“Karena aku mencintai Arvin! Dan aku benci Ismi. Aku sangat membencinya.” Pengulangan kata terdengar bagai petir.
Malam gelap tak berbintang di atas kami menjadi saksi pertengkaran pertamaku bersama Enzy di hari ke tiga pernikahan kami.
“Apa maksudmu?”
“Karena dia, Arvin tidak pernah melihatku. Karena dia, Arvin tidak memberiku sedikit ruang di dalam hatinya. Kenapa dia selalu menghalangi dan jadi pembatasku dengan Arvin? Kenapa, Kak?!” Enzy mulai menangis tersedu di hadapanku.
Aku hanya bisa terpaku menghadapi kemarahannya yang tak pernah kuduga. Ia bagai orang depresi berat, tak mampu menahan perasaan ketika orang yang dikasihinya terluka.
“Kenapa juga aku harus merasakan semua ini? Aku benci hanya menjadi bayangnya,” lirihnya. Tubuhnya merosot ke bawah, tak peduli lagi seberapa keras ia menangis.
“Selama ini aku mati-matian membantunya mendapatkan Ismi walau itu seperti menusukkan pisau tajam pada diriku sendiri. Sampai ia bahagia dengan Ismi aku tetap ada di belakangnya padahal hati selalu saja sakit saat kusadari ternyata ia bisa bahagia bahkan tanpaku, tolong katakan padaku apa yang harus kulakukan, Kak?”
Lama hanya berdiri mematung mendengarkan curhatannya, akhirnya kuputuskan menghampiri Enzy. Berjongkok di hadapan istriku yang jelas menangisi laki-laki lain.
Itu adikku.
Aku menarik perlahan tengkuknya, Enzy menurut pasrah. Tak bicara, aku ingin ia terus mengeluarkan keluh kesahnya sampai tak bersisa. Enzy meremas kaos yang kukenakan, air matanya bahkan menembus sampai terasa dingin di kulit dada.
“Kenapa aku begitu mencintai Arvin? Andai saja aku tahu jatuh cinta akan berakhir sesakit ini, aku tidak ingin merasakan cinta lagi.”
Yah, aku paham itu. Sekarang terbaca sudah alasan kenapa ia begitu ngotot ingin pergi ke Purwakarta terus-menerus. Ternyata yang ia inginkan adalah bertemu dengan adikku.
Persahabatan yang baru beberapa bulan terjalin. Berbuntut cinta yang bertepuk sebelah tangan.
Aku melepaskan pelukan, Enzy masih belum berani menatap mataku yang ingin memberi simpati. Pandangannya jauh menerjang ruang kosong tak bertepi, seolah tak menemukan secercah cahaya. Bola mata bulat yang biasa berbinar kini redup tak berwarna.
“Apa kau ingin mendengarkan nasihatku?” Aku mengangkat tangan meraih rambutnya yang basah berserat oleh keringat. Enzy mulai menaikkan wajah.
Ia diam.
“Kita pulang ke Tangerang besok.”
“Tidak mau, aku ingin bersama Arvin, Kak.”
Aku menghela napas dalam. “Kau tidak bisa meneruskan ini, Zy. Arvin sudah menikah dan kau juga sudah sah menjadi istriku. Aku tidak ingin kau merusak kebahagiaan orang lain hanya untuk tujuan pribadimu … cukup kita berdua saja. Jangan tambahkan orang lain dalam permainan kita.”
Menghapus jejak air matanya yang mulai surut, kutahu ruang yang sudah terisi penuh akan sulit untuk menempatkan diri. Entah seberapa dalam cinta Enzy pada adikku dan seberapa dalam cintaku pada Kirana. Kami berdua akan mengukir sejarah tersendiri dalam kanvas putih yang baru.
Merasakan cinta tidaklah salah, yang salah itu adalah ketika memaksakan kehendak dan mencari pembenaran dari apa yang kita lakukan.
Aku tidak ingin Enzy atau pun aku terus tenggelam dalam cinta yang tak pada tempatnya.
“Kita pulang, ya.” Sekali lagi kumengajaknya.
Ia mengangguk.
Aku berbalik arah membelakanginya, memberikan pungguku di hadapan Enzy.
KAMU SEDANG MEMBACA
HOT WIFE-Mengejar Cinta Istri Kecilku
RomanceCerita si gadis super manja dan pria dewasa dingin