17

41 8 1
                                    

Pagi itu, seluruh keluarga telah berkumpul di ruang keluarga termasuk Hera. Seperti biasa, Hera duduk di samping Arzen. Andri dan Misa duduk di sofa seberang sedangkan Aren duduk lesehan di atas karpet dengan penampilan seperti pengemis, baju kusut dengan wajah bantal dan rambut acak-acakan. Pemuda itu terus bermain dengan ponselnya dengan kening berkerut dan bibir yang dimajukan beberapa senti. Tampak Aren sedang dalam suasana hati yang buruk.

"Kembalilah ke kamarmu dan kembali ke sini saat kamu sudah rapi," perintah Arzen. Ia tidak tahan melihat sesuatu yang membuat iritasi mata di hadapannya.

"Apa Abang nggak tau apa yang aku rasain?" Aren melirik Arzen melalui ekor matanya.

"Aku tidak peduli apa yang kamu rasakan," balas Arzen dingin. "Cepat mandi atau uang sakumu kupotong," ancam Arzen yang ternyata mampu menggerakkan Aren.

Walau terus menggerutu karena tidak ada yang bisa memahaminya, tak urung Aren bangkit dari duduknya dan kembali ke kamar untuk membersihkan dirinya.

"Anak kita ternyata punya jiwa otoriter," ucap Andri.

"Bukan otoriter, tapi Arzen memang nggak suka sama hal-hal yang nggak rapi," balas Misa sebelum tangannya meraih brownies buatannya. "Arzen suka yang seperti Hera. Penurut, pintar masak, rajin dan juga rapi," lanjut wanita itu.

Hera yang disebut namanya menjadi kaku. Arzen yang melihat hanya tersenyum geli dan mengambil sepotong brownies untuk Hera. Gadis itu menatap Arzen sebentar sebelum tangannya meraih brownies pemberian Arzen dan memakannya dalam diam.

"Jangan berkata seperti itu. Kalian membuat Hera malu," ucap Arzen sukses membuat Hera tersedak. Pemuda itu segera menyodorkan segelas teh hangat dan segera mengelus punggung hera. Gadis itu menenggak habis tehnya dan bernapas lega.

"Aku nggak seperti itu," ucap Hera. Justru kalimat Arzen barusan yang membuatnya malu.

"Kalau kamu tidak malu, kenapa kamu tersedak mendengar ucapanku?"

Hera memalingkan wajahnya, sebelum berkata dengan gugup, "Itu … itu karena aku terkejut."

Misa diam-diam tersenyum melihat interaksi Hera dengan Arzen. Ia kemudian melirik Andri yang juga mengamati interaksi keduanya. "Bukankah Arzen tidak pernah seperti itu sebelumnya?" bisik Misa. Jelas sekali saat ini Arzen tengah menjahili Hera.

Andri mengangguk setuju. "Tapi bukankah Arzen sempat mengusir Hera dari kamarnya?" tanya Andri mempertanyakan perubahan sikap anak sulungnya.

Misa menghela napas. Diingatkan dengan kejadian tempo lalu membuatnya meringis. "Tapi sepertinya Arzen sudah luluh dengan ketulusan Hera," ucap Misa berusaha berpikir positif.

"Bagaimana kalau Arzen menyukai Hera?" tanya Andri.

Misa terdiam. Benar juga, bukankah Arzen sempat mengenal Hera saat kecil dulu? Mungkin saja Arzen merasa lebih nyaman dengan orang yang sudah dikenalnya sejak lama.

"Arzen," panggil Misa.

Arzen yang dipanggil, berhenti mengganggu Hera dan menatap Misa. Namun, wanita itu sama sekali tidak membuka mulutnya.

"Ada apa?" tanya Arzen karena Misa tidak kunjung bicara.

Misa meringis. Ia juga bingung bagaimana mengatakannya. "Apa kamu menyukai Hera?" tanya Misa pada akhirnya.

Ruangan itu tiba-tiba menjadi hening. Bahkan suara detik jam yang tertempel di dinding ruang tamu dapat terdengar jelas. Hera melebarkan matanya. Andri bahkan hampir menyemburkan teh yang baru saja ia minum saat mendengar pertanyaan langsung dari Misa. Istriku, seharusnya kamu bisa melihat situasi, jerit batin Andri.

Namun, keheningan itu tidak bertahan lama, sebab dari arah tangga terdengar langkah kaki terburu. Saat mengetahui itu adalah ulah Aren yang sudah rapi dengan setelan kasualnya, mereka seakan melupakan pertanyaan Misa.

"Mau ke mana kamu?" tanya Misa, melihat Aren yang mengambil kunci mobil di dalam laci.

Aren tersenyum cerah, sangat berbeda dengan beberapa menit yang lalu. "Biasa. Urusan anak muda." Setelahnya Aren meninggalkan ruang tamu dengan gembira.

Misa menggelengkan kepalanya dan berkata, "Dasar anak muda. Dia pasti mau pergi kencan sama Rinjani."

"Mama mau pergi kencan juga sama Papa?" tanya Andri. Hari ini ia tidak bekerja, jadi waktu luangnya lebih banyak.

Misa mengangguk dan mereka pergi meninggalkan ruang tamu tanpa peduli dengan dua orang yang menjadi canggung sebab ulah seseorang.

***

Hera duduk termenung di kursi. Akuarium yang kini telah dihuni oleh dua ikan menjadi sorotannya. Ikan yang ia beri nama Molly itu berenang dengan lincah. Sangat berbeda saat ia melihatnya di toko.

Mengenai mimpi yang Hera alami, entah kenapa ia merasa sedikit lega karena tidak terlalu terbebani. Itu justru perasaan lega dan ikhlas.

Hera melirik pergelangan tangan kirinya. Diputarnya gelang rantai dengan meterial emas putih itu, hingga sebuah bandul pipih terlihat. Di balik bandul itu ada sebuah nama yang terukir. Benda yang seharusnya menjadi hadiah ulang tahun untuk orang terkasih. Orang itu adalah Alfa, kakaknya yang telah meninggal.

"Apa kakak juga akan menyalahkanku seperti apa yang papa lakukan?" tanya Hera. Kelopak matanya sedikit merendah dan terdengar helaan napas. "Aku tau kakak nggak akan menyalahkanku, karena kakak selalu seperti itu." Hera tahu bagaimana perangai kakaknya yang terus mengalah demi dirinya. Walaupun perbedaan usia mereka tidak terlalu jauh, Alfa tahu bagaimana ia berperan.

"Tapi aku terus merasa bersalah selama ini. Aku merasa seharusnya aku saja yang menggantikan kakak." Hera mendengus, miris sekali mendengar kalimat menyedihkan yang ke luar dari mulutnya.

"Aku tau papa lebih menyayangi kakak daripada aku, jauh sebelum kejadian yang menimpa kita." Hera tercekat dan suaranya terdengar serak. Dirga memang menyayanginya, tapi berbeda dengan kakaknya yang mendapat kasih sayang lebih besar.

Semua orang menyayangi kakaknya yang bersikap lembut dan penyayang. Berbeda dengan dirinya yang manja dan banyak mengeluh. Pernah terbesit dalam benaknya, ia merasa bersyukur akan apa yang menimpa kakaknya, tapi setelahnya ia akan menyalahkan dirinya lebih dari apa yang ayahnya lakukan.

Hera terus bercerita tentang keluh kesahnya selama ini. Ia terus menuruti perkataan Dirga, berharap ayahnya itu kembali seperti dulu lagi. Namun, harapan hanyalah harapan yang tidak tahu kapan akan terwujud. Hera sempat mengalami depresi dan menggangu pembelajarannya di sekolah. Itu yang menyebabkan Hera merasa terkucil dan merasa sendiri. Hera juga tahu kalau dirinya telah kehilangan jati dirinya dan terus merasa bersalah.

Tanpa Hera sadari, Arzen telah mendengar percakapan satu arah yang sungguh menyedihkan. Jadi, ia tahu bahwa Hera berubah karena kejadian yang menimpa dirinya dan kakaknya. Walaupun Hera berbicara dengan suara pelan, tapi karena rumah itu sedang sepi sehingga suara sekecil apapun dapat terdengar. Apalagi pintu kamar tidak tertutup rapat, sehingga Arzen dapat melihat Hera yang tengah duduk di tempat yang menjadi favorit gadis itu.

Saat Hera beranjak dari duduknya, saat itu pula Arzen pergi meninggalkan tempatnya. Ia akan bertanya kepada Misa apa yang telah terjadi.

–––

Kali ini aku update cepat karena nggak ada kendala dalam memikirkan alur untuk bab ini. Hal biasa seorang penulis mengalami writer's block. Semoga untuk kedepannya, masalah seperti ini dapat teratasi agar tidak membuat kalian menunggu.

Take Me HomeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang