Tekanan Kecil

69 4 0
                                    

“Assalamu’alaikum ….”

Aku mengucap salam seraya membuka pintu, seulas senyum langsung tertuju pada seseorang yang tengah terbaring lemah di bed stretcher, ia menyambutku dengan usikan selimut yang menutupi seluruh tubuhnya.

“Waalaikum salam, Kakak!” Ia berteriak. Memaksa diri terbangun sambil merentangkan tangan.

Sesaat setelah cukup dekat, kupikir ia akan meraih punggung tanganku tapi nyatanya, salah. Ia langsung merengkuh tubuhku dan membenamkan wajah dengan sesenggukan lagi.

“Ada apa?” tanyaku, mengusap puncak rambutnya seraya satu tangan lain menyimpan barang bawaan di atas tempat tidur untuk sementara.

“Kakak dari mana? Aku takut ada di sini, kenapa Kakak pergi? Jangan tinggalkan aku lagi, Kak.”  Enzy terisak lagi. Memukul kecil punggungku, ia gemas sendiri.

“Maaf. Tadi aku ada sedikit urusan, aku tidak bermaksud meninggalkanmu seorang diri.” Aku menjawab pelan, puncak kepalanya terus menjadi sasaran lembut telapak tangan besarku padanya.

Entah ia bisa merasakan atau tidak, aku harap ia bisa sedikit lebih tenang karena itu.

Sejurus kemudian ia mendongak, wajah pucatnya terpasang berdampingan dengan wajah memelas. Masih melingkarkan lengannya di pinggang, ia mulai berkata lagi.

“Aku ingin pulang, Kak. Aku benci rumah sakit, mereka terus menggangguku tanpa henti. Tolong bawa aku pulang dari sini, Kak.”

Sikap manjanya keluar lagi, berkata jujur tentang ketakutannya pada hantu agar bisa mendapat belas kasihan dariku.

“Tidak bisa sampai dokter mengizinkanmu pulang, Zy,” jawabku.

Ia merengek. “Ih, kakak. Nanti bagaimana kalau mereka menggangguku lagi? Biasanya, saat mereka mengganggu aku selalu datang—“

“Karena ada aku, kau tidak perlu takut apa-apa lagi.” Menyela perkataannya, sesegukan Enzy terhenti dan kembali mengarahkan bola mata kecokelatan itu padaku. “Berbaringlah lagi, apa kau sudah baik-baik saja?”

Aku membantu mencarikan posisi ternyaman baginya, selimut kembali membalut Enzy agar menghangatkan setengah bagian tubuhnya. Dia mengulum bibir, usai menyeka air matanya dengan jemari, lemparan senyum terpaksanya membuatku sedikit lega.

Ya, sedikit. Selebihnya dada terasa sesak karena ia masih terus mengingat Arvin.

“Aku sudah lebih baik. Tapi, Kak--” Enzy mengulurkan lengan putihnya, lalu menyasar sudut bibirku dengan jemari. “Kenapa muka Kakak memar begini? Kenapa? Apa ada orang yang sengaja memukuli Kakak atau ada apa?”

Enzy membrondong pertanyaan begitu banyak, tapi aku menurunkan jemarinya dari wajah, lalu diam. Tak mungkin juga kujawab jujur jika telah mendapat pelajaran berharga dari ayahnya. Ya, kurasa ini adalah balasan setimpal karena telah membuat anaknya berakhir di rumah sakit.

“Oh, ini. Tadi ada pencopet, sedikit perkelahian. Tapi untung saja ia sudah ditangkap warga,” jelasku memberi alasan.

Sejenak ia masih menelisik kejujuran dari garis wajahku, tapi kemudian sunggingan senyumnya melebar disertai kekehan kecil.

“Kenapa?” tanyaku heran.

“Aneh saja, Kakak kan jago berkelahi. Bisa melawan para bodyguard papa, tapi kalah dengan seorang pencopet?” Enzy terkekeh kecil di atas kebohonganku. Sepertinya memang ia sudah lebih baik.

“Kukira kau mengkhawatirkanku.”

Ia manyun, mendengkus kesal namun tak berarti marah.

“Aku membawakan sedikit makanan untukmu, Zy. Mulai sekarang kau harus menjaga kesehatanmu. Tidur dan makan yang cukup, supaya penyakit lambungmu tidak kambuh lagi. Aku akan memantaumu dari sekarang, jadi jangan pernah membantahku lagi atau sampai kau mengulangi kebodohanmu pagi tadi.”

HOT WIFE-Mengejar Cinta Istri KecilkuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang