Malam Panas Milik Kami

553 5 0
                                    

“Kakak ... engh, kita mau ke mana?” Lirih suara Enzy, pelan. Hanya menatapku serta merekatkan genggaman tangannya yang masih belum kuat.

“Diamlah, kita akan temui dokter untuk memeriksakan kondisimu,” ujarku. Putaran roda terus menghasilkan kebisingan ketika Enzy terbaring lemah di dekatku. Kedua suter dan ibu termasuk aku akan membawanya ke ruang UGD, setelah kepanikan melanda beberapa saat lalu di ruang rawat inap Ismi.

“Hiks ... tidak mau. Kenapa Kakak tidak membawaku pulang? Aku ingin pulang, Kak. Makhluk-makhluk di sini semakin dekat, mereka menginginkan tubuhku untuk tujuan mereka. Aku tidak tahan lagi, tolong bawa aku pergi dari sini, Kak.” Ia menangis lagi. Semakin laju kami membawanya, semakin keras isakan Enzy mengiringi kekhawatiran.

“Kamu pasti sedang berhalusinasi, Zy. Tenanglah, Nak. Sebentar lagi kita sampai.” Ibu mengusap puncak rambut Enzy, istriku menggelengkan kepala pelan.

“Tidak, Bu. Mereka sungguh ada, mereka ....”

Gerak bola matanya mengubah arah pandang Enzy, sejenak menatap ke sampingku ia terkesiap seketika. Lantas beringsut dari tempatnya lalu turun dan berlari meninggalkan kami semua tanpa basa-basi lagi.

“Aaaaa ... tidak mau!”

“Enzy! Kamu mau kemana, Nak?!” Ibu berteriak. Sedang Enzy makin jauh berlari keluar dari area rumah sakit.

“Biar aku yang menyusulnya, Bu.” Akhirnya aku meminta izin Ibu dan langsung menyusul larian Enzy setelah ibu mengangguk menyetujui.

Dasar.

Sebenarnya apa yang dilihat anak itu sampai ia berlari ketakutan? Atau dia hanya berpura-pura? Yang jelas, ini sangat merepotkan sekaligus memalukan.

Sesampainya di luar setelah cukup jauh berlari, Enzy tampak masih meneruskan langkahnya yang tergopoh ke jalan raya. Menangis dan umpatan kecil terdengar. Dari jauh lengan dan jemari tangannya terus bergerak mengusik ke arah samping. Seolah risih mengusir yang mengikutinya.

Semakin cepat kuberlari, melihatnya tak fokus menyusuri jalanan besar penuh kendaraan berlalu-lalang dengan kecepatan tinggi.

TID! TID!

“Enzy!”

Aku berhasil meraih pergelangan tangannya, kutarik cepat ia yang hendak menyebrang jalan tanpa menengok kanan-kiri. Ia lantas berbalik dan menubruk tubuhku yang memang sudah siap menahan sambarannya.

Ia kembali menangis. Sejenak terusik dan memukul-mukul kecil dadaku namun tak berapa lama kemudian tenaganya melemah sendiri. Lebih tenang, mungkin menyadari kalau yang mendatanginya adalah manusia.

“Dasar bodoh. Mau sampai kau merepotkanku begini? Apa kau sangat betah tinggal di rumah sakit?” tanyaku. Sedikit memarahinya, namun refleks tangan masih saja mengincar puncak rambutnya.

“Tidak.” Polos. Kali ini ia malah memelukku erat. Isakannya terhenti beriring berjalannya waktu.

“Kalau begitu kenapa kau bertingkah seperti ini? Apa kau tahu, perbuatan ini bisa membahayakan nyawamu sendiri?”

“Maaf, aku benar-benar takut, Kak. Mereka terus mengejarku sejak tadi. Kita pulang saja, ya.” Mendongakkan wajahnya ke arahku, lagi dan lagi wajah memelas itu jadi senjata paling ampuh meluluh-lantahkan hati.

“Tidak.”

“Hemmmh, kenapa?”

“Sebab ini sudah masuk Maghrib. Lebih baik kita cari masjid terdekat dulu, baru kita bicarakan pulang atau tidak.”

Ia terdiam. Bibirnya mengerucut tiga centi lebih manyun. Berpikir beberapa saat kemudian mengambil keputusan juga.

Anggukan pelan ia beri. Aku pun menarik lengannya lagi kembali ke arah rumah sakit untuk mencari masjid terdekat. Namun, baru saja dua langkah kaki berpijak, Enzy menahan dengan memilih diam di tempat.

HOT WIFE-Mengejar Cinta Istri KecilkuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang