Aren memarkirkan mobilnya setelah sampai di rumah. Melihat Hera masih tertidur ia berinisiatif membangunkannya. Sudah berulangkali ia memanggil nama Hera dan mengguncang bahunya. Namun, tak ada respons dari gadis itu. Aren menghela napas dan turun dari mobil. Ia membuka pintu samping dan menggendong Hera ala bridal. Aren tak kesusahan karena menurutnya tubuh Hera tidaklah berat.
Arzen duduk di ruang keluarga sambil menonton TV. Pria itu tampak serius menonton presenter yang berbicara di sana.
"Ma," panggil Aren. Ia tidak tahu harus membawa Hera ke mana sebab ia tidak mungkin membawanya ke kamar Arzen. Dan ia tidak akan membawa Hera ke kamarnya.
"Hera kenapa?" Misa menghampiri Aren yang sedang menggendong Hera.
Aren sedikit melirik ke arah Arzen yang juga menatapnya. Sudut bibirnya terangkat sedikit. "Dia pingsan," kata Aren. Kita lihat bagaimana reaksi orang yang tidak mau meminjamkan kamarnya untuk gadis rapuh seperti Hera. Namun, sungguh disayangkan, Arzen justru kembali menatap layar TV dan hampir saja Aren mengumpat kalau tak ada ibunya. Dasar pria berhati sempit! Makinya dalam hati. Tentu saja ia tak berani mengatakannya langsung.
"Duh, kok bisa pingsan?" Misa menyingkirkan rambut yang menutupi wajah Hera. Terlihat wajah gadis itu sangat pucat. "Apa kita bawa ke dokter aja, ya. Mukanya pucet banget," khawatir Misa. Apa yang mau dikatakannya pada Linda kalau ia tidak bisa menjaga Hera hingga gadis itu jatuh sakit?
"Tadi aku juga nggak liat dia di kantin," ucap Aren. Itu kenyataan dan juga kalimat provokasi untuk memancing Arzen. Dengan begini kakaknya itu akan luluh, kan?
"Kenapa kamu nggak ajak Hera ke kantin juga?" tanya Misa. Kalau memang Hera tidak ke kantin apa salahnya Aren mengajak Hera juga.
Aren berdeham sebentar. "Ya, aku kira dia bakal sama temennya." Ia tidak mungkin mengajak Hera ke kantin walaupun tak ada yang menyuruhnya. Lagipula ia tak mau Rinjani kembali ngambek hanya karena ia membawa Hera ke kantin.
"Ya udah, tidurkan di kamar Arzen dulu, nanti Mama siapkan obat," perintah Misa yang tentu saja mendapat penolakan keras dari Arzen. Pria itu bangkit dan menghampiri mereka. Ia juga bisa melihat bagaimana pucatnya wajah itu.
"Antar dia pulang."
"Antar pulang ke mana? Dia juga lagi sakit. Kamu ngalah, dong," ucap Misa tak habis pikir.
"Tidurkan di kamar Aren," ucapnya. Sangat tak masuk akal Misa terus memaksa menidurkan Hera di kamarnya. Kan, ada kamar Aren, kenapa tidak di sana saja? Kenapa pula harus di kamarnya?
Aren menatapnya sangsi. Pantas saja selama ini ia tidak pernah melihat kakaknya itu menggandeng seorang wanita, mendengar kalimat tak berperasaan dari Arzen saja, Aren rasa wanita manapun pasti akan merasa sakit hati.
Hera menggeliat di gendongan Aren. Dia mengerjapkan matanya, menyesuaikan cahaya yang masuk. Di depannya ada sebidang dada kokoh yang terbalut seragam sekolah. Dia mengernyit bingung. Mendongakkan wajahnya dan melihat wajah Aren yang juga menatapnya. Rasanya Hera ingin pingsan saja. Kenapa ia bisa sedekat ini dengan Aren? Memikirkannya saja membuat kepala pusing. Dan dia merasa ada sesuatu yang bergejolak di dalam perutnya.
Semua perhatian tertuju pada Hera yang menutup mulutnya seakan menahan sesuatu yang hendak ke luar. Hera menepuk dada Aren agar menurunkannya.
Bukannya merasa lebih baik, penglihatannya malah membayang dan semuanya terlihat hijau. Tak kuat menahan tubuhnya, Hera berjongkok sambil menutup mulutnya agar menahan sesuatu yang mendesak keluar.
Misa mendekat dan mengusap punggung Hera. "Keluarin aja, jangan ditahan," kata Misa khawatir. Wanita itu melirik Aren dan menyuruhnya mengambil segelas air mineral.

KAMU SEDANG MEMBACA
Take Me Home
Teen FictionHarapan Hera hanyalah bisa mengubah sikap ayahnya menjadi sosok yang hangat dan perhatian seperti saat ia kecil dulu. Semua usaha ia kerahkan untuk mengubah ayahnya menjadi seperti semula termasuk menuruti apa yang ayahnya katakan. Namun, kesalahann...