu." Arzen melirik Hera dari sudut matanya dan melihat gadis itu terdiam sambil memegang erat kotak berisi ponsel itu.

Akhirnya Hera paham kenapa Arzen memberikan benda itu untuknya. Selama Hera bertumbuh menjadi gadis remaja, ia tidak pernah berpikir untuk memiliki benda yang saat ini tidak bisa lepas dari kehidupan sehari-hari dan ia juga tidak tahu bagaimana cara menggunakannya. Setahunya benda itu bisa digunakan untuk bertelepon seperti telepon di rumah sang nenek, tapi jelas bentuknya sangat jauh berbeda.

Di lain sisi Linda pernah membelikannya ponsel untuk keperluan sekolahnya, tapi Dirga dengan tega membanting benda tersebut tepat di hadapannya. Karena itulah Linda dan Dirga bertengkar hebat. Jadi, sejak saat itu, Hera tidak pernah berharap apa-apa dari orang tuanya.

"Kamu nggak suka?" Arzen bisa melihat raut murung dari wajah Hera. Apakah gadis itu tidak menyukai pemberiannya?

"Oh, nggak. Aku hanya teringat kenangan buruk karena masalah ponsel," jawab Hera berusaha tersenyum.

Arzen menatap wajah Hera dengan intens. Sejak kepergiannya, ia tidak tahu apapun tentang Hera dan ia juga tidak berusaha mencari tahu. Apa yang dialami gadis itu, ke mana perginya kakak perempuan Hera, bagaimana gadis itu menjadi sangat murung dan terkesan menyedihkan. Arzen sama sekali melupakan keberadaan Hera hingga gadis itu muncul di hadapannya beberapa hari lalu.

"Apa ini ada hubungannya dengan saudaramu?"

Hera tersentak dan Arzen menyadari itu. Sepertinya dugaannya benar. Hera terdiam dan semakin menundukkan wajahnya. Hera tidak pernah menceritakan masalah keluarganya kepada orang lain atau bahkan berusaha untuk itu, karena Hera merasa bahwa dirinya hanyalah orang yang telah berbuat dosa besar dan ia merasa terbebani dengan itu.

"Aku–" Kalimatnya terpotong karena Arzen lebih dulu berbicara.

"Nggak usah dilanjutkan kalau kamu belum siap." Arzen menggeser duduknya agar lebih dekat dan menepuk kepala Hera. "Tapi aku berharap kamu bisa menceritakan apa yang terjadi tanpa merasa terbebani."

Hera merasa matanya memanas dan dadanya terasa berdenyut saat mendengar kalimat Arzen. Itu bukanlah kalimat yang berarti, tapi bagi Hera yang tidak bisa menolak jika orang itu menyuruhnya bercerita, itu adalah kalimat yang seakan menyatakan bahwa Hera masih memiliki haknya.

Take Me HomeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang