Mata sayunya berbinar kala melihat keramaian. Orang-orang berlalu-lalang dan benda-benda besar berkelap-kelip berada di tempatnya. Seperti halnya orang yang baru pertama kali mengunjungi taman hiburan, Hera merasa antusias. Hera juga tidak menyangka Arzen akan membawanya ke tempat ini.
Arzen mengangkat sudut bibirnya melihat keantusiasan Hera. Ada perasaan tertentu saat melihat raut wajah itu berubah-ubah, terutama saat gadis itu tersenyum. Ingatannya terlempar ke masa lalu di mana sosok Hera kecil yang antusias menyambut kedatangannya serta senyuman yang mampu memikatnya. Arzen pikir itu hanya perasaan sesaat, tapi ternyata itu masih sama. Padahal ia sudah menepis perasaan itu sejak bertemu dengan Hera di rumahnya.
Saat itu Arzen terkesiap melihat sosok Hera yang meringkuk ketakutan di atas kasurnya. Padahal dulu gadis itulah yang paling senang jika ia datang. Padahal dulu gadis itu selalu ceria dan penuh semangat, tapi semua itu telah menghilang. Arzen yang tidak menyukai itu tanpa sadar mendorong Hera menjauh, tapi di sudut hatinya ada sesuatu yang mengganjal dan itu membuatnya merasa tidak nyaman.
"Abang, apa kita bisa naik itu?"
Padahal tempat itu sangat ramai dan berisik, tapi suara lembut dari bibir kecil itulah yang mampu ia dengar. Anak kecil yang dulu hanya bisa mengganggunya kini sudah menjadi gadis remaja yang menawan. Arzen tidak bisa menyembunyikannya lagi, pria itu mengacak rambut Hera gemas dan senyuman yang tidak pernah ia perlihatkan sebelumnya. "Tentu saja."
Hera dan Arzen sudah berada di dalam sangkaran bianglala. Sedari tadi arzen memperhatikan raut wajah Hera yang tampak tegang dan tangan mencengkeram besi sangkaran. Saat bianglala berhenti dan posisi mereka tepat di puncak, Hera semakin mengeratkan cengkeramannya. Arzen tahu Hera ingin berteriak, tapi gadis itu sebisa mungkin menahannya dan itu terlihat lucu.
"Teriak saja jika kamu ingin berteriak," ucap Arzen. "Seperti kamu berteriak saat itu." Arzen mengangkat sudut bibirnya melihat reaksi Hera yang mana mata gadis itu membesar seakan mengatakan kalau ia tidak akan teriak.
"Ah!" Hera terkejut saat bianglala kembali bergerak dan itu mampu membuat Arzen tertawa senang.
Hera mengerucutkan bibirnya karena merasa Arzen tengah meledeknya. Namun, ia tidak berani menegurnya. Hingga bianglala berhenti dan Hera buru-buru turun.
"Kamu mau naik apa lagi?"
Hera menatap mata yang menyorot lembut itu dan merasa ada yang salah dengan Arzen. Kenapa orang ini mendadak berprilaku baik padanya? Namun, Hera tidak memedulikan itu dan menunjuk sebuah wahana komedi putar di mana hanya anak kecil yang menaiki itu.
"Aku mau naik itu."
Arzen melihat apa yang ditunjuk Hera dan menolak dengan tegas. Pria dewasa sepertinya tidak mungkin menaiki wahana untuk anak-anak itu. Jadi, Arzen menyarankan bermain di sebuah wahana berbentuk perahu yang akan bergerak maju-mundur membentuk setengah lingkaran.
Hera tidak menolak, walau ia mendengar teriakan dari orang-orang yang menaiki wahana itu. Mendapat penolakan tegas dari Arzen tadi, Hera jadi tidak berani mengungkapkan penolakannya. Hera takut Arzen akan marah dan menyeretnya pulang.
Hera akhirnya terpaksa mengikuti Arzen dan duduk di samping pria itu. Untungnya mereka mendapat posisi di tengah. Walaupun begitu, bagi Hera yang belum pernah menaiki wahana ekstrem seperti itu, tetap dapat memacu laju detak jantungnya. Selama wahana diputar, Hera mati-matian menahan dirinya agar tidak teriak dan rasanya Hera akan menangis saat itu juga.
Setelah turun dari wahana itu, Arzen mendapati Hera yang terlihat pucat dengan tubuh bergetar juga tatapan yang tidak fokus.
"Hei, kamu baik-baik saja?" Arzen menyentuh bahu Hera yang bergetar dan membawanya duduk di salah satu kursi tidak jauh dari sana.
Hera tidak menjawab dan hanya mencengkram rok denimnya erat. Ia takut bila berbicara, pasti suaranya akan ikut bergetar.
Arzen menghela napasnya dan beranjak dari sana. Melihat itu Hera merasa sedih dan suasana menjadi canggung.
"Minum." Arzen menyodorkan botol air mineral yang sudah ia buka tutupnya dan Hera langsung meminumnya. Ia tahu pasti Hera merasa terguncang setelah menaiki wahana yang ekstrem. Seharusnya ia lebih peka, melihat Hera yang tidak pernah pergi ke taman hiburan. "Kalau kamu tidak ingin naik, katakan saja. Tidak akan ada yang memarahimu." Arzen mengambil botol air mineral dari tangan Hera dan menutupnya kembali.
Lama mereka terdiam hingga akhirnya Hera membuka mulutnya. "Bukannya orang-orang akan senang kalau tidak ada yang menolak?"
Arzen menatap Hera dengan lamat. Gadis itu terlihat sangat berbeda dengan yang pernah ia kenal. Kekhawatiran ibunya yang berlebihan terhadap Hera juga terasa aneh. Selama ia tidak bertemu dengan Hera, apa yang sudah terjadi terhadap gadis itu?
"Kamu punya hak untuk menolak, jika kamu tidak ingin. Kamu punya otoritas terhadap dirimu, jadi jangan terpaku sama orang lain." Ucap Arzen seraya merapikan rambut Hera yang sedikit berantakan. "Kamu nggak harus menuruti perkataan orang lain selama itu merugikan dirimu."
Hera menunduk. Dalam diam gadis itu membenarkan ucapan Arzen, tapi tetap saja hatinya menolak karena kesalahan fatal yang telah ia lakukan membuat ayahnya membenci dirinya. Setelah kematian sang kakak, Hera selalu menyalahkan dirinya dan merasa tidak berhak untuk merasakan bahagia yang seharusnya kakaknya dapatkan.
"Kamu mau naik itu?"
Hera mendongakkan kepalanya dan melihat wahana yang ditunjuk Arzen. Matanya mengerjap pelan dan kembali menatap Arzen yang mengulurkan tangannya. Bukankah Arzen sempat menolak saat ia mengajaknya menaiki komedi putar? Namun dengan sedikit ragu, Hera menyambut tangan yang jauh lebih besar dan mampu melingkupi jarinya itu.
Arzen membeli tiket dan segera menyuruh Hera menaiki salah satu kuda. Namun, saat gadis itu sudah duduk di atas kuda, Arzen tidak ikut naik bersamanya.
"Abang nggak naik?" tanya Hera.
"Wahana ini tidak cocok untuk pria dewasa sepertiku, jadi kamu saja yang naik," ucap Arzen terdengar narsis. Namun, Hera hanya mengangguk dan tersenyum saat wahana itu mulai berputar.
Arzen diam-diam tersenyum dan mengeluarkan ponselnya. Entah apa yang sedang ia pikirkan, pria itu mengambil rekaman video. Melihat Hera yang kegirangan sambil melambaikan tangannya ke arah dirinya dan ia juga membalas lambaian tangan Hera. Setelah mencoba beberapa wahana lainnya Arzen mengajak Hera membeli jajanan yang dijual. Banyak jajanan yang dijual di sana dan mereka mencobanya satu-persatu hingga Hera merasa perutnya akan meledak jika ia meneruskan keinginan Arzen.
Melihat Hera yang terus tersenyum karena dirinya, Arzen merasakan ia bertindak tidak seperti biasanya. Malam sudah menyapa dan akhirnya Arzen mengajak Hera pulang.
"Kamu senang?" Di sela-sela dirinya menyetir, Arzen mencuri pandang, melihat Hera yang memandang ke luar jendela.
Hera mengalihkan pandangannya dan menatap Arzen sebelum mengangguk. "Makasih. Tadi itu menyenangkan," ucap Hera tulus dengan seulas senyum.
"Baguslah. Sudah seharusnya kamu merasa senang."
Setelahnya tidak ada lagi pembicaraan. Hera kembali menatap ke luar jendela dan Arzen menyetir hingga mereka tiba di rumah Arzen.

KAMU SEDANG MEMBACA
Take Me Home
Fiksi RemajaHarapan Hera hanyalah bisa mengubah sikap ayahnya menjadi sosok yang hangat dan perhatian seperti saat ia kecil dulu. Semua usaha ia kerahkan untuk mengubah ayahnya menjadi seperti semula termasuk menuruti apa yang ayahnya katakan. Namun, kesalahann...