Rasa Yang Menusuk

74 7 0
                                    

"Apa dia masih marah? Dia menghilang sejak tadi, mungkin saja dia sedang mengutukku di tempat lain."

Langit berkata saat aku duduk di kursi menemaninya yang sedang beristirahat. Dua cangkir kopi disediakan pellayan untuk kami, dia pun menyeruputnya seakan-akan tidak ada masalah.

Ya, masalahnya sekarang adalah tuntutan Enzy padanya. Istriku masih protes keras karena kakaknya hanya memberi waktu berlibur selama tiga hari ke depan.

"Kau seperti tidak tahu sifat adikmu saja, dia adalah anak paling aneh yang pernah kutemui," ujarku seraya meminum sedikit kopi yang masih hangat di tangan.

"Kalau dia aneh, apa kau juga tidak aneh?"

Pertanyaan Langit membuatku seketika menoleh.

"Kau menikahinya, lalu merayunya sampai dia tergila-gila begitu padamu. Apa kau serius? Atha ... dia masih labil, aku bahkan masih tidak percaya kau yang membuatnya begitu!" Langit seperti marah, tetapi tidak terlalu keras karena mungkin ini sudah berlalu cukup lama.

"Aku tidak pernah merayunya--"

"Ya, mungkin kau tidak merayunya. Tapi menggodanya agar tergila-gila padamu," sela Langit, kemudian menghela napas kasar. "Kau lupa? Usianya masih 19 tahun, seharusnya kau lebih selektif memilih mana yang menjadi istrimu, kenapa harus adikku?!"

"Kau masih mau membahas ini? Apa aku harus mengingatkanmu siapa yang menjebakku lebih dulu?!" Aku mulai berteriak keras. "Jika saja aku ada pilihan saat adikmu mendadak mengaku hamil di depan semua orang. Aku akan memilih jalan itu, Lang. Apa kau pikir aku akan tega menghancurkan masa depan seseorang begitu saja?"

Lelaki berkulit putih itu terdiam, menahan amarah yang sebelumnya mungkin terus tertahan. Dia masih kecewa, aku tahu. Enzy bahkan tidak mengambil pendidikan lebih tinggi dan hanya tamat SMA. Itu pasti sangat menyesakkan.

Namun, dia sendiri tidak pernah tahu alasan Enzy mengambil keputusan ini.

"Lalu bagaimana dengan Kirana? Apa kau masih tidak mengakui sudah menghancurkan masa depannya? Gadis itu mati saat dia mengandung bayimu, dan kau bahkan tidak tahu perbuatanmu sendiri."

Srak!

Derit kursi yang kududuki terdengar nyaring. Aku tidak pernah mengira Langit akan membahas luka yang seharusnya sudah menghilang ditelan arus kehidupan kami.

"Ternyata kau memang belum mengerti apa pun tentangku," ujarku bernada datar dan berusaha tenang. "Mulai sekarang, berhentilah bertindak seakan-akan kau adalah temanku."

Kulihat dia sekali lagi sebelum pergi, seseorang yang telah menjadi sahabatku selama bertahun-tahun lamanya. Terkadang tidur dalam satu kamar, lalu melakukan banyak hal bersama. Namun, dia justru dengan mudah menyerangku dengan begitu mudanya.

Kirana ... mana mungkin aku bisa melupakan kesalahan itu? Dia adalah gadis pertama yang membuatku mengenal cinta, meluluhkan hatiku yang seperti es balok, juga menemaniku saat keadaan sulit.

Saat itu usianya masih sangat muda, kami menjalin ikatan yang begitu dekat meski aku sedang disibukkan oleh rutinitas kuliah setiap hari. Dia selalu datang ke kafe saat aku bekerja paruh waktu, duduk menyendiri menungguku dengan senyumnya yang manis.

Aku tahu, masa muda bagi setiap orang adalah di mana mereka belum bisa mengendalikan keinginan dengan baik. Aku sangat ingin memiliki Kirana, sangat ingin. Dia bahkan tidak menolak saat aku mulai meminta satu hal yang seharusnya dia jaga untuk suaminya kelak.

Namun, hari itu di tahun pertama bubungan kami, dia mendadak pergi. Aku kehilangan jejaknya, tidak tahu keberadaannya sampai bertahun-tahun. Aku sudah mencarinya ke mana pun yang bisa kujangkau, tapi dia seperti ditelan bumi.

HOT WIFE-Mengejar Cinta Istri KecilkuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang