10

53 12 1
                                    

Hera memeluk lututnya. Kepalanya ia sandarkan di atas lutut. Kelopak matanya menurun, menatap pergelangan kaki kirinya yang masih sedikit nyeri lalu diusapnya kulit yang masih meninggalkan rona biru keunguan di sana.

Pikirannya mereka ulang kejadian sesaat sebelum ia duduk di atas kasurnya saat ini. Saat antusiasnya dipatahkan oleh sepenggal kalimat dari mulut Arzen. Namun nyatanya, pria itu mengkhawatirkan kondisi kakinya yang terluka.

Setelah sampai di rumah Hera, Arzen memintanya untuk menunjukkan pergelangan kaki kirinya yang memar. "Kamu nggak akan bisa berjalan dalam waktu yang lama dengan kondisi kaki seperti ini," katanya saat melihat pergelangan kaki Hera yang membiru.

Hera pun membenarkan ucapan Arzen saat itu. Saat dibawa berjalan tadi saja, rasanya cukup menyakitkan.

Hera perlahan mengangkat sudut bibirnya. Ia baru mengenal Arzen hanya dalam waktu yang sangat singkat. Pria yang awalnya terlihat galak dan tidak mau tahu urusan orang lain itu justru memberi sedikit perhatiannya untuk Hera. Hera pun cukup merasa senang dengan secuil perhatian itu.

Namun, senyumnya kembali menjadi garis lurus. "Kehangatan yang datang dari orang lain nggak akan pernah bisa mengalahkan kasih sayang dari keluarga sendiri." Dadanya terasa nyeri seperti ada benda tajam yang menghujamnya dan perasaan-perasaan yang tidak bisa dijelaskan berkumpul di sana. Sunyinya kamar tidak bisa mengalahkan bagaimana hatinya hampa saat ini.

***

Seorang wanita paruh baya duduk sambil menyilangkan tangan di depan dada. Alisnya sedikit menukik dan tatapannya menyorot tajam.

Tiga pria duduk di ruangan yang sama. Pria yang lebih tua berusaha membujuk istrinya. Pria pertengahan usia 20-an mendatarkan wajah seperti biasa. Gayanya pun tak jauh berbeda dari sang ibu, menyilangkan tangan di depan dada. Sedangkan pria yang lebih muda, hanya bisa menghela napas pasrah.

"Bawa Hera kembali." Itu adalah kalimat yang sudah tiga kali terucap. Namun sayangnya, kalimat yang ditujukan untuk seseorang yang kini menatap ibunya jengah, hanya dianggap angin lalu olehnya.

"Aku mengantarnya pulang bukan mengusirnya." Untuk pertama kalinya dia menjawab.

"Mama tau," ucap wanita itu, "Tapi kamu harus bawa dia kembali ke sini."

Arzen melihat tatapan ibunya. Tak ada kelembutan di sana. Hanya ada sorotan serius dan sedikit rasa cemas. Arzen tak tahu apa yang dipikirkan ibunya. Hera sudah besar dan akan beranjak dewasa. Tak seharusnya ibunya mencemaskan orang lain yang tak punya hubungan apa-apa selain hubungan persahabatan dengan Linda.

Arzen berdecak, kemudian bangkit dari duduknya dan mengambil kunci mobil. Kalau Misa sudah marah seperti ini ia hanya bisa menuruti permintaan sang ibu.

Misa baru pulang sekitar setengah jam yang lalu setelah menghabiskan waktu seharian di luar rumah bersama sang suami. Namun saat tiba di rumah, ia tidak melihat keberadaan Hera dan hanya menemukan Arzen dan Aren sedang bermain game. Menyadari hal itu wanita paruh baya itu menginterogasi Arzen sebagai pelaku utama penyebab hilangnya Hera yang ternyata anak sulungnya itu mengantar Hera pulang ke rumahnya.

Arzen sudah duduk di kursi kemudi. Pria itu mengacak rambutnya hingga kusut seraya menghela napas. Tak lama setelah itu ia menyadari pintu sebelah kirinya terbuka dan Aren duduk di kursi sebelahnya.

"Gue mau ikut," ucap Aren. Tak mendapati sahutan, pemuda itu menatap Arzen yang juga sedang menatap dirinya. Aren berdeham dan menyamankan posisi duduknya.

Arzen diam saja dan mulai melajukan mobilnya meninggalkan pekarangan rumah. Bisa saja ia membawa motor, tapi mengingat ia akan membawa Hera ke rumahnya yang pasti gadis itu akan membawa keperluannya juga, lebih efisien jika ia membawa mobil. Tak membutuhkan waktu lama, mobil memasuki pekarangan rumah Hera.

Arzen turun dari mobil. Ia memperhatikan rumah Hera yang masih terang benderang. Ia mendongak, menatap sebuah jendela yang ruangan di baliknya juga masih terang. Ia yakin kalau Hera belum tidur padahal sudah hampir tengah malam.

Setelah sampai di depan pintu utama, tak urung keningnya mengerut dengan alis menukik tajam. pintu di hadapannya tak tertutup sempurna dan menyisakan celah kecil di antaranya.

"Wah, ceroboh banget nih, cewek," celetuk Aren yang menyadari pintu utama yang tak tertutup rapat di mana hanya ada seorang gadis di dalam rumah itu.

Arzen langsung saja membuka pintu itu dan berjalan menuju kamar Hera yang letaknya di lantai dua. Aren yang memperhatikan langkah lebar kakaknya hanya bisa berdoa dalam hati semoga kakaknya tidak kalap saat memarahi Hera.

"Hera!" Pria itu membuka pintu bercat putih itu kasar. Ia dapat melihat sosok yang dicarinya membelakangi dirinya dan bersimpuh di bawah jendela dengan gaun tidurnya.

Hera menoleh dan mendapati Arzen dan Aren berada di ambang pintu kamarnya. Gadis itu tidak terkejut karena tadi ia mendengar suara mesin mobil berhenti di pekarangan rumahnya dan derap langkah di dalam rumahnya.

"Kenapa pintu depan nggak ditutup?!" Arzen berjalan mendekat.

Hera terdiam. Ia menatap wajah Arzen yang berdiri di depannya. Wajah itu terlihat keras dengan alis yang menukik tajam. Kenapa pria yang sudah mengantarnya pulang kembali ke sini?

Hera kembali menunduk. Ia menatap gambar diri di sebuah buku album. Di sana dirinya tengah tersenyum dengan seorang gadis kecil yang sedikit lebih tinggi saat itu.

"Menurut Abang, apa artinya keluarga?" tanya Hera lirih.

Arzen mengangkat alisnya. Kenapa tiba-tiba membahas keluarga?

"Apa maksudmu?" Arzen mengernyit bingung.

Hera membuka lembaran awal. Di sana terlihat sebuah keluarga kecil sedang duduk di taman belakang rumah. Wajah mereka tampak berseri dengan dua anak perempuan di antara sepasang suami istri.

"Kata Oma, keluarga itu terdiri dari ayah dan ibu serta anak-anak yang saling mengasihi. Saling mengerti satu sama lain." Hera menjeda ucapannya, "Tapi sepertinya aku telah menghancurkan ikatan kekeluargaan ini," ucapannya sumbang dan terdengar kosong serta putus asa.

Arzen dan Aren memandang Hera tak mengerti. Memangnya seburuk apa hubungan Hera dengan keluarganya?

"Aku juga pernah mendengar kalau keluarga tidak hanya terikat oleh pertalian darah, tapi kasih sayang dan juga saling mengerti."

Hera menatap Arzen yang ikut duduk di depannya.

"Kamu benar. Itu semua adalah arti dari keluarga."

Hera tercekat. Pandangannya mengabur oleh selaput tipis yang menggenang dan bibirnya bergetar. "Lantas kenapa aku nggak merasakan semua itu?" tanya Hera dengan suara parau.

Arzen menunduk. Menatap sebuah foto yang menjadi objek pembicaraan mereka. Ia akhirnya paham kenapa Hera membahas masalah keluarga.

"Tidak ada yang sempurna di dunia ini. Dalam kasusmu, keharmonisan keluargamu merenggang." Arzen mengusap pipi Hera yang sudah bersimbah air mata. Pria itu menatap mata penuh luka yang selama ini dipendam. "Ikutlah denganku. Akan kutunjukkan apa itu keluarga bagimu."

Take Me HomeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang