22

30 8 0
                                    

Hera memandang kosong ke luar jendela. Rasa takut dan juga gelisah masih tertanam di hatinya. Jika saja Arzen tak segera membawanya pergi, mungkin Hera akan menjerit histeris hingga membuat kekacauan.

Merasa mobil perlahan melambat dan akhirnya berhenti, Hera menatap Arzen bingung.

"Kamu kenal pria tadi?" tanya Arzen langsung.

Hera sedikit ragu untuk mengakuinya, tapi di sisi lain ia ingin menceritakan kegelisahannya.

"Nggak, tapi orang itu mirip dengan seseorang," jawab Hera pelan.

"Siapa?" Arzen menatap Hera intens berharap gadis itu dengan leluasa melepaskan kegelisahannya.

"Sebelum itu aku …." Hera meremas jarinya. Haruskah ia mengatakannya? Ingatan itu cukup menyakitkan baginya. Bahkan tanpa ia bercerita, ingatan itu lebih dulu menyerangnya sehingga membuatnya merasa tak nyaman.

Namun, saat tangan besar menggenggam jemarinya, perasaan hangat dan terlindungi melingkupi dirinya. Hera menatap Arzen. Entah kenapa pria itu tampak lebih hangat dari biasanya.

"Katakan saja. Walaupun itu terdengar menyakitkan, setidaknya kamu sudah mengeluarkan sedikit kekhawatiranmu."

Hera menghela napas sebelum berkata, "Dia, mirip dengan orang yang berusaha menculik aku dan kakak." Hera memejamkan matanya erat. Ini pertama kalinya ia menceritakan kenangan kelam kepada orang lain.

"Kamu yakin dia orang yang sama?" tanya Arzen dengan lembut. Dia tidak boleh menuntut Hera dengan pertanyaan yang menyudutkan, karena bisa saja Hera justru merasa tertekan. Dan lagi, dari cerita ibunya, orang yang telah menculik Hera telah meninggal.

Hera sedikit berpikir. Setelahnya ia juga mempertanyakan hal yang sama. Apa benar orang tadi adalah orang yang sama yang telah menculik dirinya dan juga sang kakak?

"Aku tidak yakin," ujar Hera.

"Jangan terlalu dipikirkan. Bisa jadi dia hanya mirip." Arzen tersenyum dan menepuk kepala Hera pelan.

Hera balas tersenyum. Perkataan Arzen sedikit memberi rasa tenang di hatinya. Arzen benar, bisa saja orang tadi bukanlah orang yang sama.

Setelahnya Arzen kembali menjalankan mobilnya hingga berhenti di kediaman Hera. Di pelataran rumah, sudah ada mobil hitam milik Dirga, itu tandanya pria dewasa itu telah pulang.

Hera bersiap untuk turun, tapi sebelum itu tangan besar Arzen lebih dulu menahan lengan Hera hingga gadis itu mengurungkan niatnya.

"Ada yang mau aku bicarakan," kata Arzen setelah mendapat tatapan bingung dari Hera.

Gadis berambut hitam itu mengangguk, mengizinkan Arzen untuk berbicara.

Arzen menatap Hera cukup lama. Gurat wajahnya tenang, tidak seperti beberapa waktu lalu. Matanya yang selalu sayu terus membuatnya khawatir sehingga ia ragu untuk mengatakan kepergiannya. Akhirnya, Arzen memalingkan wajah sebelum berkata, "Beberapa hari ke depan, mungkin kita tidak bisa bertemu. Ada urusan yang harus diselesaikan."

Beberapa detik keadaan menjadi hening. Hera yang mendengar perkataan pria di sampingnya mendadak diam membisu. Setelah terbiasa dengan kehadiran Arzen yang memenuhi hari-harinya belakangan, kepergian pria itu membuatnya sedikit sedih. Namun Hera sadar diri, pria berbalut jas itu memiliki kesibukannya sendiri.

"Abang mau nyelesaiin sidang skripsi?" Hera menatap Arzen. Ditatap dari sisi samping, pria itu memiliki proporsi wajah yang pas. Hidungnya mancung seperti perosotan. Bibir tipis berwarna merah muda yang Hera yakini tidak pernah menyentuh rokok. Alis tebal, tapi bulu matanya lentik. Perpaduan tegas dan lembut di saat bersamaan. Apalagi saat iris hitamnya menatap dirinya, Hera suka bagaimana Arzen memperlakukannya seperti orang yang berharga.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 20 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Take Me HomeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang