3

33 7 0
                                    

Hera menatap Misa yang sibuk dengan wajan di depannya. Wanita itu tidak mengizinkan Hera untuk membantu menyiapkan makan malam karena ia baru saja keluar dari rumah sakit.

Setelah bangun dari tidurnya dan tidak mendapati Linda, ia justru melihat sosok Aren bersama pacarnya. Pria itu memarahinya habis-habisan serta sang pacar yang juga ikut mengomelinya.

"Gue nggak habis pikir lo bisa sebodoh ini." Ucapan Aren penuh penekanan. "Gue hampir bikin lo celaka. Kalo kemungkinan terburuk yang menghampiri lo, siapa yang disalahkan?"

"Bener. Kalo nggak bisa bilang enggak. Setidaknya pikirin dampak dari sikap lo itu," tambah Rinjani dengan sinis.

Hera menundukkan kepalanya. Ia kembali sedih mengingat perkataan Aren dan Rinjani. Ia tahu ia salah, tapi saat itu ia tidak bisa menolak. Ia takut untuk mengatakan tidak dan membuat Aren marah. Tapi dengan ia tidak mampu mengatakan penolakan justru membuat keadaan menjadi lebih sulit.

"Hera, tolong panggilkan Aren, ya," ucap Misa, menyusun makanan di atas meja. Hera mengangguk dan menaiki tangga menuju kamar Aren. Karena Arzen tidak ada di rumah, selama tinggal di rumah ini, ia akan tidur di kamar Arzen, kakak laki-laki Aren dan juga anak sulung Misa yang masih kuliah. Kamarnya terletak persis di samping kamar Arzen.

Setelah sampai di depan kamar Aren, Hera mengetuk pintu. "Aren, mama nyuruh kamu makan malam," ucap Hera. Gadis itu menunggu di depan pintu hingga Aren keluar dari sana. Penampilan pria itu terlihat sederhana dengan celana pendek selutut dan kaos oblong kebanggaannya.

"Ngapain lo? Minggir." Aren mengernyitkan keningnya, menggeser tubuh Hera dan meninggalkan gadis itu.

"Ma, abang, lusa mau pulang," ucap Aren memberi tahu.

"Loh, kok nggak ada ngabari Mama," heran Misa. Biasanya kalau Arzen ingin pulang ke rumah, anak sulungnya itu akan mengabarinya terlebih dahulu.

"Aku liat dari status WA nya yang lagi kemas barang. Terus katanya mau pulang."

Aren melihat makanan yang tersaji di depannya. Ada tumis kangkung serta ayam goreng. Lantas ia melirik Hera yang duduk diam di seberangnya.

"Selama kamar Arzen ditempati Hera, Abang tidur di kamar kamu, ya," ucap Misa. Mendengar itu tentu saja Aren tidak terima. Ia tidak mau berbagi kamar dengan kakaknya yang super galak itu.

"Nggak mau," tolak Aren mentah mentah.

"Oh, kamu maunya Hera yang tidur di kamar kamu," goda Misa.

Aren melotot. Apa maksudnya itu? "Nggak!" Tolak Aren kembali. "Dia tidur sama Mama aja," ucap Aren ketus. Bisa-bisanya Misa menyuruh Hera tidur bersamanya. Itu jauh lebih mengerikan daripada tidur bersama Arzen.

Misa tertawa melihat respons anaknya. "Nggak bisa. Papa kamu besok pulang." Dapat Misa lihat wajah Aren mengeruh. Di antara dua pilihan, tak ada yang lebih baik dari pilihan itu. Aren pernah meminta untuk tidur di kamar Arzen karena mati lampu dan pria itu dengan tega menendang dirinya yang baru saja berbaring di atas kasur. Tentu saja Aren mencak-mencak karena bokongnya terasa sakit setelah mencium lantai dan Arzen malah mengatainya anak mama, kenapa tidak sekalian tidur di bawah ketiak Misa saja. Sejak saat itu ia tidak mau tidur dengan Arzen.

Aren memakan makanannya dengan ogah-ogahan. Nafsu makannya mendadak hilang dan ini semua karena perempuan di hadapannya yang sedang makan dengan sangat pelan.

***

Aren menepati janjinya dengan sang pacar sebagai ganti tidak bisa menemaninya jalan-jalan semalam. Rinjani mengajak Aren ke mall, karena ia ingin membeli pakaian.

Awalnya Aren senang-senang saja sebelum Misa meneleponnya agar ia dan Hera jangan pulang ke rumah karena Misa ingin berduaan dengan sang suami yang baru sampai tadi pagi. Aren terpaksa mengajak Hera ikut karena merasa sedikit kasihan kalau ia menyuruhnya menunggu di sekolah. Bagaimanapun ia masih punya hati nurani. Namun masalahnya, Rinjani menjadi kesal karena keberadaan Hera.

"Kenapa dia ikut, sih? Kan, aku maunya berduaan sama kamu," ucap Rinjani dengan bibir yang sudah mengerucut. Ia kesal waktu berduanya diganggu.

"Kalo bukan karena mama aku nggak bakal mau ngajak dia," ucap Aren.

Dari belakang Hera bisa mendengar percakapan mereka. Gadis itu menipiskan bibirnya dan meremat rok sekolahnya, menatap ke luar jendela berusaha menulikan telinga. Rasanya Hera ingin menangis dan memeluk ibunya, mengatakan bahwa tak ada orang yang mau berteman dengannya.

Mereka sudah sampai di mal terbesar di kotanya. Banyak orang berseliweran memenuhi gedung tinggi itu. Terasa sesak dan padat. Hera berjalan sekitar lima langkah di belakang Aren, karena tadi Rinjani mengatakan kalau ia tidak mau jalan bersisian dengan Hera.

Mereka naik ke lantai dua menggunakan eskalator. Hera hanya melihat sekelilingnya. Banyak toko di dalamnya. Mulai dari toko pakaian, toko perhiasan, toko swalayan, serta toko elektronik. Di sana juga terdapat studio foto dan banyak remaja seusianya yang sedang berfoto ria dengan teman-temannya. Iri sekali rasanya dan Hera ingin memiliki teman juga.

Hera terus mengikuti langkah kemanapun Aren dan Rinjani pergi. Mereka telah sampai di sebuah toko pakaian. Rinjani membawa Aren mengikutinya untuk memilih pakaian. Hera yang tertinggal di belakang hanya bisa melihat-lihat pakaian yang ada di sana.

"Sayang, ini bagus nggak?" Rinjani menunjukkan sebuah dress berwarna biru muda dengan model off shoulder yang akan memamerkan bahunya serta bawahannya dengan model Maxi.

"No, no. Yang lain," sargah Aren. Ia tidak suka model yang terlalu terbuka.

"Padahal bagus, loh," ucap Rinjani menyayangkan. Ia mengembalikan baju itu dan kembali memilih. "Kalau ini?" Rinjani menunjukkan halter dress berwarna biru laut. Dengan hiasan payet di bagian pinggangnya serta model bawahannya berbentuk high-low.

Tanpa pikir panjang Aren menggeleng membuat Rinjani kembali merengut. Gadis itu mulai menggerutu tak jelas. Percuma saja ia mengajak Aren pergi berbelanja, kalau pria itu tak menyukai baju pilihannya.

Mata Rinjani berbinar melihat dress yang terpasang di sebuah manekin. Lantas saja ia menghampiri manekin tersebut. "Cantik banget," ujarnya penuh kekaguman. "Yang, kalo ini gimana?" Dress dengan model V-nack yang ujungnya sampai melewati dada dan bagian belakang sangat terbuka, memperlihatkan punggung manekin tersebut serta panjang roknya di atas lutut.

"Rin, kamu mau ke mana, sih, pake baju begituan?" tanya Aren sedikit tercengang. Matanya berkedut melihat baju yang sangat terbuka itu. Emangnya Rinjani mau pergi ke club? "Nggak. Cari yang lain," tolak Aren tegas.

"Ih, kamu mah nyebelin. Ini bagus tau." Rinjani tetap kukuh dengan pilihannya. Gadis itu mengusap lembut bahan yang terbuat dari satin itu. Tampak berkilau dan elegan.

"Tapi itu terbuka banget," keluh Aren. "Biar aku yang carikan," sarannya. Aren kemudian memilih baju untuk Rinjani yang lebih tertutup. Aren heran, kenapa wanita suka memakai baju yang memperlihatkan bagian tubuh yang seharusnya tertutup.

"Nih, ini lebih bagus daripada yang kamu pilih tadi." Aren memberikan dress berwarna merah bata dengan model sabrina serta bawahan yang panjang. Menurutnya dress itu cocok untuk bentuk tubuh Rinjani yang lumayan tinggi serta tubuh yang langsing.

"Ih, nggak mau. Apaan model begitu?" cela Rinjani. Walaupun bagus, tetap saja ia tidak suka.

Aren menghela napas dan meletakkan kembali dress tersebut. Ia mencari lagi dress yang menurutnya pantas dipakai pacarnya. Pandangannya jatuh pada sebuah dress berwarna hijau sage dan menawarkannya pada Rinjani.

"Nggak mau. Aku, tuh mau pergi ke pesta, Aren. Bukan mau ikut pengajian," ujar Rinjani gemas. Pasalnya dress yang dipilih Aren sangat tertutup hingga mampu menutup seluruh tubuhnya.

"Padahal bagus, loh," ucap Aren heran. Apa pilihannya seburuk itu?

"Udahlah, biar aku sendiri yang cari," decak Rinjani.

"Tapi jangan yang terbuka," ingat Aren dan hanya dijawab dehaman dari Rinjani.

Berbeda dengan Aren dan Rinjani yang sibuk memperdebatkan dress mana yang cocok untuk Rinjani, Hera hanya bisa menekan keinginannya yang juga ingin memiliki satu gaun pesta, karena ia belum memilikinya. Namun, ia menepis jauh-jauh keinginannya tersebut karena ia tidak akan pernah diajak ke sebuah pesta. Bahkan pesta ulang tahun sekali pun.

Akhirnya Rinjani selesai dengan gaunnya. Itupun atas saran dari Aren untuk memilih gaun yang lebih tertutup di bagian dada dan juga punggung. Setelahnya mereka keluar dari toko pakaian dan menuju Restoran Jepang yang ada di lantai tiga.

Take Me HomeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang