Hera, seorang gadis manis yang penurut. Ia selalu menuruti perkataan orang lain dan selalu bergantung pada orang lain. Oleh karena itu, ia menunggu Aren yang sedang mengantar pacarnya. Langit sudah mulai gelap dan sepi kendaraan yang lewat, tapi Aren belum juga datang menjemputnya. Apa Aren lupa sudah menyuruhnya menunggu?
Hera bersandar di sandaran kursi halte. Udara dingin menerpa tubuhnya yang hanya dibalut seragam sekolah. Suara binatang malam mulai mengisi kesunyian. Sampai saat itu pun Hera masih menunggu.
***
"Hera belum pulang?"
"..."
"Mungkin lagi sama Aren. Anak itu juga belum pulang."
"..."
"Ah, iya. Kamu jangan khawatir." Wanita itu memutus sambungan teleponnya dan menatap jam di dinding. Sudah hampir pukul 7 malam, tapi Aren masih belum pulang. Ia beranjak dari duduknya dan menuju tangga sebelum suara pintu terbuka menghentikan langkahnya.
"Darimana saja kamu?" Misa menghampiri Aren dengan terburu. "Kamu udah anter Hera pulang? Mamanya tadi nanya, katanya Hera belum pulang," tanya Misa penuh selidik.
Aren menegang. Ia lupa kalau ia menyuruh Hera menunggunya sampai ia menjemputnya.
Dia bodoh atau gimana, sih. Gue, kan nggak tau kalo dia nurut banget sama perkataan gue, batinnya.
"Aren. Hera udah kamu anter pulang, kan?" tanya Misa mulai curiga melihat tingkah anaknya.
"Ah, anu ... itu Ma, Aren ada kelupaan sesuatu di sekolah. Aren pergi dulu, ya." Tanpa menunggu respons mamanya, Aren langsung meleset membawa mobilnya meninggalkan pekarangan rumah. Ya, ia melupakan sesuatu di sekolah dan itu adalah Hera yang ia tinggal.
"Dasar gadis bodoh. Bisanya nyusahin orang aja," gumam Aren. Semenjak kedatangan Hera dua minggu yang lalu, kehidupan Aren yang bebas menjadi berkurang. Ia selalu disuruh menjaga Hera, bahkan pergi dan pulang sekolah bareng. Waktunya bersama sang pacar otomatis semakin terbatas. Ayolah, dia bukan bodyguard yang selalu menjaga nona mudanya apalagi baby sitter.
Aren dan Hera sudah kenal sejak kecil dan Aren tidak pernah melihat gadis itu lagi sejak gadis itu pindah ke rumah neneknya. Namun, dua minggu yang lalu, Aren mendapat perintah dari sang ibu untuk menjaga Hera yang kembali ke rumah orang tuanya. Awalnya Aren menolak, tetapi Misa mengancam akan memotong uang sakunya dan juga kendaraan pribadinya. Maka dari itu, Aren dengan sangat terpaksa harus menjaga Hera dan mengantar-jemput gadis itu.
***Hera menatap mobil yang berhenti di depannya dan Aren keluar dari sana dengan langkah tegas. Raut mukanya sangat tidak enak dilihat. Alis yang menukik tajam, membentuk lipatan di keningnya.
"Kenapa lo masih di sini?" tanya Aren sedikit membentak.
"Bukannya kamu yang nyuruh aku nunggu di sini?" balas Hera dengan bertanya pula, menatap wajah Aren yang tampak tidak bersahabat.
Aren mengusap wajahnya kasar. "Kalo gue nggak dateng 'kan lo bisa pulang sendiri."
Hera kembali menundukkan wajahnya. Apa ia melakukan kesalahan? Tapi bukankah Aren akan senang kalau ia menuruti kemauan pria itu? Lalu kenapa Aren memarahinya?
"Maaf," ucap Hera terdengar lirih.
Aren menghela napas kasar dan menyuruh Hera masuk ke dalam mobil. Selama perjalanan tak ada yang mau membuka suara sampai Aren berinisiatif melirik ke sampingnya, melihat Hera yang menatap ke luar jendela mobil. Aren tidak bisa tidak berpikir ke mana perginya raut ceria dan penuh semangat dari gadis yang pernah ia kenal itu.
Saat kecil dulu, Hera selalu tersenyum ceria bila ia dan kakaknya datang ke rumah Hera. Namun saat ini, hanya ada kesedihan dan keraguan yang diperlihatkan.
Sebenarnya Aren tidak ingin menakuti Hera dengan perkataan tajamnya. Namun, melihat Hera yang terlalu penurut dan terkesan bodoh, membuatnya mengambil langkah kejam.
Aren kembali pada kenyataan saat mendengar sebuah suara. Aren mengangkat sudu bibirnya dan melirik Hera yang tengah memegang perutnya dan tertunduk malu. "Kalo laper ngomong."
Hera tak menjawab dan hanya menunduk malu. Hera lupa kalau siang tadi ia tidak pergi ke kantin untuk makan siang.
"Turun."
Hera menuruti perintah Aren. Ia turun dan melihat sekitarnya. Ini bukan rumahnya melainkan pinggir jalan yang menjadi tempat penjajah kaki lima.
Hera mengikuti Aren yang berjalan ke sebuah tempat yang menjual sate padang. Aroma dari minyak bawang goreng yang terbakar di atas arang membuat perutnya kembali berbunyi.
"Satenya dua, Pak," ucap Aren dan berjalan menuju bangku yang masih kosong.
Selagi menunggu pesanannya, Aren menatap Hera yang sedang memperhatikan sekitarnya. Setelah diteliti, Hera itu lumayan cantik. Porsi wajahnya yang kecil dengan pipi yang tidak terlalu tembem. Alis yang terlukis tipis menaungi mata sayu di bawahnya.
Perhatian Aren terpotong karena penjual sate mengantar pesanannya. Tak lupa Aren mengucapkan terima kasih. Ia mulai menyantap sate yang menggugah seleranya walau ia sudah makan. Di liriknya Hera yang hanya menatap sepiring sate di depannya.
"Kenapa nggak dimakan?" heran Aren. Gadis itu terlihat ragu memakan sate di hadapannya. "Buruan makan, kalo nggak mau gue tinggal." Setelahnya Hera memasukkan sepotong lontong yang dilumuri kuah berwarna oren kecoklatan dengan perlahan.
"Enak," gumam Hera yang masih bisa didengar Aren. Gadis itu tak menyangka rasanya akan senikmat ini.
"Lo belom pernah makan sate?" Aren mengangkat alisnya. Heran karena melihat Hera seakan belum pernah memakan makanan paling enak tersebut.
Hera mendongak kemudian menggelengkan kepalanya. Ini pertama kalinya ia makan sate karena ibunya selalu melarang.
"Kalo gitu abisin. Kapan lagi lo bisa makan sate."
Hera menurut. Ia menghabiskan satu porsi sate walau membutuhkan waktu sedikit lama. Aren sampai merasa kesal dibuatnya karena memakan seporsi sate seharusnya tidak lebih dari 5 menit. Namun, ini di luar ekspektasinya. Butuh waktu hampir 20 menit hanya untuk menunggu Hera menghabiskan satenya. Namun, Aren tampaknya tidak mau mengganggu Hera yang sangat menikmati satenya.
***
"Turun." titah Aren karena gadis itu tak kunjung turun dari mobilnya. Mereka sudah sampai di rumah Hera. Namun, tak ada tanda-tanda gadis itu akan turun.
"Aren," panggil Hera. "Kalo kamu nggak mau nganterin aku pulang, lebih baik kamu menyuruhku pulang sendiri," lanjutnya. Gadis itu tak berani menatap wajah Aren dan hanya menggaruk punggung tangannya.
"Seharusnya tanpa disuruh pun, kalo gue nggak jemput lo di sekolah, lo bisa pulang sendiri. Jangan jadi bego cuma karena gue nyuruh lo nunggu di sekolah." Aren tak habis pikir dengan pola pikir Hera. Memangnya gadis itu robot?
"Turun," ucap Aren. Ia tidak ingin mendengar perkataan Hera yang terkesan menyedihkan.
Setelahnya, Aren pergi meninggalkan rasa sedih di hati Hera.
KAMU SEDANG MEMBACA
Take Me Home
Teen FictionHarapan Hera hanyalah bisa mengubah sikap ayahnya menjadi sosok yang hangat dan perhatian seperti saat ia kecil dulu. Semua usaha ia kerahkan untuk mengubah ayahnya menjadi seperti semula termasuk menuruti apa yang ayahnya katakan. Namun, kesalahann...