11

32 9 0
                                    

Hera baru saja turun dari kamar. Ia bisa mendengar percakapan yang berasal dari dapur yang membahas keanehan Arzen.

"Kamu mau ke mana pagi-pagi udah rapi?" Itu suara Misa yang terdengar heran.

"Kamu mau jalan-jalan?" Kali ini suara Andri yang bertanya.

Hera sampai di lantai bawah. Ia bisa melihat Arzen sudah duduk di kursi sebelah Andri dengan berpakaian rapi. Pria itu memakai kaos berwarna hitam serta celana denim dan sepatu kets. Rambutnya juga ditata rapi tidak seperti biasanya. Hera juga bisa mencium aroma parfum yang menguar dari Arzen, lembut dan menenangkan.

"Hera udah siap?" tanya Misa melihat kehadiran Hera. Wanita itu sedang menata makanan di atas meja makan.

"Udah, Ma," jawab Hera sambil mendudukkan dirinya di kursi seberang Arzen.

Arzen menatap Hera yang sudah rapi dengan seragam sekolahnya. Setelah ia membawa Hera kembali ke rumahnya, ia mengalah dengan tidur di ruang kerjanya. Lagipula ia tidak mau tidur bersama Aren.

"Aren belum siap?" Misa melirik tangga, tapi tidak menemukan Aren di sana. Sepertinya anak itu masih bersiap, pikirnya. Misa berjalan menuju tangga ingin menghampiri Aren.

Tinggallah Hera bersama Andri dan Arzen di meja makan. Andri menatap Hera. "Tidur kamu nyenyak?"

Hera menoleh ke arah Andri. Pria paruh baya itu menatapnya hangat dengan senyuman yang terukir di bibirnya. Melihat itu Hera jadi teringat dengan ayahnya yang dulu selalu menanyainya seperti ini juga.

Hera mengangguk. "Semua karena Bang Arzen," ucapnya sekaligus menyanjung Arzen. Berkat Arzen yang membawanya kembali, ia bisa tidur tanpa harus merasa was was. Padahal saat itu ia pernah berpikir lebih baik tinggal di rumah sendirian daripada tidak bisa tidur di rumah ini.

"Jangan salah sangka. Kalau bukan karena mama aku nggak akan menjemputmu," tukas Arzen, melirik Hera tak senang.

Hera menatap Arzen. Matanya berkedip beberapa kali dan pikirannya mereka ulang perkataan Arzen semalam. "Ikutlah denganku. Akan kutunjukkan apa itu keluarga bagimu."  Tapi kenapa sekarang Arzen menyangkal? Apa kalimat kemarin hanya untuk membujuk Hera agar mau ikut dengannya?

"Arzen," tegur Andri.

Arzen menghela napas lantas bangkit dari duduknya. Kemudian tatapannya menuju Hera yang memainkan jari di atas meja. "Ayo ikut."

Andri dan Hera menatap Arzen. Pria itu sudah menggenggam kunci motor miliknya.

"Mau ke mana? Nggak sarapan dulu?" tanya Andri merasa aneh dengan tingkah Arzen sedari tadi.

"Hera, ayo ikut," ulang Arzen. Pria itu menatap Hera lekat seakan menghipnotis gadis itu untuk beranjak dari sana.

"Abang mau ke mana?" Misa muncul dari tangga bersama Aren di belakangnya. "Loh, Hera belum sarapan." Misa menyadari Hera yang sudah berdiri di samping Arzen dan hendak pergi.

"Itu …."

"Kami makan di luar," potong Arzen, menarik tangan Hera supaya mengikutinya.

"Arzen! Mama udah capek-capek bikin sarapan kamu mau makan di luar?! Arzen!" Sayangnya teriakan Misa hanya dianggap angin lalu oleh Arzen yang sudah membawa Hera dengan motor sport-nya.

***

Motor Arzen berhenti di depan bangunan bertuliskan SMA Bina Bangsa. Pria itu membuka visor helm full face miliknya, menatap Hera yang baru saja turun dari motornya.

Hera berdiri di samping motor Arzen. Gadis itu hanya diam menunggu Arzen berbicara, mengabaikan pasang mata yang memperhatikan kedatangannya. Merasa sedikit aneh karena bukan Aren lah yang datang bersama Hera, melainkan pria tampan dengan pakaian kasualnya.

"Nanti aku jemput," ucap Arzen, menurunkan visor kemudian melajukan motornya, meninggalkan Hera yang masih berdiri di tempatnya.

***

"Kenapa?" tanya Aren yang melihat lipatan berlapis di keningnya. Tampak sekali kalau gadis itu tengah berpikir keras akan sesuatu yang mengganggunya.

"Aku cuma penasaran. Tadi aku liat bang Arzen nganter Hera ," ucap Rinjani menatap Aren yang berada di sebelahnya.

"Oh, kamu udah liat," kata Aren mengundang tatapan curiga dari Rinjani.

"Bang Arzen emang deket sama Hera? Tapi bukannya bang Arzen nggak suka dideketin perempuan?" tanya Rinjani sekaligus menyimpulkan pendapatnya.

"Nggak deket banget, sih. Cuma lagi konslet aja otaknya," ujar Aren, memikirkan tingkah Arzen yang aneh.

"Masa, sih. Kayanya bang Arzen emang peduli sama si Hera." Rinjani tadi sempat memperhatikan interaksi mereka di mana Arzen menatap Hera dengan hangat dan terlihat ramah.

Aren tersedak salivanya sendiri. Ia menatap Rinjani dengan mata yang menyipit dan mulut yang mengulum bibir agar sesuatu yang akan menyembur tidak ke luar. Ia tidak bisa membayangkan bagaimana Rinjani dapat menyimpulkan dari mana datangnya rasa kepedulian Arzen setelah mengingat bagaimana kakaknya itu mengusir Hera, tapi gagal.

"Kamu kenapa?" tanya Rinjani yang merasa Aren tengah menahan sesuatu.

"Kamu nggak tau aja kalo bang Arzen sempet ngusir Hera," ucap Aren ya g sudah bisa menguasai dirinya.

"Jadi Bang Arzen sempet ngusir Hera?" Rinjani menutup mulutnya dengan tangan seakan tak percaya mendengar perkataan Aren.

Aren mengangguk. "Tapi aku nggak tau dia sepeduli itu sama Hera," kata Aren. Melihat Arzen yang tampak selalu mengamati Hera, bukan seperti dirinya.

"Aku selalu penasaran kenapa tante Linda sampe segitunya minta kamu jagain Hera. Emang Hera itu siapanya keluarga kamu?" Rinjani menatap dataran hijau di depannya. Angin lembut bermain dengan rambut lurusnya, membuatnya sedikit berantakan.

"Orang tua kami bersahabat. Aku nggak tau cerita lengkapnya karena aku masih kecil waktu itu," ucap Aren. "Aku sama bang Arzen sesekali main ke rumah Hera. Dulu dia nggak pendiam kaya sekarang, tapi sejak keluarga Hera pindah ke komplek sebelah, aku nggak pernah liat Hera sampe dia pindah ke sekolah ini."

Pandangan Aren terlihat menerawang. Saat itu dirinya bersama Arzen kerap mengunjungi kediaman Hera, tapi Arzen lah yang lebih sering ke sana. Ada satu anak perempuan lain yang seumuran mereka, tapi setahunya anak itu adalah kakak perempuan Hera. Ia tak pernah lagi mendengar kabar tentang anak perempuan yang selalu bersama Hera itu.

"Aku juga nggak tau apa yang disembunyiin orang tuaku tentang keluarga Hera."

Rinjani menatap sisi wajah Aren. Ternyata pacarnya telah kenal dan berteman dengan Hera sejak mereka masih kecil. Tapi kenapa Aren tampak tak menyukai Hera?

"Tapi kamu benci sama Hera?"

Aren mengembuskan napas. Ia sebenarnya tak benci, ia hanya tak suka melihat Hera yang begitu penurut.

"Aku nggak benci. Aku cuma nggak suka liat dia yang selalu menuruti perkataan orang."

"Kamu suka sama dia?" Rinjani memicing. Tatapannya seolah meragukan perkataan Aren. Ia merasa ada sedikit ketertarikan dalam kalimat Aren.

"Nggak mungkin. Aku cuma kasihan," jawab Aren cepat.

Jujur saja. Saat melihat mata sayu milik Hera, ada perasaan ingin melindungi yang selalu ditepisnya. Sedikit rasa perhatian yang selalu ingin ditutupinya. Walau perkataanya terkadang menyinggung perasaan, Aren selalu menyesali setiap kata yang keluar dari mulutnya.

Aren melirik Rinjani yang tengah menggembungkan pipinya. Terlihat sangat menggemaskan di matanya. Berbeda dengan Hera yang selalu tampak murung. Aren bahkan belum pernah melihat Hera tertawa atau bahkan tersenyum.

"Kamu cemburu?" Itu adalah kesimpulan yang bisa Aren ambil setelah melihat respons Rinjani.

Mendengar pertanyaan itu, Rinjani tentu saja memalingkan wajahnya. Kebanyakan wanita suka pria yang peka, tapi Rinjani justru tidak mau mengakui bahwa ia pun suka tipe pria seperti itu.

Terkadang manusia memang sulit untuk dipahami. Perkataan yang terlontar seringkali bukanlah yang sebenarnya. Mereka seringkali berbohong dan menyangkal sesuatu yang benar adanya. Maka dari itu, walau Rinjani tak menjawab dan justru memalingkan wajahnya, Aren tahu bahwa gadis itu tengah cemburu.

Take Me HomeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang