Beberapa waktu berlalu setelahnya. Tinggal di rumah sendiri bersama istri kecilku yang masih labil. Enzy menepati janji mengubah dirinya ke arah yang lebih baik, memang tak sepenuhnya. Karena memang ada beberapa hal yang membutuhkan proses panjang, perlu banyak belajar juga niat dari dalam hati.
Namun seberapa pun sedikitnya perubahan Enzy. Aku akan menerimanya sampai ia benar-benar melupakan cinta atau obsesinya pada adikku.
“Pagi ….” Tiba-tiba ada lingkaran lengan disertai suara lembut dari arah belakang.
Sontak gerakkan tanganku yang tengah memasang jam tangan dan berdiri di hadapan cermin besar berhenti akibat ulah dadakannya.
Usai shalat subuh dan sempat tidur lagi. Sepertinya ia kembali terjaga karena kedatanganku.
“Apa kau sudah lebih baik?” tanyaku.
Ia mengangguk namun bibirnya mengerucut. “Tapi masih sedikit pusing, Kak. Perutku juga mual terus, tidurku jadi tak nyaman,” keluhnya. Memegangi perut datarnya, ia memang sempat mual dan muntah agak parah subuh tadi. Maka dari itu kusarankan ia tidur lagi dan beristirahat penuh seharian ini.
“Jangan lupa minum obatmu. Aku sudah menyuruh bibi untuk menyiapkan bubur ke kamar ini sebentar lagi. Ingat, jangan melakukan aktivitas berat atau hal bodoh lagi yang bisa membahayakan kesehatanmu. Nanti aku akan pulang cepat untuk mengantarmu periksa ke dokter.” Menunjuk ke arah hidung mancungnya ia tersipu malu.
Enzy merajut senyum yang tertahan dengan gigitan kecil di bibir bawahnya.
“Padahal aku bisa pergi ke dokter sendiri. Aku tidak ingin Kakak lelah hanya untuk mengantarku.”
“Aku hanya ingin memastikan sendiri kondisimu.”
Aku mengusap puncak rambutnya yang terasa lembut di tangan. Enzy pun sepertinya sudah terbiasa dengan gerak telapak tangan yang otomatis mengincar puncak kepalanya untuk memberi kenyamanan.
“Kakak mau apa?” tanya Enzy seraya menundukkan kepalanya melihat ke arahku yang sekarang tepat berada lebih rendah darinya. Dengan posisi kedua lutut menggantikan tugas telapak kaki, sekarang wajahku telah sejajar dengan perut datarnya.
“Diamlah.” Aku menempelkan telinga di perutnya. Riuh terdengar suara dari dalamnya seperti tengah berdemo.
Tangan Enzy sejenak menjauhkan kepalaku darinya, rona kemerahan di wajahnya menghias indah dipandang mata.
“Apa tidak ada sesuatu di dalamnya?” tanyaku.
“Emh? Sesuatu?”
“Ya. Sesuatu yang akan menjadi calon anakku,” ujarku seraya mengusap perutnya dan mengakhiri gerakan di pinggang. Enzy menyingkirkan tanganku darinya, malu-malu.
“Ih, jangan pegang lama-lama. Geli, Kak.” Wajahnya kian memerah. Makin erat pegangan tangannya menjauhkanku. Ia berdiri dengan posisi tak nyaman aku pun menyudahi keusilanku memancingnya agar cepat hamil.
“Baiklah, aku pergi dulu. Jaga dirimu baik-baik … oke.” Aku mendaratkan satu kecupan di keningnya ia mengangguk pelan.
Enzy pun mengantarkan sekaligus membawakan tasku sampai ke depan pintu rumah.
Mobil sudah dipanaskan oleh sopir. Hanya tinggal menungguku masuk ke dalamnya dan berangkat. Tapi Enzy kembali menarik lenganku yang sejak tadi masih digenggamnya setelah mengucap salam.
“Apa lagi?” tanyaku.
“Aku lupa sesuatu.”
“Engh? Apa itu?”
Kaki Enzy terjingkit sebelum akhirnya melepaskan kecupan singkatnya di pipi kiriku. Tubuh sontak terpatri di tempat, padahal sipencuri ciuman sudah berlari kecil menaiki anak tangga menuju kamarnya lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
HOT WIFE-Mengejar Cinta Istri Kecilku
RomanceCerita si gadis super manja dan pria dewasa dingin