Simfoni Kerinduan

58 3 1
                                    

Angga's POV

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Angga's POV

Langit sore kala itu diselimuti awan tebal. Angin kencang berhembus menerpa pepohonan. Merontokan daunnya satu persatu. Aku memandang ke arah langit yang sepertinya akan turun hujan.  Perlahan aku bangkit dari posisiku saat ini. Entah sudah berapa lama aku berada disini. Di pusara ibuku, orang yang paling penting dalam kehidupanku.

Aku dan mendiang ibu, memang sangat dekat. Bahkan walau aku memilih bekerja di Jakarta dan pergi meninggalkan Surabaya, komunikasi kami tak lantas terputus. Sudah hampir 6 tahun aku menjadi anak rantau. Aku melanjutkan sekolah dan memilih bekerja di Jakarta. Takdir kemudian mempertemukanku dengan seorang wanita baik bernama Hani. Seseorang yang menahanku untuk tinggal disini. Seorang wanita yang sangat aku cintai.

Ketika mendapati kabar kematian ibuku, duniaku seakan runtuh. Ibu tak pernah berkata apapun tentang sakit ataupun kesulitannya. Malam itu, setelah berpamitan dengan Hani, aku segera kembali ke Surabaya dengan kereta malam. Dadaku berdegup kencang sedari tadi. Tangisku telah pecah tepat setelah Hani memelukku. Bagiku, hanya ibu, keluarga yang aku miliki.

Kini aku telah kembali ke rumah ini. Rumah yang menyimpan banyak kenangan diriku, mendiang ayah dan juga mendiang ibu. Aku pandangi foto keluarga yang terpampang di ruang tamu. Aku tak sanggup menahan kesedihanku. Pandanganku mengabur oleh air mata.

Apakah aku sudah cukup berbakti untuk mereka? Sambil terus menyalahkan diri sendiri, aku peluk sebuah foto lama yang menampakan ibu dan diriku semasa kecil.

Disaat aku terlarut oleh kesedihan, sebuah panggilan datang dari seorang pengantar surat. Sebuah surat berupa permintaan laporan keuangan serta penagihan cicilan pinjaman hutang dari sebuah bank. Aku kaget saat membaca isinya. Hutang yang jumlahnya begitu banyak. Hutang usaha atas usaha keluarga kami yang sudah berjalan turun temurun. Syarafku menegang, aku tak bisa mencerna rentetan kejadian ini sekaligus.

Seorang pria memperkenalkan diri sebagai rekan sekaligus pengacara keluargaku keesokan harinya. Sembari membacakan wasiat yang memintaku menjaga usaha tekstil milik kami. Ibu menyerahkan kepemilikan rumah, aset gudang, kantor dan pabrik tekstil kepadaku.

Namun bersamaan itu, pengacara kami juga memberitahu bahwa perusahaan kami sedang terlilit hutang yang harus dilunasi dalam jangka waktu lima tahun. Tubuhku merosot. Jumlah yang begitu besar. Ditambah usaha keluarga kami yang sedang mengalami kemunduran beberapa tahun terakhir. Tubuhku limbung.

Serentetan masalah ini, membuatku bahkan tak mampu untuk hanya sekedar berkabung. Aku harus segera bertindak, sebelum rumah dan aset perusahaan kami disita oleh pihak bank. Ini adalah peninggalan kedua orangtuaku, jadi mana bisa aku menyerahkannya semudah itu. Dengan sisa tenaga, aku bangunkan tubuhku. Aku harus mulai bekerja keras saat ini.

######

Sudah seminggu ini aku jalani hidupku dengan bekerja di perusahaan tekstil keluarga kami. ini bukanlah bidang yang aku tekuni di bangku perkuliahan. Beberapa kali, aku mendapati diriku yang kewalahan dalam mengelola usaha milik keluarga kami.

12 AMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang