"Bibi! Bibi di mana alas kaki yang kuminta tadi?!" teriak Enzy sangat keras sampai terdengar olehku yang masih dalam kamar.
Suarannya datang dari lantai bawah, astagfirullah. Berapa kali aku harus mengucap kata itu selama satu hari pernikahan kami?
Belum lagi kutahu ia jarang melakukan ibadah, sekarang kebiasaan buruknya mencuat ke permukaan. Tak ingin ambil pusing, memerintah orang seenaknya dan bersikap manja layaknya putri kerajaan.
Baiklah. Dia memang seorang putri kesayangan. Kelakuannya itu pasti datang dari kebiasaanya yang selalu mendapat apa yang ia inginkan.
"Apa kau tidak bisa mencari sendiri barangmu?" tanyaku, menghampirinya.
Seorang asistant rumah tangga datang dengan tergesa-gesa, membawakan sepasang sepatu high heels yang tadi diminta oleh si empunya perintah.
Sekarang, setelah sah menjadi seorang istri Enzy sungguh mengubah total penampilannya. Si gadis tomboy itu merombak habis dari ujung kaki hingga kepala.
Sepatu ia ganti dengan high heels, celana pun terganti oleh rok. Warna-warna lembut tak mencolok ia padu-padankan menjadi sebuah style yang cocok.
Rambutnya tergerai indah dengan atasan yang menonjolkan pundaknya, putih bening nan mulus. Ia tampak sedikit lebih dewasa dan sexy dengan pakaian itu, mungkin. Tapi tidak untuk sifatnya.
"Tidak." Dengan entengnya ia bicara. "Yosh! Aku sudah siap. Ayo kita berangkat!" serunya bersemangat.
"Oke, kita berangkat. Tapi tidak ada Mall atau pun restoran. Apalagi rumah ibu." Datar.
Yah, begitulah. Rencananya hari ini kita berdua akan pergi jalan-jalan karena ia terus merengek minta diantar membeli beberapa buah tangan sebelum kami berkunjung ke Purwakarta.
Sejak kusetujui keinginannya, ia jadi orang yang paling tersibuk. Mempersiapkan diri dari pagi dengan penuh semangat.
Tapi kini aku akan sedikit menghancurkan harapannya, sebab ia sendiri yang membuatku mengubah pikiran.
"Kenapa?" tanya Enzy. Garis di sudut bibirnya menurun, menatapku dengan kerutan di kening.
"Hari ini, kita akan pergi ke rumah yang disediakan ayahmu untuk melihat kondisinya."
"Ikh, Kakak. Rumah itu kan tidak demam, kenapa harus dilihat kondisinya? Nanti saja, ya." Ia manyun.
"Apa?" Mengernyit.
Plakk!
"Argh! Kenapa aku harus diberi istri sepertinya?!" Batin menggerutu. Menggaruk kepala yang tak gatal.
Sungguh.
Kelakuannya itu pasti akan membuatku terkena serangan jantung suatu hari nanti.
***
Datang ke sebuah rumah cukup besar di daerah Tangerang banten. Tampak jelas olehku bagaimana rumah ini mampu menciutkan hati.Kami akan tinggal di rumah ini. Meski besar dan terkesan mewah, tapi tetap saja ini bukan rumahku. Rumahnya, ia yang berhak.
Aku tetaplah aku. Sebutir debu yang menempel, sekali hempas lenyap sudah.
"Kakak, aku tidak ingin tinggal di rumah ini. Kenapa kita tidak tinggal di rumah ibu saja? Di sana lebih ramai orang, aku tidak suka tempat semacam ini, Kak." Ia memasang wajah memelas lagi. Setelah selama perjalanan perdebatan kami tidak mendapatkan titik terang, ia kalah dan mengikuti perkataanku.
Kedua lensa mata kecokelatannya menyapu sekeliling. Juga matakj yang turut mengikutinya. Tempat ini, lebih bisa dikatakan sebagai perumahan cina.
Rumah-rumah besar bertingkat di sebelah kiri dan kanan rumah kami tergantung benda khas yang digunakan oleh orang-orang bermata sipit itu. Lampion, serta gantungan yang menimbulkan suara jika tersibak angin.
KAMU SEDANG MEMBACA
HOT WIFE-Mengejar Cinta Istri Kecilku
RomanceCerita si gadis super manja dan pria dewasa dingin