Suara sirene ambulans dan mobil polisi terdengar saling bersahutan malam itu, menyatu dengan suara air hujan yang menambah dramatis sebuah kecelakaan maut antara mobil sedan dengan sebuah truk bermuatan.
Dari penjelasan sang sopir truk saat diinterogasi oleh pihak kepolisian, saat di perempatan, mobil sedan berwarna putih itu melaju dengan kencang dan tampak ugal-ugalan. Si sopir berusaha menekan pedal rem dan membunyikan klakson cukup nyaring dan panjang. Namun, karena aspal yang basah dan licin, truk tetap melaju dengan kencang. Alhasil, truk menabrak bagian samping mobil.
Mobil sedan yang ditumpangi 4 orang itu terguling sebanyak tiga kali sebelum akhirnya benar-benar berhenti.
Petugas kepolisian dan beberapa petugas medis berusaha mengeluarkan orang-orang yang terjebak di dalamnya. Cukup sulit, karena pintu mobil yang penyok. Setelah berhasil mengeluarkan korban, diketahui mereka adalah dua anak perempuan dan dua pria dewasa. Keadaan mereka sangat buruk, darah di mana-mana, kecuali salah satu anak perempuan. Walaupun terluka, lukanya tidak seburuk ketiganya yang mungkin langsung dihantam truk.
Para petugas medis segera memindahkan korban ke atas tandu dan memasukkannya ke dalam mobil ambulans. Setelahnya dua mobil ambulans itu pergi meninggalkan lokasi kecelakaan dan menuju rumah sakit terdekat.
***
Hera membuka matanya yang terasa sangat berat. Cahaya lampu yang begitu terang pun mengganggu penglihatannya. Saat berusaha menggerakkan tangan kirinya, Hera merasakan sakit yang luar biasa hingga ringisan keluar dari bibirnya yang pucat. Akhirnya Hera kembali membaringkan tubuhnya dan mengamati ruangan serba putih di mana ia terbangun. Itu bukanlah kamarnya dan saat melihat tangannya yang diperban dan dipasang gips, Hera merasa matanya mulai berair.
"Kakak?" Suara Hera pun terdengar lemah dan hanya gumaman yang ke luar. Tenggorokannya sakit dan ia ingin minum. Namun, tidak ada siapa-siapa yang bisa ia mintai tolong.
"Mama? Papa?" Hera terus bergumam, berharap ada orang yang datang dan memberinya minum.
Hera melirik satu-satunya pintu yang ada di ruangan itu. Ada suara langkah terburu yang bisa Hera dengar dan sepertinya itu lebih dari satu orang. Hera tidak bisa untuk sekadar merasa terkejut saat pintu itu terdorong dengan keras. Sosok ayahnya kini terlihat memasang ekspresi keras diikuti ibunya yang berusaha menarik lengan sang ayah. Hera tidak terlalu jelas melihat ekspresi Linda, tapi sepertinya ibunya itu tengah menahan tangis.
Dirga berjalan ke arah Hera dan siap menumpahkan amarah yang telah ditahannya. Namun melihat keadaan Hera dengan perban membungkus dahinya serta tangan kirinya yang digips, Dirga berusaha menahan amarahnya.
"Sudah Papa bilang jangan pergi ke luar rumah! Apa perintah Papa hanya sebuah candaan untukmu?!" Dirga berkata dengan penuh penekanan tanpa meninggikan suaranya.
Hera yang terbaring masih tidak bisa mencerna apa yang terjadi. Dia hanya pergi bermain di taman dengan Alfa dan pulang bersama teman lama ayahnya. Kemudian ia melihat sang kakak menyerang Indra, lalu sesuatu menghantam mobil dan mereka terguling. Terakhir, Hera merasakan sakit di sekujur tubuhnya dan ia berusaha menarik sang kakak yang terjepit oleh tubuh besar indra. Hera menangis. Kakaknya itu sudah tidak sadarkan diri dan ia juga tidak sanggup untuk sekadar membuka matanya. Jadi, Hera kehilangan kesadaran dan tak tahu apa yang terjadi selanjutnya.
Matanya bergerak ke sana-kemari, mencari keberadaan Alfa. Namun, tidak ada sosok gadis berambut panjang di sana.
"Kakak mana?" Hera bergumam rendah. Ibunya yang berada di sampingnya mengelus kepalanya. Bibirnya ia gigit guna menahan isak tangis yang akan keluar. Namun, air mata tidak bisa berbohong. Ibunya itu seperti mengalami kesedihan yang luar biasa hingga ia menangis seperti itu.
Berbeda dengan Linda, ayahnya memalingkan wajahnya dan mengeratkan cengkraman tangannya hingga urat-urat terlihat menonjol di lengannya.
"Kakak mana?!" jerit Hera yang akhirnya tidak tahan dengan kesuraman yang dihadirkan orang tuanya.
"Kakakmu sudah pergi!" balas Dirga tajam. Kenyataan yang menghantam jiwanya membuatnya melampiaskan semua kesalahan kepada Hera. Putri sulungnya dinyatakan meninggal dunia saat dalam perjalanan ke rumah sakit karena kehilangan banyak darah dan tidak sempat mendapat perawatan intensif. "Kamu yang membuatnya pergi." Bahu Dirga terkulai dan ia benar-benar tidak sanggup menerima kenyataan.
Linda menggenggam jemari Hera erat. Ia pun sama sedihnya dengan Dirga, tapi Linda masih mampu menjaga kewarasannya untuk tidak menyalahkan Hera. Anak bungsunya itu masih kecil dan belum terlalu mengerti mana yang baik dan buruk. Hera pun pasti tidak tahu bahwa yang membawa mereka adalah musuh ayahnya dalam dunia bisnis yang berusaha menculik mereka.
***
Satu bulan berlalu tanpa adanya kehangatan di keluarga itu. Linda yang masih bersedih, tapi akan tersenyum bila melihat Hera. Namun, Hera terkadang melihat ibunya itu menangis diam-diam di kamar Alfa. Perubahan sikap sang ayah yang awalnya senantiasa bersikap hangat dan lembut serta tegas dalam urusan memberi izin. Kini menghindari Hera secara terang-terangan dan akan mengeluarkan perkataan yang menyakitkan.
Hera merasa terpuruk dan selalu menyalahkan dirinya atas kepergian Alfa. Hari-harinya ia lalui dengan tidak semangat hingga Dirga memerintahkan dirinya untuk tinggal di rumah orang tuanya.
Hera menolak dengan keras, tapi Dirga juga berpegang pada pendiriannya.
"Aku akan menuruti semua perkataan Papa, jadi tolong tarik kembali ucapan Papa," ucap Hera penuh kesedihan.
"Lebih baik kamu tinggal di sana. Papa tidak ingin melihatmu." Balasan Dirga yang membawa aura dingin membuat Hera merasa ada sesuatu yang menggores hatinya.
"Aku minta maaf. Tolong jangan benci aku." Kini air matanya mengalir deras dengan Isak yang tertahan.
"Permintaan maafmu tidak akan menghidupkan Alfa kembali," gumam Dirga. "Pergilah." Setelahnya Dirga pergi meninggalkan Hera dengan pikiran kacau dan rasa sesak di dada.
***
Pagi itu saat Arzen mengambil pakaian di kamarnya, telinganya mendengar gumaman lemah dari arah ranjang yang saat ini Hera tengah berbaring di atasnya. Tadi ketika ia mengetuk pintu kamar, tidak ada tanda-tanda Hera akan membukakan pintu atau bahkan sekadar merespons. Karena kesabarannya mulai menipis, Arzen langsung membuka pintu dan mendapati gadis itu masih tertidur. Biasanya saat ia memanggil, Hera langsung membuka pintu dengan tampilan yang sudah rapi tanda gadis itu telah selesai mandi. Namun, sepertinya gadis itu kelelahan karena ia membawanya mencari dress.
Arzen menatap Hera yang tampak gelisah dalam tidurnya. Keningnya berkerut dan air mata merembes dari sudut matanya.
"Aku akan menuruti permintaan Papa. Jadi, jangan benci aku."
"Apa yang sedang kamu mimpikan?" Arzen bertanya walau ia tahu tidak akan mendapat jawaban apa-apa dari Hera.
Arzen mendudukkan dirinya di sisi ranjang dan menyingkirkan rambut yang menutupi wajah Hera. Tangannya terulur untuk menghapus air mata yang mengalir.
"Maafkan aku."
Arzen terus mendengar kalimat itu berulang kali hingga ia sempat berpikir kesalahan apa yang diperbuat Hera sampai Hera seperti itu.
Tangan kirinya menggenggam jemari Hera, sementara tangan kanannya mengelus kepala Hera. Menenangkan seseorang bukanlah keahliannya dan kalimat yang selalu keluar dari mulutnya selalu terdengar sinis. Namun, saat bersama Hera, ia berusaha menekan kebiasaannya itu.
"Berhentilah menyalahkan dirimu sendiri. Kamu berhak bahagia," bisik Arzen di telinga Hera. Berharap kalimatnya mampu menenangkan gadis itu.

KAMU SEDANG MEMBACA
Take Me Home
Dla nastolatkówHarapan Hera hanyalah bisa mengubah sikap ayahnya menjadi sosok yang hangat dan perhatian seperti saat ia kecil dulu. Semua usaha ia kerahkan untuk mengubah ayahnya menjadi seperti semula termasuk menuruti apa yang ayahnya katakan. Namun, kesalahann...