18

45 10 0
                                    

Hera mengemas barangnya dan memasukkannya ke dalam koper. Tadi pagi Misa mendapat telepon dari Linda dan mengatakan akan menjemput Hera nanti malam. Jadi, setelah pulang sekolah, gadis itu segera mengemas barangnya.

Arzen duduk di kursi. Melihat Hera tengah memasukkan baju-bajunya ke dalam koper termasuk tiga potong dress dan tiga pasang sepatu yang ia belikan untuk gadis itu. Ia ingat salah satunya adalah sepatu pemberian Tania. Saat melihat sepatu dengan hak sebesar jari kelingking dan tinggi 5 senti, temannya itu membelinya dan memberikannya untuk Hera tanpa sepengetahuan gadis itu.

Hera telah selesai berkemas sebelum kemudian terdiam beberapa saat. Dirga pasti ada di rumah. Berbeda saat ibunya menjemputnya di rumah nenek, Dirga saat itu berada di kota lain. Jadi, kemungkinan pertemuannya dengan Dirga memiliki peluang besar. Namun di sisi lain, Hera merasa gugup dan takut.

"Ada apa?" Arzen bertanya saat melihat Hera yang tidak beranjak dari lantai.

Hera menoleh sekilas. "Aku sedikit gugup," ucap Hera. Dia melirik Arzen kembali, pria itu telah menemaninya beberapa waktu belakangan. Perasaan nyaman dan terlindungi muncul saat Hera berada di dekatnya. Saat Hera akan kembali ke rumahnya, perasaan sedih mulai melandanya.

"Kenapa harus gugup? Mereka orang tuamu," kata Arzen sengaja memancing Hera. Ia sedikit tahu hubungan Hera dengan ayahnya.

Hera tersentak. Benar, mereka adalah orang tuanya. Namun, Arzen tidak tahu apa yang telah terjadi. Arzen pasti hanya mengetahui karakter ayahnya saat masih kecil dulu.

Arzen beranjak dan menghampiri Hera. Pria itu kemudian melipat kakinya dan mendudukkan dirinya di lantai tepat di samping Hera. Pria itu mengangkat tangannya dan mengusap kepala Hera. "Kamu tidak perlu takut. Jika ayahmu memukulmu, katakan padaku. Kamu tidak melupakan ponselmu, kan?"

Hera mengangguk dan melihat ponselnya yang diletakkan di atas ranjang. Ia juga sudah belajar cara menggunakan ponsel, terutama cara menelpon dan menerima telepon. "Tapi Papa nggak pernah memukulku," kata Hera, menatap Arzen dengan mata berkedip lucu.

"Bagus kalau begitu. Seorang pria memang tidak boleh main tangan terhadap perempuan."

"Tapi nanti kita jarang ketemu." Hera menundukkan kepalanya dan menautkan jarinya.

"Kamu bisa menghubungiku jika kamu mau." Arzen menyelipkan anak rambut yang menutupi sebagian wajah Hera ke belakang telinganya. "Atau aku akan menghampirimu," lanjutnya.

Hera mengangkat kepalanya dan senyuman kecil muncul di bibirnya. Ia senang mendengar perkataan Arzen. "Aku akan sering menelepon Abang," ucapnya.

Arzen tidak sadar akan tindakannya, tapi saat ini tangannya menarik Hera ke dalam pelukannya dan mengusap kepala gadis itu. Hera tersentak akan tindakan Arzen, tapi tangannya menarik kaos Arzen seakan mengatakan kalau ia merasa nyaman dalam pelukan itu.

***

Hera berdiri dengan satu koper besar dan tas ransel di sisi kirinya. Saat ini ia tengah berpamitan dengan keluarga Arzen di teras rumah.

Hera tersenyum kecil saat menatap Misa yang seakan enggan melepasnya. Wanita itu menarik Hera ke dalam pelukannya kemudian berkata, "Kamu sering-sering main ke sini, ya biar Mama ada temen masak."

Hera mengangguk dalam pelukan Misa. Rasa hangat saat ada seseorang yang berat melepasnya adalah sebuah kebahagian. Itu artinya masih ada orang yang masih mengharapkan keberadaannya.

Misa melerai pelukannya. Melihat Linda yang hanya berdiri diam di sisi lain sebelum kemudian menghampirinya.

"Pintu rumah ini selalu terbuka untuk kamu. Jangan sungkan untuk mampir," kata Andri di sebelah Aren.

Hera menatap Andri. Entah kenapa rasanya mata Hera mulai berembun. Lalu ia berjalan mendekat dan memeluk Andri. Rasanya sudah lama Hera tidak merasa senyaman ini. Walau pelukan itu bukan apa yang Hera harapkan, Hera tetap merasa bahagia.

"Aku akan sering mampir." Hera melerai pelukannya.

"Dia tidak akan pergi jauh. Kenapa kalian bertindak seakan Hera akan pergi ke luar kota?" Semua orang menatap Arzen.

Arzen yang berdiri tidak jauh dari sana balas menatap orang-orang itu datar. Di lain sisi Aren menatap kakaknya seakan ingin mengatakan, siapa di sini yang paling berat melepas Hera? Sebelum Aren mendengus. Memang siapa dirinya yang punya kuasa menegur kakaknya itu. Ia pastikan jika melakukan itu, uang sakunya benar-benar akan dipotong.

"Kamu terlalu dingin menyikapi sesuatu," ucap Misa menyayangkan. "Maafkan Arzen atas ucapannya, Lin." Misa merasa tidak enak karena saat ini Linda mendengar kalimat tidak menyenangkan dari Arzen.

"Bukan masalah besar." Linda berucap menenangkan sahabatnya. "Rumah kita memang dekat, jadi apa yang dikatakan Arzen tidak salah," lanjut Linda membenarkan ucapan Arzen.

Linda memandang Hera dan berkata, "Hera, ayo."

Hera berjalan mendekat, tapi langkahnya berbelok dan berlari memeluk Arzen. Pria itu menangkap tubuh Hera yang telah mengeratkan pelukannya seakan enggan untuk berpisah.

"Ingat apa yang aku katakan tadi, kamu bisa menghubungiku kapanpun kamu mau," bisik Arzen di telinga Hera hingga tidak ada siapapun yang mendengar ucapannya.

Hera hanya mengangguk dan melepaskan pelukannya. "Aku pulang," ucap Hera dan pergi menghampiri ibunya. Setelahnya Aren membantu Linda memasukkan koper dan ransel ke dalam bagasi sebelum kemudian mobil itu pergi meninggalkan pekarangan rumah.

Setelah mobil Linda benar-benar tidak terlihat, Arzen lebih dulu berucap, "Mama pasti tau apa yang telah terjadi, tolong jelaskan."

Misa yang tidak tahu apa yang dimaksud Arzen tidak bisa tidak bertanya, "Jelaskan apa?"

"Hera. Kenapa dia bisa begitu?"

Misa terdiam untuk beberapa saat sebelum raut wajahnya menjadi murung. "Sebaiknya kita bicarakan ini di tempat lain," ucap Misa dan menyuruh yang lain masuk ke dalam rumah.

Di lain sisi ada Hera yang tengah memainkan jarinya dan itu tidak luput dari perhatian Linda. "Kamu kenapa?" tanya Linda.

"Papa—" Hera tidak jadi meneruskan. Hatinya sedang gelisah saat ini.

Linda yang mengerti kegelisahan yang dialami Hera, mengangkat tangannya yang bebas dan mengelus kepala anak gadisnya. "Tidak perlu khawatir. Papa pasti sudah tidak marah."

Hera menunduk mendengar itu. Ia berharap perkataan ibunya itu benar adanya.

Setelah sampai, Hera berdiri cukup lama memandang bangunan dua lantai itu. Rumah itu dibeli oleh ayahnya beberapa bulan setelah kepulangan sang kakak. Menoleh ke samping, ibunya mengusap punggung Hera seakan tengah memberi semangat. Hera tersenyum dan menarik kopernya, mengikuti sang ibu yang melangkahkan kaki lebih dulu.

Hera sekali lagi terhenti dan matanya melihat sosok yang sangat ia rindukan tengah duduk di sofa ruang keluarga. Kepalanya tertunduk, sepertinya sedang mengerjakan sesuatu dengan tablet di tangannya, sebelum kemudian terangkat dan melihat ke arah Linda. Hera tersentak saat mata itu menatapnya sekilas.

"Hera, kemari," kata ibunya seraya mengayunkan tangannya agar Hera mendekat.

Hera berjalan dengan pelan dan meletakkan kopernya di pinggir sebelum ia menempatkan diri di samping ibunya. Tepat berada di seberang Dirga.

Ruangan itu hening sesaat sebelum Dirga mulai berbicara, "Papa tidak melarangmu kembali ke rumah ini, tapi ikuti peraturan dari Papa." Suara berat Dirga terdengar santai, tapi Hera tahu kalimat itu memiliki ancaman di baliknya.

Hera menganggukkan kepalanya. Setidaknya Hera merasa sedikit senang karena pria itu masih mengizinkan dirinya memanggilnya papa.

"Jangan bahas itu. Sekarang Hera sudah kembali ke rumah ini jadi Mama nggak akan kesepian lagi," ucap Linda, menyentuh punggung tangan Hera dan mengusapnya dengan ibu jarinya.

"Terima kasih sudah mau kembali."

Hera bisa mendengar suara itu sedikit bergetar seakan ada kelegaan dan kebahagiaan di dalamnya. Hera hanya bisa menunduk dalam diam mendengar ucapan Linda. Sementara Dirga membawa dirinya pergi ke kamarnya. Hera yang melihat itu hanya bisa menghela napas.

Take Me HomeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang