Usai tiba di istana milik Pak Guntur, aku benar-benar seperti liliput yang sangat kecil di hadapan manusia berkuasa. Rumah ini sangatlah besar berlantai tiga, kolam renang pribadi, dan segala fasilitas mewah yang bisa didapatkan Enzy istriku.
Semakin aku masuk ke pekarangan rumahnya, sampai ke depan pintu, aku malah seperti tertampar oleh keinginanku sendiri. Apa aku bisa sederajat dengan Enzy? Apa aku berhak menuntut cinta dari istriku? Kami hidup di tingkatan yang berbeda, kelas Enzy sangat jauh di atasku yang hanya karyawan biasa.
Namun, saat melihat wanita di hadapanku ini, debar jantungku selalu berkata jujur. Aku hanya melihat Enzy sebagai seorang wanita yang apa adanya, manja dan kekanak-kanakan, terkadang sangat menyebalkan, tapi terkadang begitu manis. Dia juga tidak pernah menuntut banyak, bahkan tidak protes tidur di kamar sempitku jika pulang ke Purwakarta.
"Kakak sungguh mau meninggalkanku di sini?" tanya Enzy dengan suara parau.
"Kalau kau di rumah, apa kau bisa fokus pada keputusanmu?"
Enzy terdiam. Dari raut wajahnya, aku tahu dia sangat keberatan.
"Meski aku tidak cinta Kakak, tapi aku sayang Kakak," ujar Enzy pada akhirnya, lalu melekat memelukku lagi. "Aku tidak tahan kalau tidak melihat Kakak, jadi jangan pergi, ya. Kalau Kakak mau memastikan perasaanku, kenapa tidak mencari cara lain saja? Kita pergi bulan madu, atau ke mana pun. Kita lakukan semua yang biasa dilakukan sepasang pengantin baru. Kalau aku tetap tidak bisa mencintai Kakak, Kakak boleh ... Kakak boleh pergi."
"Enzy--"
"Pokoknya jangan tinggalkan aku di sini," sela Enzy.
Aku menghela napas tipis. "Bukankah kau sendiri yang memintanya semalam?"
"Tapi aku tidak menyangka Kakak betulan mengantar aku ke sini, aku pikir Kakak mau menahanku atau tetap membawaku ke Tangerang. Memangnya Kakak tidak khawatir? Aku masih patah hati, aku tidak punya teman kecuali Kakak. Tidak ada yang memperhatikanku seperti Kakak, kalau Kakak pergi ... aku sama siapa?"
Aku terdiam. Bagaimana aku tidak luluh jika Enzy terus-menerus seperti ini? Aku tahu dia hanya menjadikanku sebagai pelampiasan atas patah hatinya, aku tahu dia hanya tengah mencari kenyamanan dari seseorang. Namun, aku selalu saja menutup kedua mata dan telinga atas semua itu.
Cinta yang kumiliki mengalahkan segala alasannya.
"Kau merayuku, Zy?" tanyaku. Enzy menengadahkan sedikit wajahnya hingga kedua mata bulat besar itu tampak sangat indah dari dekat.
"Aku tidak merayu," jawabnya.
"Kau merayuku."
Enzy cemberut. "Sedikit, memangnya Kakak mau menolakku?"
"Kali ini kau yang menyebalkan," ujarku seraya mencubit hidungnya yang mancung. Dia tentu tahu jawabanku jika sudah dibuat luluh seperti ini.
"Jadi kita mau bulan madu ke mana?" tanya Enzy seraya tersenyum lebar. "Aku mau ke luar negri, yang jauh! Aku mau ke Amerika, London, Prancis, sama Jepang. Apa Kakak mau?"
Seketika ucapannya membuatku seperti diterjunkan dari atas gedung pencakar langit. Apa dia lupa kalau aku ini hanya bawahan di perusahaan kakaknya? Atau dia hanya sedang mengejekku? Mana bisa aku mengabulkan permintaannya! Uang tabunganku mungkin hanya cukup pergi ke satu tempat saja, itu pun kami akan kehabisan bekal setelah pulang berlibur.
Astagfirullah, bisa-bisa mendadak miskin kalau begini.
"Kenapa Kakak malah diam? Kakak tidak suka negara-negara itu?" tanya Enzy karena aku terus membisu setelah mendengar permintaannya.
"Apa kau tidak ingin pergi mendaki ke gunung saja? Sepertinya melihat alam lebih bagus," usulku kepada Enzy.
"Hah, gunung? Aku punya dua gunung kembar, Kakak malah bisa bebas mendaki kapan saja. Apa bagusnya gunung lain?" jawabnya begitu polos.
KAMU SEDANG MEMBACA
HOT WIFE-Mengejar Cinta Istri Kecilku
RomanceCerita si gadis super manja dan pria dewasa dingin