Luka Tak Berdasar

138 4 0
                                    

“Kakak, kapan kita ke rumah ibu?” tanya enzy, dia menyeret pelan selimutnya tak membiarkanku menatapinya lebih lama.

“Akhir bulan, bukannya sudah kukatakan padamu kemarin?”

Usai mendapat jawaban dia manyun, lalu merebahkan diri sedikit kasar dan menutupi seluruh bagian tubuhnya dengan selimut.

“Zy?”

“Tidak mau, Kakak jahat!”

Kenapa ia terlalu rumit akhir-akhir ini? jika rumus fisika dan matematika mampu kutemukan jawabannya. tapi aku tak pernah bisa menemukan dasar hati enzy. Dia masih tetap melabuhkan hatinya pada satu orang. yah … itu adikku.

Kadang merasa begitu bodoh sendiri, ketika langkah sudah sampai sejauh ini, aku terus mengejar sesuatu yang tiada pasti. Ingin mundur ke belakang tapi jurang telah menanti dengan kedalaman tak terbatas.

“Zy ….”

Aku mengulurkan tangan meraih puncak rambutnya, dia terusik kecil. mengusir kepedulian menggunakan tarikan ego yang sangat kuat.

drrt!
drrt!
Seketika aku menanggalkan selimut saat ponsel di atas meja begetar. Enzy masih membelakangi dan diam di tempat.

Ibu?

“Assalamu’alaikum, Bu.” Deru tak jelas meriak dari speaker ponsel sebelum beberapa saat kemudian terdengar suara lembut meneduhkan hati itu bicara.

Kasur empuk yang kududuki berguncang, ternyata Enzy terperanjat dan mebulatkan bola mata ketika kusebut ibu mertuanya yang menelpon.

“Waalaikum salam, Atha. apa kau ada waktu luang besok?” tanya Ibu.

“Emh … aku tidak tahu. memang ada apa, Bu?”

Kulirik istri kecilku, dia mendelik tajam mendekatkan telinganya di belakang ponsel, menguping.

“Oh, itu. ibu hanya ingin mengabari kalau Ismi akan melahirkan hari ini. jadi, apa kalian bisa datang ke Purwakarta?”

“Besok aku—“

“Bisa, Bu! kita berduakan pergi ke sana. Nanti aku akan bawakan banyak hadiah untuk keponakan baruku.” Enzy menyela kata dengan semangat. Menjawab pertanyaan ibu cepat tanpa berpikir panjang lagi.

Usai telpon dimatikan, dia menarik ulur napas lewat rongga mulut. Jeritan kecil beriringan bersama gerak tubuhnya yang tak berhenti menari.

“Apa kau sangat senang?” tanyaku. Penasaran pada tingkahnya yang berlebihan menanggapi kabar ini.

“Huumh. Kita nanti akan bawa apa, ya? Emh, peralatan bayi? Pakaian? Mainan atau … aaaahhhh! Aku sudah tidak sabar menanti datangnya matahari besok.” Enzy menekan dadda, memberi sedikit ruang pada pernapasannya yang makin sempit.

Mengambil kesempatan dalam kesempitan, lengan yang terus ia sematkan di dadda kutarik hingga tubuhnya ikut menubruk tubuhku yang sudah siap menjadi landasan.

Kedua pasang mata saling bertemu, lensa bulat indah kecokelatan itu berbinar bak cahaya matahari yang baru pertama kali timbul di pagi hari, atau seperti indahnya sinar senja yang menanti datangnya malam. Ya, sangat indah. Namun, aku menyadari itu bukan untukku.

“Kalau begitu kita buat anak kita sendiri, sepertinya itu akan lebih menyenangkan,” ujarku. Ingin sedikit mengambil bagian dari keindahan itu.

“Tidak mau.”

“Kenapa?”

Lensa matanya perlahan meredup sendu. Mengangkat tubuh mungilnya namun kutahan sebab masih belum mendapat jawaban pasti.

HOT WIFE-Mengejar Cinta Istri KecilkuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang