Sejak hari itu, aku mencoba menelepon ponsel Enzy setidaknya 20 kali dalam sehari, dia tetap tidak menjawab panggilanku. Apa dia sudah baik-baik saja? Aku sungguh mengkhawatirkannya. Setiap kali datang ke rumah Pak Guntur untuk menemui istriku, ada saja orang yang berjaga di depan rumah.
Sekarang, aku sudah tidak tinggal di rumah kami lagi. Bahkan aku telah kembali ke Purwakarta dan menempati kamar yang sering kusinggahi dengan Enzy. Berhari-hari terlewat tanpa suara dan kemanjaannya, ternyata begitu sepi, apa aku telah mencintai Enzy sebegitu dalamnya?
Ini benar-benar menyiksa.
Apalagi, aku juga belum mendapat pekerjaan baru setelah berhenti dari perusahaan milik Pak Guntur. Lengkap sudah, mungkin ke depannya aku akan bekerja serabutan jika tidak kunjung mendapat pekerjaan. Aku semakin tidak memiliki wajah untuk bertemu dengan Enzy.
"Atha, boleh ibu masuk?"
Mendadak datang suara Ibu dari arah luar kamar.
"Iya."
Ibu pun membuka pintu setelah aku mengizinkannya masuk. Dia datang dengan membawa buah-buahan yang sudah diiris di piring. Ibu duduk tepat di sebelahku.
"Makanlah, tadi ada tukang buah di depat. Ibu ingat kamu menyukainya, jadi ibu membeli ini untukmu."
"Terima kasih, tapi Ibu tidak harus melakukan ini. Aku bisa mengambilnya sendiri, Ibu juga sudah cukup lelah dengan si kembar." Aku berkata seraya menerima pemberian darinya.
"Kalau ibu tidak mengantarkannya, kau tidak akan mengambil itu," ujarnya. Lalu menambahkan pertanyaan kembali. "Sejak kau pulang, ibu tidak pernah melihatmu keluar kamar. Kau bahkan tidak terdengar berbicara dengan Enzy di telepon. Apa kalian berdua ada masalah?"
Aku terdiam. Aku memang belum menceritakan apa pun kepada Ibu Anika tentang masalah yang kuhadapi dengan Enzy dan ayahnya. Apa aku harus jujur? Tapi jika Ibu tahu, aku khawatir dia akan menentang hubunganku dengan Enzy. Bagaimana pun, Pak Guntur tidak akan melepaskan keluargaku begitu saja.
"Hanya masalah kecil, Ibu tidak perlu khawatir. Aku akan menyelesaikannya dengan Enzy," jawabku pada akhirnya.
"Masalah kecil jika dibiarkan berlarut-larut juga akan menjadi besar, Atha. Apalagi sekarang kau tinggal di sini dan meninggalkan istrimu di rumah, kesalah pahaman itu akan semakin besar."
"Aku tahu." Aku menghela napas kecil. Memang benar, seharusnya aku tidak tinggal di sini. Rumah ini sudah ditempati oleh Arvin dan Ismi, Ibu juga akan kembali ke rumahnya di Jalan Cagak, Subang jika si kembar sudah bisa ditinggalkan.
"Aku akan pergi besok," ujarku.
"Pergi? Kau mau pulang ke rumah Enzy, kan?"
Aku terdiam.
"Atha ...."
"Kakak mau pergi? Kapan?!" Tiba-tiba ada Arvin di depan pintu yang sepertinya mendengar pembicaraanku dengan Ibu.
"Sepertinya kau senang mendengarku akan pergi, huh?"
"Mister Sensi, aku cuma tanya." Arvin berdesis kesal, kemudian ingin berlalu dari depan pintu.
Sementara itu, ingatanku mendadak tertuju pada perkataan Enzy tempo hari yag menyebut bahwa Arvin memiliki kemampuan yang sama dengannya.
"Arvin, apa kau sudah selesai bekerja?" tanyaku padanya.
"Iya, kenapa? Aku mau mandi."
"Tunda dulu. Ikut denganku sekarang ...." Aku beranjak dari tepian tempat tidur, lalu menarik kerah jaket Arvin untuk mengikuti langkahku keluar rumah. Dia tampak merengut, keberatan mungkin. Sebab dia bahkan belum sempat duduk setelah lelah bekerja.
KAMU SEDANG MEMBACA
HOT WIFE-Mengejar Cinta Istri Kecilku
RomanceCerita si gadis super manja dan pria dewasa dingin