Setelah Arzen membantu mengompres kaki Hera dengan air hangat, pria itu pergi ke ruang kerjanya dan belum terlihat sampai sekarang. Sebelum itu Arzen memberinya cupcake untuk sarapan, karena ia bangun kesiangan dan sebagai teman nontonnya. Kesan awal Hera mengenal Arzen adalah pria itu memiliki sisi menyeramkan dan tidak mudah didekati. Awalnya Hera bingung dengan sikap Arzen yang berubah drastis, walau tatapannya masih sama tajamnya saat pertama kali bertemu, tapi pria itu seakan memedulikan kondisi Hera.
Hera tak mampu menahan tawanya saat melihat tingkah konyol dua sahabat kuning dan pink itu bermain di ladang ubur-ubur. Ia terkikik dengan suara yang tertahan, takut menggangu orang yang ada di rumah saat ini. Namun, Hera mendesah kecewa saat iklan muncul di tengah keseruannya.
Tanpa Hera sadari Arzen sudah berdiri di belakangnya tanpa menimbulkan suara. Pria itu mengangkat sudut kanan bibirnya, merasa geli dengan tingkah Hera saat tak ada dirinya.
"Memang sudah seharusnya anak kecil nonton kartun," ucap Arzen yang mampu mengejutkan Hera. Gadis itu memegang dadanya yang berdegup kencang. Namun, tak berani memarahi Arzen yang kini duduk dengan memberi jarak di sampingnya.
Arzen melempar tab ke pangkuan Hera dan mendapat tatapan bingung dari gadis itu. "Kamu bisa nonton di sana tanpa terganggu iklan," jelas Arzen. Pria itu mulai membuka laptopnya dan jari-jemarinya bergerak dengan lincah di atas keyboard.
Hera menatap tab yang ada di genggamannya. Ia mulai menggerakkan jarinya ke sana-kemari. Namun, ia tak tahu di mana ia bisa menonton kartun tadi. Ia sembarang mengklik logo aplikasi di layar dan muncul gambar dirinya. Ia hampir saja melempar tab kesayangan Arzen kalau saja ia tak menahan diri. Ia mendekatkan wajahnya ke layar tab dan memperhatikan wajahnya yang tampak kucel karena belum mandi. Karena penasaran ia memencet lingkaran yang berada di tengah dan sebuah suara kembali mengejutkannya. Itu suara kamera dan Hera tidak tahu itu.
Arzen merasa terganggu dengan tingkah aneh Hera. Sedari tadi ia diam-diam melirik Hera melalui ekor matanya, memperhatikan apa yang sedang dilakukannya. Gadis itu seperti manusia purba di matanya. Bagaimana tidak, adakah orang yang tidak tahu cara menggunakan benda yang sedang dipegangnya? Hera adalah orang pertama yang bisa membuatnya merasa aneh dan kagum di saat bersamaan. Terkadang gadis itu bersikap layaknya mangsa di hadapan sang predator, lalu kemudian menjadi seperti hewan peliharaan yang memiliki majikan baru. Gadis itu berhasil membuatnya penasaran.
"Kamu sedang apa?" Akhirnya Arzen tak kuasa menahan mulutnya untuk bertanya.
"Benda ini nggak bisa untuk nonton," cicitnya. Arzen yang mendengarnya hampir saja tersedak. Bagaimana gadis di sampingnya begitu gaptek?! Ingin rasanya Arzen berteriak untuk menyalurkan rasa frustrasinya.
Arzen menggeram gemas melihat ketidaktahuan Hera. Pria itu kemudian mendekat dan mengambil alih tab yang ada di tangan Hera. Pria itu kemudian menunjuk logo berwarna merah dengan segitiga berwarna putih di tengahnya. "Kamu bisa menonton di sini," ucap Arzen memberi tahu.
Hera hanya membuka mulutnya dan mengangguk kecil seolah mengerti. Ia bisa melihat banyak gambar di layar itu, tapi ia tidak melihat gambar kartun yang ia tonton tadi. Hera pun memberengut kecewa.
Arzen melirik Hera yang memajukan bibirnya dan mengernyit heran. Kenapa lagi anak ini? Pikirnya. "Kamu bisa mencari kartun yang mau kamu tonton di sini." Arzen mengklik logo pencarian di sudut layar lalu mengetik sesuatu dan gambar thumbnail Spongebob Squarepants muncul memenuhi layar. Arzen bisa melihat tatapan penuh takjub di mata Hera. Gadis itu ingin membuka mulutnya, namun mengatupkannya kembali. Seakan tahu apa yang dipikirkan gadis itu, Arzen menyerahkan tab miliknya dan disambut antusias dari Hera. Melihat Hera yang sudah menikmati tontonannya seakan mendapat mainan baru, Arzen kembali sibuk dengan laptopnya.
Hera tak menyangka benda sekecil ini bisa digunakan untuk menonton video. Selama ia hidup, ia tak pernah menyentuh benda canggih berbentuk pipih itu. Ia terkadang penasaran teman-teman sekolahnya dulu sangat sering memegang benda, yang ukurannya lebih kecil, itu di manapun berada. Terkadang mereka tidak menanggapi teman lainnya yang berbicara dan Hera selalu berpikir apa yang membuat teman-temannya itu sangat menyukai benda pipih itu, sebab di rumah Oma tidak ada benda seperti itu. Hanya ada TV tabung dan telepon rumah yang digunakan untuk menonton film dan menerima telepon.
Hera melirik Arzen dari sudut matanya. Pria itu ternyata tidak terlihat menyeramkan. Justru pria itu terlihat sangat dewasa. Hera tersenyum kecut mengingat bagaimana keluarga Arzen saling menyayangi walau dengan cara berbeda. Berbeda dengan dirinya. Ia hanya memiliki Linda yang tetap menyayanginya setelah apa yang terjadi. Namun Dirga tidak begitu, ayahnya memilih untuk membencinya dan berusaha untuk menjauhinya seakan dirinya hanya akan membawa nasib buruk bagi pria dewasa itu.
Hera tak lagi menikmati tontonannya karena tenggelam dalam pemikirannya sendiri. Hera selalu membenarkan apa yang dikatakan Dirga kalau ia hanyalah perusak keharmonisan keluarganya. Ia lah penyebab atas kematian kakaknya. Ia lah orang yang hanya membawa nasib sial. Orang yang ada di dekatnya pasti tidak akan bahagia. Ia harus menuruti perkataan orang lain agar tidak mencelakai lagi. Ia lah orang … yang seharusnya tidak pernah lahir dari rahim ibunya.
"Kenapa lagi?!" Arzen mengamati Hera yang meneteskan air mata tanpa disadari gadis itu. Padahal tontonannya terlihat lucu, tapi gadis itu justru menangis.
Hera segera menghapus air matanya saat mendengar bentakan dari Arzen. Gadis itu tidak menjawab bentakan Arzen dan berusaha memfokuskan diri untuk menikmati video yang terputar di tab tersebut. Namun, perasannya tak bisa dibohongi. Ia menggigit bibir bawahnya, berusaha untuk menahan isakan yang akan mendesak ke luar.
Arzen melihat itu. Gadis yang beberapa saat lalu terlihat antusias karena bisa menonton kartun kesukaannya tanpa terganggu oleh iklan. Namun kini, gadis itu justru menangis dalam diam. Apa sebenarnya yang sedang gadis itu pikirkan?
"Kenapa kamu menangis lagi?" Arzen kembali bertanya. Namun, Hera sama sekali tak menjawab. Pria itu menatap Hera tajam karena tak senang pertanyaannya tak dijawab. "Kalau ada orang bertanya itu dijawab!" bentak Arzen yang sudah tak bisa membendung amarahnya. Arzen tidak suka melihat orang yang mengabaikan dirinya. Apalagi itu Hera yang sejak kemarin selalu membuatnya geram, tapi pagi ini ia berusaha berbaik hati memberi sedikit perhatian pada gadis itu. Namun ternyata, gadis itu malah tidak tahu terima kasih.
Hera tersentak mendengar bentakan tajam dari Arzen. Mata gadis itu bergetar sebab gelisah. Ia juga tidak tahu kenapa merasa begitu sangat sedih dan tahu-tahu air matanya sudah menganak sungai di pipinya. "Pulang," lirihnya tanpa melihat Arzen.
"Apa? Ngomong yang jelas!"
Entah bentakan dari Arzen atau memang perasannya yang sedang kacau, air matanya kembali luruh. "Aku mau pulang." Hera tak kuasa menahan isakannya. Ia membekap mulutnya agar tak mengeluarkan suara.
Arzen menatap Hera lamat-lamat, sebelum akhirnya ia menghela napas kasar. Ada perasaan tertentu saat melihat Hera yang berusaha menahan tangisannya. "Baguslah kalau kamu mau pulang. Cepat kemasi barangmu," ucap Arzen tak acuh dan segera beranjak dari sana.
Hera menatap kepergian Arzen kemudian kembali bersedih. Padahal ia sedikit merasa terhibur karena kepedulian Arzen sesaat yang lalu. Hera beranjak dari sana dan segera mengemasi barang-barangnya sebelum pulang ke rumahnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Take Me Home
Teen FictionHarapan Hera hanyalah bisa mengubah sikap ayahnya menjadi sosok yang hangat dan perhatian seperti saat ia kecil dulu. Semua usaha ia kerahkan untuk mengubah ayahnya menjadi seperti semula termasuk menuruti apa yang ayahnya katakan. Namun, kesalahann...