30 - Lobby

17 7 0
                                    

Pemandangan seperti ini tak pernah membuatku nyaman. Orang-orang dengan banyak kepentingan berjejal dalam satu ruangan. Suara mereka tak ubahnya dengung lebah yang menyakitkan pendengaran. Keberadaan mereka membuat fokusku pecah, dan perintah sederhana dari Mas Natha jadi terasa begitu membingungkan.

"Ambil nomor antrian, Wa. Jangan lupa pilih yang asuransi pribadi."

Aku tak menjawab, tapi segera berlalu ke arah mesin pencetak nomor antrian di dekat pintu masuk. Beberapa orang sudah terlebih dahulu berbaris di sana. Aku berdecak seraya menempatkan diri di posisi paling belakang. Menyebalkan memang, mengambil nomor antrian pun masih harus antri.

"Dapat nomor berapa?" tanya Mas Natha ketika aku duduk di sebelahnya. Lagi-lagi tanpa suara, aku hanya menyerahkan selembar kertas persegi bertuliskan angka sepuluh.

Bangku-bangku besi yang memanjang itu hampir sepenuhnya terisi. Padahal kami sengaja berangkat awal di jam tujuh pagi. Namun ternyata tetap kalah cepat dengan orang-orang ini.

Satu persatu, wajah-wajah yang tengah menunggu itu kuperhatikan. Ada berbagai warna dalam paras mereka. Emosi yang bukan hanya netral, namun juga ekstrim kiri dan kanan.

Bukankah tempat ini menakjubkan? Ada yang mendapatkan kegembiraan, sedang yang lain justru ditimpa kesedihan. Di sebelah kanan, seorang wanita seusiaku tengah menimang bayi yang masih merah. Namun di depanku, seorang laki-laki muda justru berwajah basah.

"Ingat yang Mas bilang tadi, Wa," ujar Mas Natha sambil merangkul bahuku. Menyambung pembicaraan di dalam mobil yang sempat terjeda.

Aku hanya memandangnya sebentar sebelum kemudian menunduk. Menatap sneakers hitamku yang lupa belum dicuci. Seolah benda kusam ini lebih menarik dibanding wajah Mas Natha.

Kakakku kemudian menyambung, "kamu bukan pilihan terakhir. Kamu dipilih karena memang mampu."

Pada akhirnya, aku menjelaskan apa yang membuatku ragu karena kalimat-kalimat Ayah dan Mas Natha terasa begitu menekan; memojokanku sampai tersudut. Dalam pembicaraan lewat telepon, kami mengobrol, berdiskusi dan berdebat semalaman. Semuanya yang masih terasa mengganjal diungkapkan, berharap mendapat penyelesaian.

Lalu pelan-pelan, Mas Natha meyakinkan bahwa adiknya ini memang pantas untuk menjadi wingman. Dengan penuh kesabaran, Ayah menjelaskan betapa pentingnya peranku bagi kantor akuntan publik yang ia dirikan bersama Ibu. Ibu pun memujiku setinggi langit, dan mengatakan kalau ia sepenuhnya percaya kepadaku. Singkatnya, aku diyakinkan.

Nasihat-nasihat mereka perlahan mulai menghancurkan ketidakpercayadirian. Melebur pesimis yang merasuki jiwaku akhir-akhir ini. Akhirnya setelah melalui dialog-dialog panjang dengan Ayah, Ibu dan kakak, aku berusaha membulatkan tekad untuk kembali ke kantor lagi. Mengambil tugas dan kewajiban yang menjadi bagianku.

Aku mengangguk pelan. "Tapi Ayah sama Mas Natha harus jadi mentorku."

"Tenang saja. Kamu nggak mungkin dibiarkan jalan sendiri," sahut Mas Natha sambil mengacak rambutku.

Berbeda dengan wajahku yang masih didominasi ragu, Mas Natha tampak senang dengan jawabanku. Ada kelegaan dalam bahasa dan gerak tubuhnya. Seolah ia memang telah menanti keputusan ini sejak lama.

Pada akhirnya aku memilih untuk berusaha terbuka menerima takdirku yang terlanjur lahir di keluarga ini. Seorang pangeran cadangan yang harus menjadi pendamping. Pun, aku juga merasa harus menghadapi konsekuensi dari pilihanku dulu. Mengamalkan ilmu, sekaligus menjaga hati Ayah dan Ibu sebagai seorang anak yang terlanjur digadang-gadang menjadi penerus.

Mungkin dengan penerimaan, semuanya akan lebih ringan. Lagipula, aku sudah cukup senang melihat Ayah dan Ibu bisa mulai merencanakan masa pensiunnya yang tenang. Aku juga tak perlu takut membuat Mas Natha merasa terbebani dengan sikapku yang kekanak-kanakan.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: 2 days ago ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Vila KusumaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang