6

29 8 0
                                    

Arzen membuka matanya. Ia melihat jam digital yang berada di atas nakasnya, 4:20. Ternyata sudah subuh. Ia beranjak dari ranjangnya dan keluar dari kamarnya. Ia merasa haus dan tujuannya hanya untuk mengambil minum. Namun, langkahnya terhenti saat melihat Hera yang juga menatapnya. Hera yang ditatap seperti itu, kembali menundukkan kepalanya. Sedari semalam hingga kini, ia tidak bisa memejamkan matanya barang sedetik pun. Ia tidak terbiasa tidur di ruangan terbuka seperti ruang keluarga.

Gadis itu tampak lusuh dengan rambut kusut dan kantung mata yang tercetak jelas di bawah mata. Sangat kontras dengan kulit wajahnya yang putih pucat.

Arzen mengalihkan pandangan dan kembali pada tujuan awalnya. Ia mengambil air mineral di dalam lemari pendingin dan menenggaknya langsung dari botol tanpa repot-repot mengambil gelas. Dari posisinya saat ini, Arzen bisa melihat Hera yang tampak mencari posisi nyaman. Namun, gadis itu terus bergerak tak nyaman.

Seakan tak peduli, pemuda itu meletakkan kembali botol air mineral dan menaiki tangga menuju kamar.

Waktu berlalu dan kini matahari sudah sepenuhnya menampakkan diri. Semua anggota keluarga telah duduk di meja makan termasuk Hera. Gadis itu tampak lesu dan kurang gairah.

Setelah selesai sarapan, Aren dan Hera berangkat ke sekolah bersama seperti biasa. Kini Aren tak banyak bicara. Pria itu lebih banyak diam dan tak banyak mengomel. Wajahnya juga terlihat lebih rileks dari sebelum-sebelumnya. Walau ia keras kepala, ia tahu bahwa menghadapi Arzen jauh lebih sulit daripada menyuruh keledai membaca buku.

"Bang Arzen bukan orang yang lo kenal dulu, jadi jangan pernah ngusik bang Arzen selama lo tinggal di rumah gue. Inget itu," ucap Aren. Bukan karena apa, hanya saja ia seperti harus memberi peringatan untuk gadis itu supaya tidak terkena masalah dengan kakaknya.

Hera hanya mengangguk. Setelahnya mereka keluar dari mobil. Sekolah sudah mulai ramai dan pemandangan Aren yang selalu datang bersama Hera sudah menjadi hal biasa bagi mereka. Namun, ada juga yang tidak suka karena Aren telah memiliki seorang kekasih dan kemunculan Hera dianggap sebagai bibit keretakan hubungan sejoli itu.

Hera masuk ke kelasnya dan duduk di kursi pojok dekat jendela. Dari situ ia bisa melihat orang-orang yang sedang berolahraga di lapangan. Setelah pindah ke SMA Bina Bangsa, Hera dimasukkan ke dalam kelas XI IPA 2. Hera harus bersyukur karena teman sekelasnya walaupun memiliki kesan cuek, tapi mereka tetap mau mengajaknya berbicara.

"Woi, kumpulin PR kalian." Seorang pria yang memilik rambut dengan potongan rapi dan tampak halus itu meneriaki teman kelasnya.

"Sabar, dong. Gue belum selesai nyalin," balas seorang gadis berambut sebahu. Sepertinya gadis itu baru mengerjakan PR atau lebih tepatnya mencontek.

"Buruan, Bi sebelum bu Panca dateng," ucap pria itu tak sabaran. Teman-temannya yang lain sudah mengumpulkan buku PR termasuk Hera.

"Ck, bel aja belum bunyi. Ya kali, tuh guru bisa langsung sampe pas belnya bunyi," decak Binara kesal. Gadis itu semakin mempercepat coretannya dan membanting buku itu keras setelah berhasil menyelesaikan PR-nya kemudian melemparkannya tepat mengenai wajah ketua kelas. Persetan dengan gurunya yang tidak bisa membaca tulisannya.

Tak mau ambil pusing, pria itu menyusun buku di atas meja guru dan kembali duduk di bangkunya. Tak lama setelahnya, bel berbunyi dan bu Panca muncul dari balik pintu. Guru yang terkenal disiplin dan tidak disukai para siswa.

Hera hanya menatap ke depan dan memperhatikan guru itu menjelaskan materi sebelum mengoreksi PR mereka. Hera yang tidak bisa tidur semalam suntuk mulai merasa kantuk. Namun, ia memaksakan tetap terjaga karena ia tidak mau dihukum sampai tak menyadari bel istirahat telah berbunyi.

"Ra, lo abis begadang? Muka lo udah kayak mayat idup," seloroh Binara. Di antara semua murid di kelas XI IPA 2, hanya Binara yang sering mengajak Hera mengobrol.

Take Me HomeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang