“Assalamu’alaikum, Zy?” Aku membuka pintu kamar, terdengar suara balasan salam dari balik selimut tebal yang menutupi seluruh bagian tubuhnya.
Yah, itu Enzy. Istri kecilku yang marah akibat kesalahpahaman tadi siang. Mungkin masih tersisa di ingatannya sampai sekarang, ia bahkan tak mebalas atau mengangkat panggilanku di ponselnya.
Asisten rumah tanggaku pun mengatakan Enzy pulang dan langsung masuk kamarnya, tak keluar lagi sampai mengabaikan ketukan yang memanggil dari luar.
Aku duduk di sampingnya usai melonggarkan dasi dan melipat lengan kemeja putihku, ia belum memberi respons lain dan memilih diam di tempat.
“Apa kau sudah makan?” tanyaku basa-basi sebelum memulai pembicaraan inti bersamanya.
Enzy diam.
“Reina itu karyawan baru. Dia tidak tahu kalau aku sudah beristri, jadi tidak seharusnya kau marah seperti tadi, Zy. Itu salah,” ujarku.
“Dasar Kakak tidak peka, dia itu sedang berusaha mendekati Kakak, bukan meminta bantuan … ish!” gerutunya. Selimut terbuka lebar, jelas tampak wajahnya yang kusut dengan mata sembab. Tak ada lagi air mata, namun tampaknya kejadian tadi sungguh masih berbekas, ia marah.
“Dari mana kau tahu tujuannya begitu?”
“Ya tahu. Aku kan juga perempuan! Sudah pasti tujuannya mendekati Kakak!” ujarnya bernada kesal. “Aku tidak suka ada wanita lain mendekati Kakak.”
“Engh?” Aku mengerutkan dahi, agak aneh mendengar kalimat tambahan Enzy yang sedikit mengekang.
Menggeser posisi duduknya lebih dekat, lingkaran lengannya lagi-lagi mengikat di pinggangku. Menyimpan kepalanya di bahuku, kemudian berucap lirih.
“Pokoknya Kakak tidak boleh selingkuh … tidak boleh.”
Suara kecilnya membuatku mati gerak. Semakin terdengar aneh ketika ia jelas melarangku memikirkan wanita lain selain dirinya.
“Kenapa? Kau sendiri boleh menyukai adikku, kenapa aku tidak boleh menyukai wanita lain?” tanyaku menggoda.
Memancing perasaanya yang masih belum bisa kutebak, apa ia bersikap begini karena cinta atau hanya takut kehilangan sosok kakak baginya?
Selama pernikahan kami, sebenarnya baru akhir-akhir ini hubungan baik bisa kami rajut sebagai pasangan suami istri. Saat pertama kali bersenggamma dengannya di awal pernikahan, rasa bersalah terus bergelayut dalam diriku sebab telah mencuri kesuciannya dengan paksa.
Tak memikirkan apa pun kecuali melupakan Kirana. Tapi sesudah itu dan semenjak perasaan ini datang, tak lagi kupaksa ia menuruti inginku yang ingin bersenggamma dengannya lagi. Rasanya, agak aneh saat menyentuhnya hanya dengan sebelah cinta.
Yah, hanya aku yang mencintainya. Dan sampai detik ini aku masih berusaha membuatnya mencintaiku walau waktu terus mengejar tanpa henti. Janjiku pada ayahnya tinggal menghitung hari, tapi belum dapat kupastikan Enzy memulihkan perasaannya kembali. Ketergantungannya terhadap Arvin seperti candu yang sulit ia hapuskan.
Tapi sekarang. Apa ia tengah membuka hati? Ia membolehkanku menyentuhnya kapan saja, melakukan kewajibannya dan memenuhi inginku. Meski belum kudapat jawaban saat kukatakan kalau aku ingin ia cepat hamil.
“Tidak tahu. Pokoknya aku tidak suka Kakak dekat dengan wanita lain, Cuma aku yang boleh ada di pikiran Kakak, tidak boleh ada lagi orang lain.”
Aku terkekeh kecil, tingkahnya ini. Sangat kekanak-kanakan namun itulah yang kusuka darinya. Ia yang apa adanya, tanpa harus lagi bersembunyi di balik topeng tomboynya yang dulu. Enzy sekarang adalah ia yang sebenarnya. Rapuh, mudah tersentuh juga marah, sisi lain dari kekuatan fisiknya yang sanggup menerkam bagai singa. Meski terkadang menyebalkan, tapi menjadi diri sendiri itu lebih baik, bukan? Tidak ada yang ditutupi termasuk perasaannya pada orang lain. Kejujurannya, keinginannya dan semua hal tentangnya … sangat menarik.
“Kakak.”
“Emh, kenapa?” Lamunanku mendadak berpencar seketika melihat wajah sendunya mendongak. “Oh, ya. Bukannya kita akan ke rumah sakit? Kalau begitu bersiaplah, aku akan mengantarmu ke sana."
Ia menggelengkan kepala pelan. “Tidak mau.”
“Kau harus ke dokter, Zy. Aku tidak tega melihatmu muntah terus saat pagi hari, supaya kita bisa tahu apa sakit lambungmu kambuh lagi atau tidak.”
“Tidak. Sampai Kakak mau berjanji padaku.”
“Janji? Janji apa?” tanyaku, heran.
“Janji kalau Kakak tidak akan selingkuh.”
Lagi-lagi dibuat terkekeh kecil olehnya, dia sangat polos.
“Dasar anak kecil, sejak kapan kau mulai risi aku akan selingkuh atau tidak?”
“Sejak--” Bola matanya berputar ke arah samping dengan gigitan kecil di bibir bawahnya. “Ya pokoknya Kakak tidak boleh selingkuh!” teriaknya kemudian.
“Tidak.”
“Sungguh? Janji?” tanya Enzy lagi.
“Tidak janji,” jawabku. Tertawa renyah saat cubitan-cubitan kecilnya dia daratkan di perut dan pinggang.
“Ikh, Kakak!”
Tak butuh waktu lama, kutarik tubuh mungilnya ke hadapanku sedekat mungkin. Dua pasang mata saling bertemu ketika wajah putih mulusnya kini memancarkan rona merah.
“Kalau begitu, kau harus hamil. Agar aku tidak selingkuh,” bisikku di samping telinganya. Dia sedikit menghindar menjauhkan kepalanya dariku. Namun, alhasil dia kembali terjebak karena kedua tangannya sudah terkunci rapat
"Ti--tidak mau." Enzy menjawab sangat pelan.
"Kenapa, hmh?"
"Ya, pokoknya tidak mau!" Enzy menjawab tegas sejenak, kemudian berkata lagi saat aku mendekatkan wajah ke bibirnya. "Jangan sekarang, aku belum mandi. Tidak cantik, nanti Kakak cuma akan mengejekku karena aku jelek."
"Apa aku pernah mengejekmu?"
Enzy terdiam, dia sedikit menggigit bibir bawahnya seraya mengalihkan pandangan ke arah lain, malu mungkin. Sebab dia sangat pemilih jika kami hendak berhubungan. Enzy selalu merasa harus terlihat cantik dan menarik, merias wajah dan menyisir rambut hitam panjangnya yang indah itu sampai aku tidak mampu menolak kehadirannya.
"Mataku bengkak, aku mau mengompresnya dulu."
Akhirnya Enzy berbicara juga, tetapi dia tetap ingin menjauh dariku dengan menggerakkan kedua tangannya.
"Jangan menghindariku ...." Kutarik kembali lengannya, bahkan tubuhnya sudah terbaring di atas tempat tidur. Napasnya sedikit tertahan, entah apa yang ada di pikiran Enzy, aku tak peduli. Apa itu terdengar jahat? Mungkin Enzy akan menjawab dengan kata Ya.
"Diamlah, dan aku akan menuruti satu permintaanmu untuk hari ini."
"Sungguh?"
Aku tidak menjawab lagi, kecuali gerak tangan cepat menanggalkan seluruh pakaiannya. Lagi-lagi, kulit putih tubuh wanita ini menguras pikiranku. Sebenarnya Enzy tidak terlihat senang, tetapi dia juga tidak menolak untuk hari ini. Bibir pucatnya yang semula rapat, mulai terbuka menuruti tuntutanku padanya.
"Kakak ...."
Jemari-jemari kecilnya meremas sudut kemeja lengan panjangku, kemudian tertunduk bersama kedua pipi yang kemerahan, dia malu. Kutarik kembali tengkuknya dan menegakkan wajah itu agar aku bisa lebih leluasa ketika menginginkannya.
Ya, meski tidak hari ini. Bukankah tidak ada salahnya menaruh harap di masa depan? Manusia hanya bisa menebak dengan sebuah ramalan kosong, tapi mereka tetap tidak bisa membaca takdir yang mungkin saja bisa berubah.
Termasuk perasaan Enzy padaku.
Bersambung.
KAMU SEDANG MEMBACA
HOT WIFE-Mengejar Cinta Istri Kecilku
RomanceCerita si gadis super manja dan pria dewasa dingin