War Of Heart—Chapter 10
•
•
Happy reading 🥰__________
Brrumm!
Samar-samar Misha mendengar suara deruman motor besar ketika Reinard membuka lalu menutup kembali pintunya. Misha mengalihkan pandangannya dari film animasi yang ia tonton, lalu dia mendongak begitu Reinard berjalan ke arahnya.
“Makan dulu, Sha.” Di tangan pria itu terdapat dua box makanan berwarna merah bergambar ayam dan logo yang cukup familiar bagi Misha. Lalu Reinard meletakkan box tersebut di atas karpet.
“Maaf ya, mau beli bubur udah enggak ada.”“Bubur?” Hey, tidak semua orang sakit harus makan bubur!
“Iya, kalau mau muter-muter takut kelamaan kamu nunggunya. Jadi aku beliin ayam aja—enggak papa, kan?”
“Maaf, Kak Rei, malah jadi ngerepotin,” tutur Misha dengan perasaan bersalah. Dia jadi tidak enak dengan Reinard, apalagi Misha juga tidak menitipkan uangnya pada seniornya itu—alhasil Reinard membelikannya makanan menggunakan uang pribadinya. “Berapa, Kak—”
“Dimakan aja, Sha.”
“Tapi, kan?”
“Shhh, udah, makan!”
Misha membuka box berisi nasi dan ayam yang dibelikan oleh Reinard. Lalu belum sempat Misha mengambil nasi yang terbungkus kertas khusus itu, Reinard mencegahnya. “Di lap dulu tangannya.” Reinard mengambil tissue basah yang masih tersegel dari dalam plastik, kemungkinan pria itu baru saja membelinya.
Setelah telapak tangannya di bersihkan oleh Reinard, Misha mengambil nasinya dan mulai makan dengan tenang—tidak ada gangguan kecil dari Reinard yang memaksa gadis itu untuk disuapi.
“Pak Yehuda enggak minta surat keterangan dokter, kan?” Tanya Reinard setelah beberapa saat mereka makan. Tangan pria itu tiba-tiba mendarat di boxnya lalu memisahkan daging ayam dan tulangnya. Ketika Misha menoleh untuk menatap Reinard, seniornya tersebut lebih fokus pada makanan Misha.
“Enggak, kok, Kak Rei,” balas Misha. Ketika ada trainee yang sakit, Yehuda memang tidak pernah meminta surat keterangan dokter sebagai bukti. Bahkan Eva yang sering izin sakit sampai satu atau dua minggu lamanya tidak pernah dimintai surat keterangan dokter karena staff banquet itu mengerti bagaimana beratnya pekerjaan mereka.
“Sini aja, nanti aku buang.” Setelah selesai makan, Reinard memasukkan box mereka ke dalam plastik kemudian menaruhnya di samping rak. Setelahnya pria itu bangkit berdiri lalu berjalan menjauhi Misha tanpa mengatakan apapun.
Misha mengambil tissue basah saat terdengar suara gemericik air untuk beberapa detik, lalu gadis itu yang sedang mengelap tangannya menggunakan tissue basah dikejutkan dengan Reinard yang datang dengan membawa ember kecil berisi air. “Sini, Sha. Cuci tangannya.”
“Tadi enggak sekalian ngajak aku ke kamar mandi, ih.” Meskipun mendumel, namun Misha menurut saat Reinard memasukkan kedua telapak tangannya ke dalam ember. Membasuhnya dengan lembut lalu mengeringkan tangan Misha dengan tissue kering.
Tiba-tiba Misha teringat sesuatu. Ia menggigit bibirnya gugup sebelum bersuara. “Kak Reinard, aku belum mandi.”
“...”
“Eum, boleh numpang mandi, apa enggak, Kak? Pakai air dingin enggak papa, kok.” Tapi masalahnya, setelah mandi Misha memakai pakaian siapa? Jika kaus dan celana milik Reinard tidak masalah. Tapi bagaimana dengan pakaian dalamnya?! “Enggak jadi, Kak. Boleh anterin pulang aja—”
“Yaudah mandi disini. Pakai air anget aja, ya? Ada shower, kok.” Reinard langsung bangkit berdiri. Dia mengembalikkan ember kecilnya ke dalam kamar mandi sebelum kembali pada Misha. “Kamu mandi aja, aku ke Alfa sebentar.”
***
Misha memasukkan dalaman kotornya ke dalam plastik hitam bekas Reinard membeli air mineral dan tissuenya. Gadis itu melihat bayangannya sendiri di cermin. Tubuh tinggi kurusnya terbalut handuk merah milik Reinard, rambutnya dia cepol ke atas agar tidak terkena air dan wajahnya—wajahnya terlihat begitu pucat karena tidak terpoles make up.
Misha mengendus baju yang dari kemarin dipakainya, lalu menyesal karena masih memakai pakaian itu saat bersama Reinard yang selalu wangi dan segar. “Hum, khas fermentasi keringat.”
Misha mual menghirup baunya sendiri.
“Pakai apa, ya?” Seandainya Misha tahu ia akan berakhir di kost Reinard, dia pasti akan menyiapkan baju-bajunya terlebih dahulu untuk dibawa kemari.
“Misha?”
“Iya, Kak?!” Tidak ingin membuat Reinard menunggu lama, Misha langsung berjalan keluar dari kamar mandi Reinard yang luas hanya dengan tubuh terlilit handuk. Ia berjalan menghampiri Reinard yang sedang berdiri membelakanginya sambil menunduk. Mungkin pria itu sedang membuka ponsel. “Kak Reinard?”
Yang Misha dapat setelah Reinard menoleh adalah wajah kaku pria itu. Matanya yang lurus menatapnya serta bahu Reinard yang terlihat tegang. Misha mengusap pipinya malu, “Bajuku bau, Kak Rei. Boleh pinjem bajunya nggak?” Tawa canggung Misha mengudara.
“Pakai aja,” Reinard menyodorkan sebuah kantong plastik pada Misha. Saat gadis itu membukanya, pipi Misha merona mendapati satu box celana dalam wanita di dalam plastik itu. “Sebentar, aku cariin kaosku. Aku pilihin yang besar aja, ya? Kalau pakai celanaku mesti melorot terus.”
“Eh? Iya, Kak.” Jelas Misha menyetujuinya. Misha tidak bisa membayangkan ketika dia memakai celana kolor Reinard yang kebesaran tiba-tiba merosot kebawah. Misha jelas berusaha menghindari hal-hal memalukan di depan Reinard.
Gadis itu menunggu Reinard yang sedang mengobrak-abrik lemari miliknya. Ia hanya berdiri sambil sesekali melirik ke arah televisi yang menyala.
“Udah, pakai dulu sana.” Reinard menyodorkan kaos berwarna putih miliknya. Pria itu buru-buru membalikkan tubuh Misha dan mendorongnya pelan menuju kamar mandi.
***
Setelah beberapa saat Misha memakai pakaian dan membenarkan rambutnya, Misha keluar dari kamar mandi. Wajah gadis itu terlihat tersiksa karena tidak mengenakan bra dibalik kaos milik Reinard. Pipinya merona membayangkan jika baju itu akan mencetak jelas buah dadanya yang menonjol.“Kak Reinard, udah. Makasih, ya.” Tutur Misha. Reinard hanya bergumam tanpa melihatnya, pandangannya lurus pada televisi yang sedang menampilkan film animasi. Namun ketika Misha ingin mendaratkan bokongnya pada karpet, Reinard langsung menoleh. Dia menepuk-nepuk sisi kasur di sampingnya agar Misha duduk di sebelahnya.
“Pas apa enggak?”
“Hah?” Misha bengong sejenak, lalu mengerti apa yang dimaksud oleh pria itu. "Pas 'kok, Kak.”
Yang dimaksud Reinard adalah celana dalam yang tadi dibelikan oleh pria itu. Misha menggigit pipi dalamnya keras karena menahan rasa malu yang luar biasa.
"Maaf, ya, enggak aku beliin yang atasnya, soalnya adanya cuma CD.”
Misha mendongak menatap heran Reinard, dan seolah mengerti kebingungannya, pria itu melirik ke area dadanya yang mencetak jelas payudaranya.
Misha memejamkan matanya malu.
Reinard sialan! Bisakah dirinya menghilang saja malam ini?
_______________
Jangan lupa tinggalkan jejak ❤️
Your friend,
Jane👋
KAMU SEDANG MEMBACA
WAR OF HEART
General FictionWARNING⚠️⚠️ [21+] _______ Harapan Misha adalah menyelesaikan 6 bulan masa trainingnya dengan menyenangkan, memiliki teman-teman yang banyak dan tidak ada persaingan. Namun, itu adalah harapannya sebelum ia menginjakkan kakinya di hotel berbintang it...