Kekhawatiran dia mengenai Arga memang terbukti, setelah Arga tahu dia bekerja di galeri milik bang Theo, hampir seminggu dua kali Arga akan datang menjemput dirinya.
Awalnya dia selalu menolak ajakan Arga, namun bukan Arga namanya jika tidak menggunakan cara pemaksaan dan ancaman sehingga membuat dia mau tidak mau menuruti apa yang Arga mau.
Dirinya bahkan beberapa kali meminta agar mbak Tania atau bang Theo membantunya agar dia tidak bisa bertemu dengan Arga.
Tapi meminta bantuan kedua pasangan itu pun tidak berguna, karena ternyata bang Theo berada di pihak Arga yang pastinya akan selalu mengutamakan untu membantu posisi Arga akan semakin dekat dengannya.
Mbak Tania memang beberapa kali sempat membantunya, namun tak lama setelah itu mbak Tania juga sama seperti bang Theo.
"Sudah puas kabur-kaburannya?" Tanya Arga sembari melirik ke arah dirinya yang sedari tadi hanya diam begitu di pergoki Lukman saat dia akan menaiki sebuah taksi.
Dirinya tetap diam, tidak menjawab. Terlalu lelah dengan semuanya.
"Man nanti kamu turun saja di depan, biar saya saja yang bawa mobil." Seru Arga.
"Baik Pak." Balas Lukman dengan sigap nya.
Setelah mengatakan itu Arga sibuk bermain dengan ponsel, dirinya sempat memperhatikan ekspresi wajah Arga yang berubah-ubah, terkadang mengernyit, terkadang juga tersenyum. "Saya tahu saya ganteng." Celetuk Arga yang langsung membuat dia buru-buru mengalihkan pandangan nya ke arah lain.
Kepergok tengah memperhatikan orang lain itu rasanya sungguh memalukan.
Dirinya berdehem sebentar. "Siapa juga yang memperhatikan kamu, pede sekali."
Arga terbahak. "Benarkah?" Tanyanya sambil tersenyum geli.
Lagi-lagi dia tidak menjawab dan memilih untuk mengalihkan atensi nya ke arah luar mobil, memperhatikan jalanan kota Jakarta yang selalu ramai dan padat.
Begitu pula dengan Arga yang kembali di sibukkan bermain dengan ponsel.
Namun setelah Lukman turun di salah satu halte, Arga buru-buru menyimpan kembali ponselnya dan segera keluar dari mobil untuk mengambil alih kemudi, sedangkan dia masih anteng duduk di belakang dan menyenderkan kepala nya pada jendela mobil.
"Kamu bisa pindah duduk ke depan? Saya tidak terbiasa jika duduk di depan sendiri." Pinta Arga seraya melirik ke arah belakang.
Dengan helaan nafas panjang dia turun dari mobil dan segera pindah tempat duduk di samping Arga. "Terimakasih." Ucap Arga sembari memberikan senyum terbaik yang begitu hangat dan tulus.
Lagi dan lagi dia kembali tidak mau menjawab ucapan terimakasih Arga. Alasannya tetap satu, tidak mau membuka hati untuk Arga karena dia tahu dengan akhir seperti apa yang akan terjadi jika dia sampai membuka hati.
"Kamu tahu, sebenarnya saya sudah capek tinggal di Jakarta." Ucap Arga membuka pembicaraan. "Saya mau nya tinggal di desa, tempat yang masih tidak ramai, cocok untuk membuat hati dan fikiran tenang." Lanjut Arga.
"Tapi kayanya saya masih belum bisa wujudkan mimpi saya, saya harus mengemban tugas sebagai pemimpin di perusahaan milik saya, belum lagi dengan perusahaan Papa yang kini jadi tanggung jawab saya setelah Papa kena stroke." Dirinya masih mendengarkan segala hal yang Arga ucapkan. "Mungkin nanti, setelah Aska kembali ke Jakarta, Papa sudah sehat kembali, Rea mau saya boyong untuk tinggal di desa, saya bisa mewujudkan mimpi saya." Ucap Arga.
"Saya doakan semoga yang kamu impikan bisa terkabul. Semoga kamu dan mbak Rea bisa tinggal di desa seperti harapan kamu." Ucap nya dengan tulus.
Arga menggeleng. "Bukan hanya Rea, tapi kamu juga. Kita akan tinggal sama-sama. Itu harapan saya." Kata Arga yang berhasil membuat dia tercekat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Istri Kedua ✔ Winter feat Jaehyun & Sungchan
Fiksi PenggemarMenjadi istri kedua bagaikan memakan buah simalaka alias serba salah. melanjutkan pernikahan salah, bercerai juga salah. Menyesal? Tentu saja, siapa yang tidak menyesal menjadi istri kedua? apalagi dia menjadi istri kedua dari suami Rea Alluna San...