9

57 10 1
                                    

Arzen mencengkram erat stir mobil sampai urat-urat nadinya terlihat jelas. Bibirnya terkatup rapat menahan agar makian tak keluar dari mulutnya. Mengingat kembali bahwa gadis itu tak tahu alamat rumahnya sendiri, ingin rasanya ia melempar gadis di sampingnya ke luar karena membuatnya berputar-putar di jalan yang sama. Kalau ia tak segera menelepon Aren entah akan dibawa kemana dirinya oleh petunjuk sesat Hera. Bagaimana bisa selain gaptek ternyata Hera juga bodoh dalam menentukan arah, bahkan jalan menuju rumahnya sendiri saja tak tahu. Dan yang lebih mengesalkan lagi, ternyata rumah gadis itu tak jauh dari rumahnya yang hanya dipisahkan oleh beberapa gang.

Hera tertunduk lesu dan memainkan jarinya di atas paha. Ia melakukan kesalahan besar karena telah membuang waktu Arzen. Ini salahnya karena tak tahu jalan menuju rumahnya dan juga alamatnya. Selama ini ia tak pernah ke luar rumah sendirian. Setiap pergi ke sekolah ia selalu diantar dan dijemput oleh omanya. Hera jadi berpikir tak perlu repot-repot menghapal jalan menuju rumah karena sudah ada oma yang lebih ahli memilih jalan. Dan setelah kepindahannya, ia selalu berangkat dan pulang sekolah bersama Aren.

"Abang, maaf," cicit Hera.

"Kalau tau salah, lebih baik gunakan otakmu yang tidak seberapa itu," sinis Arzen yang sudah terlanjur kesal. Mereka akhirnya sampai di gang perumahan Hera. Walau Linda dan Misa sudah berteman cukup lama, tapi Arzen tak pernah sekalipun mengunjungi rumah baru sahabat ibunya itu. Ia hanya beberapa kali mengunjungi kediaman lama Linda saat berusia sekitar 10 tahun.

Arzen memberhentikan mobilnya di depan rumah Hera. Pria itu kemudian turun dan membuka bagasi disusul oleh Hera. Gadis itu hanya mengamati Arzen yang menuruni barang-barang bawaannya. Tidak banyak hanya satu koper berukuran sedang dan tas ransel berisi buku pelajaran. Saat ia ingin menarik koper miliknya, tangannya ditepis kasar oleh Arzen dan membuatnya meringis kesakitan. Gadis itu terus mengikuti langkah Arzen yang sudah berjalan lebih dulu menuju pintu rumahnya.

"Buka pintunya," decak Arzen pada Hera yang malah diam saja di sampingnya.

Hera dengan gerakkan canggung merogoh kantung roknya dan mengeluarkan kunci dari sana kemudian memasukkannya ke lubang kunci. Ia membuka pintu dan disusul oleh Arzen yang menggeret koper serta menggendong tas ransel miliknya.

Suasana sepi menyambut mereka. Tentu saja karena orang tua Hera masih berada di luar kota. Arzen berjalan menuju sofa dan meletakkan tas ransel di atasnya kemudian mendudukkan dirinya di sana.

Arzen mengamati Hera yang juga duduk di salah satu sofa. Mata gadis itu selalu membuatnya merasa ingin menatapnya lama-lama. Mata sayu yang terlihat sendu serta senyuman simpul yang selalu terukir di kala berbicara. Ia tak menyangka anak kecil yang ia temui dulu sudah sebesar ini. Dulu Hera merupakan gadis periang bersama satu anak perempuan lainnya. Namun sejak ia memasuki SMP, ia tak pernah lagi mengunjungi kediaman Dirga karena ia bersekolah di sekolah swasta yang mengharuskannya tinggal di asrama.

Arzen melirik arlojinya, ternyata sudah pukul 2 siang. Waktunya terbuang sia-sia karena Hera dan sekarang ia merasa lapar.

"Sudah jam 2. Kamu bisa masak?" tanya Arzen pada Hera. Gadis itu menatap Arzen kemudian mengangguk. Pria itu menghela napas lega, setidaknya Hera masih bisa diandalkan. "Kalau gitu buruan masak," suruh Arzen karena jam makan siangnya sudah terlewat.

Hera berlalu dari sana dan menuju dapur. Gadis itu membuka kulkas, tapi tak ada apapun yang bisa diolah di sana. Hanya ada beberapa minuman kalengan dan beberapa buah. Ia lantas menutup pintu kulkas dan membuka lemari yang ada di atas. Namun, hanya ada beberapa mi instan dan makanan kaleng. Hera tak yakin kalau Arzen akan mau makan mi instan di jam seperti sekarang.

"Tidak ada yang bisa dimasak?"

Hera mengusap dadanya saat sebuah suara menyapa telinganya. Jantungnya hampir saja keluar dari tempatnya. Gadis itu menoleh dan mendapati Arzen berdiri tak jauh darinya.

"Hanya ada mi instan," kata Hera.

Arzen mengernyit tak suka. Sepertinya Linda tidak menyetok bahan makanan karena tak ada yang tinggal di rumah ini selama mereka pergi.

"Kamu menyuruhku makan itu?" Tatapannya merendah membuat Hera merasakan hawa dingin di sekitarnya. "Kita makan di luar saja," putus Arzen akhirnya dan berlalu dari sana. Hera hanya mengikuti Arzen.

Mereka akhirnya pergi ke luar mencari makanan. Di akhir pekan seperti ini pastinya jalanan ramai dan itu mampu menyulut emosi Arzen yang sudah berantakan sejak mengantar Hera ke rumahnya. Pria itu terus saja mengumpati pengendara di depannya karena jalan begitu lambat. Memang tidak baik berkendara saat sedang emosi dan perut lapar. Hera yang mendengar berbagai umpatan Arzen pun hanya bisa diam. Ia sebenarnya sedikit terkejut karena pria itu bisa mengeluarkan kata-kata yang tak pernah ia ucapkan.

Setelah mereka sampai di sebuah rumah makan, Arzen turun dan menutup pintu mobil dengan membantingnya. Hera yang masih di dalam hanya bisa mengelus dada dan ikut turun menyusul Arzen yang sudah memasuki bangunan tersebut.

Waktu berlalu begitu lama dan akhirnya makanan sudah tersaji di depan mereka. Hera memesan nila pedas manis sedangkan Arzen memesan ayam lada hitam.

Hera mulai menyendok daging dan memakannya bersama nasi putih. Rasa gurih dan manis memenuhi mulutnya serta rasa pedas yang tidak terlalu membuatnya semakin nikmat juga sedikit rasa asam dari tomat sangat pas dengan seleranya. Gadis itu mulai menikmati makannya tanpa tahu bahwa Arzen telah selesai dengan makannya. Ditengah keramaian rumah makan itu, Hera tampak asik dengan dunianya sendiri. Matanya yang sayu tampak berbinar cerah.

"Apa makanannya sangat enak sampai kamu terlalu menghayatinya?" tanya Arzen diantara suara-suara manusia di sana. Memang sudah jadi kebiasaan bagi Hera makan dengan tempo pelan.

Hera menunduk malu. Apa ia terlalu menunjukkan rasa sukanya pada makanan tersebut? Walau ia sering makan makanan yang lebih mewah dari ini, tapi tetap saja ada rasa kebahagiaan tersendiri yang ia rasakan. Mungkin Arzen tak pernah merasakan itu.

"Cepat habiskan. Apa kamu tak pernah makan makanan mewah seperti ini?" Hera menggenggam erat sendoknya, walau baginya makanan itu tidak terlihat mewah, tapi bagi sebagian orang pasti ingin merasakan bagaimana rasanya makan makanan seperti itu.

Hera mempercepat tempo makannya bahkan ia sempat tersedak dan untungnya Arzen dengan sigap memberinya air minum.

Setelah selesai, mereka pergi meninggalkan area tersebut. Tak ada yang berbicara. Suara-suara kendaraan yang saling menyalip dan suara klakson dari para pengendara mengisi kekosongan suasana di antara mereka. Hera sibuk melihat-lihat ke luar jendela sedangkan Arzen menikmati berkendaranya yang lebih santai karena perutnya sudah kenyang.

Di tengah kebosanannya melihat jalanan, Hera melihat ada benda unik berbentuk lingkaran dan ada beberapa benda kecil yang terpasang pada benda lingkaran itu. Dan yang lebih membuatnya takjub adalah benda itu mampu berputar.

"Wah." Tanpa sadar ia bergumam dan sebelah tangannya memegang kaca jendela mobil. Benda apa itu? Kenapa bisa berputar seperti itu? Pikirnya.

Arzen melirik Hera dari ekor matanya dan melihat ke luar apa yang sedang gadis itu amati. Arzen mendengus geli saat mengetahui apa yang menarik perhatian Hera. Ternyata gadis itu sedang melihat bianglala.

"Kamu belum pernah naik itu?" tanya Arzen sedikit meremehkan.

Hera menoleh dengan tatapan polosnya. "Benda itu bisa dinaiki?" Pertanyaan Hera sangat di luar dugaan Arzen.

"Hah, kamu manusia purba abad ke berapa yang masih hidup?" Arzen benar-benar tak habis pikir. Setelah masalah tab sekarang gadis di sampingnya itu tak tahu benda lingkaran yang dapat berputar itu bisa dinaiki.

"Aku benar-benar belum pernah melihat benda itu," ucap Hera kembali murung.

Arzen mengangkat sudut kanan bibirnya. "Apa kamu mau pergi naik itu?"

"Apa boleh?" tanya Hera antusias. Tercetak jelas tatapan penuh binar di matanya.

"Nggak. Kita pulang sekarang." Setelah membangkitkan semangat gadis polos seperti Hera, Arzen dengan kejamnya mematahkan semangatnya.

Hera menurunkan kelopak matanya dan menarik kembali senyum yang sempat terukir manis di bibirnya. Ia kembali menatap ke luar jendela dan melihat benda itu yang perlahan mengecil dan benar-benar menghilang dari pandangannya.

Take Me HomeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang