Utami's POV
Suatu pagi yang cerah di Panti Wreda Hanayasa Hutama. Udara yang segar, pemandangan yang asri, jauh dari hiruk pikuk kota. Aku Utami, seorang perawat lansia yang baru bekerja satu bulan di tempat ini. Aku masih berusaha beradaptasi dengan lingkungan ini. Walau rasanya aku tak kunjung terbiasa.
"Prang"
Suara piring yang pecah kembali terdengar di kamar ini. Di kamar Nenek Aida. Seorang pasien yang menjadi tanggung jawabku. Ini sudah kali ketiga di minggu ini, Nenek Aida memecahkan piring makan. Sudah seminggu ini, aku ditugaskan untuk merawat Nenek Aida. Namun sepertinya beliau sama sekali tak menyukai diriku sebagai perawatnya.
Aku berusaha membujuknya makan dan kadang juga menyuapinya. Akan tetapi, usaha itu terasa sia-sia. Seringkali penolakan yang aku dapatkan. Bukan hanya membuang sendok, tapi beliau juga menghempaskan piring yang aku pegang. Aku jelas kaget. Tak jarang itu mengendurkan niatku. Apakah bekerja sesulit ini. Bahkan sekarang rasanya aku ingin menyerah saja.
Aku seorang pendatang dari Jawa Timur. Aku sengaja datang ke Bali untuk mencari pekerjaan yang aku impikan. Bertemu dengan orang asing, bekerja di hotel dan berpakaian bagus. Namun nyatanya, sudah hampir tiga bulan aku berada di Pulau Dewata ini, aku tak kunjung mendapat pekerjaan yang aku mau. Modalku semakin menipis. Sampai seorang teman, menawarkan pekerjaan sebagai caregiver atau perawat lansia.
Dari awal aku sudah pesimis, melihat tipisnya kesabaranku. Namun karena tuntutan materi, jadi aku nekatkan saja bekerja di panti wreda ini. Sejak awal, pekerjaan ini sangat tidak mudah. Merawat para lansia, yang bahkan nama mereka sendiri saja mereka lupa. Beberapa lansia bahkan sudah kesulitan untuk berjalan. Sehingga perlu mendapat sokongan dari para perawat. Aku lelah, perlakuan Nenek Aida hanya satu dari banyaknya penolakan yang aku terima dari para lansia.
Apa aku keluar saja ya? Pikirku.
Keesokan harinya, aku kembali mengulangi pekerjaanku. Membantu membersihkan tubuh para lansia, membantu mereka makan dan mengajak mereka berjalan-jalan ke taman atau menjadi teman mereka mengobrol. Pagi itu, aku mengajak Nenek Aida berjalan-jalan di taman dengan kursi rodanya. Nenek Aida memang cukup pendiam. Walau aku banyak sekali mengajaknya berinteraksi. Dia hanya membalasku dengan kebisuan sambil memandang ke arah danau buatan di taman. Apa yang aku harapkan? Mungkin hanya Bli Raka, seniorku saja yang ia ingat namanya.
Setelah makan siang, Bli Raka meminta para lansia untuk menuliskan nama keluarga yang paling mereka sayangi. Untuk sesaat aku memandang ke arah Nenek Aida yang menurut informasi sudah sangat jarang dikunjungi keluarganya. Aku merasa iba kepada Nenek Aida. Pasti Nenek Aida sangat merindukan kedatangan keluarganya. Nenek Aida kemudian menulis sesuatu dan menunjukan kertas itu ke arahku dan Bli Raka.
"Utami"
Kertas itu bertuliskan namaku. Aku begitu terkejut. Nenek Aida tersenyum ke arahku. Kali ini bukan ekspresi kosong dan datar yang ia tunjukan. Tak terasa air mata jatuh dari sudut mataku. Aku menghampiri Nenek Aida dan memeluknya dengan penuh kasih. Nenek mengenalku. Bahkan menganggapku keluarganya. Aku sungguh terharu.
Awalnya aku pikir, aku tak akan mempunyai alasan bertahan bekerja di tempat ini. Tapi aku berubah pikiran, nenek adalah alasan aku bertahan. Dia keluargaku sekarang. Dan aku ingin merawat mereka yang menyayangiku disini, mengasihi mereka sebanyak aku bisa. Karena mungkin, hanya kami, keluarga mereka yang tersisa. Aku pikir jika cinta itu ada, ini juga merupakan salah satu bentuk cinta bukan?
The End
NB : Guys bagaimana karyaku yang ini? Berikan vote dan komentar kalian ya!
KAMU SEDANG MEMBACA
12 AM
FanfictionOne Shot Stories. Mostly using NCT and Seventeen members as a role.