Berkemah Ala Enzy

54 6 1
                                    

Enzy meneteskan air mata, lalu berlari kecil ke arah kamar meninggalkanku begitu saja. Astagfirullah, sungguh aku tidak sengaja membentaknya. Aku hanya tidak percaya bagaimana ada hal semacam itu di dunia ini.

Segera kususul dia ke dalam kamar, Enzy sudah bersembunyi di balik selimut seperti biasanya saat dia menangis. Dia tidak terusik sedikit pun saat aku mulai duduk di tepian tempat tidur.

"Enzy ... maaf, aku tidak sengaja. Aku sungguh tidak berniat membentakmu," ujarku, tetapi dia tetap menangis saja. "Baiklah, aku tidak akan menanyakan apa pun lagi tentang duniamu. Karena aku tidak mengerti sama sekali, aku hanya akan mendengarkan dan memelukmu saat ketakutan. Aku tidak akan memarahimu lagi."

Enzy belum membuka selimutnya saat aku membujuk, aku membiarkannya menangis lebih banyak sampai dia mulai mau bergerak dari sana. Kedua matanya masih basah, bahkan setelah dia menyekanya berkali-kali.

"Iya, memang. Cuma Arvin yang bisa mengerti kalau aku bercerita hal semacam ini. Dia sama sepertiku yang bisa melihat mereka."

"Apa? Adikku?" tanyaku heran. Sebab Arvin sama sekali belum pernah mengoceh masalah hantu atau sejenisnya.

"Bercerita ke Kakak cuma membuatku seperti orang gilla. Kakak tidak pernah percaya aku, juga mengabaikan ketakutanku. Sementara Arvin tidak begitu, kami selalu bercerita banyak hal saat aku bekerja di bengkel. Jadi aku tidak mau bercerita apa pun lagi ke Kakak," ujar Enzy.

Aku terdiam. Apa benar aku tidak berguna sama sekali dalm hal ini? Enzy lagi-lagi membandingkanku dengan Arvin, dia ternyata belum sepenuhnya bisa terlepas dari adikku.

"Baiklah, satu kali ini. Aku akan mendengarkanmu, coba katakan padaku siapa Kirana yang kau lihat itu, hmh? Aku tidak akan memarahimu," ujarku mencoba membujuk Enzy kembali.

"Aku tidak bisa tahu lebih jauh, karena jika aku mencaritahunya. Aku akan ikut merasakan rasa sakit saat menjelang kematiannya, aku takut. Dia meninggal tidak wajar, apa boleh aku tidak bercerita?"

Kedua mataku mendadak memanas, apa yang dikatakan Enzy benar? Jika memang iya yang datang adalah Kirana--ku, dia pasti ingin mengatakan kalau dia sangat membenciku. Apa benar begitu?

Ya, aku memang bersalah, Kirana. Kematianmu adalah salahku, kesalahan terbesarku.

"Benarkah?"

Enzy mengangguk pelan.

"Kakak ...." Enzy menggenggam tanganku, lembut. "Kakak tidak marah padaku lagi, kan? Hari semakin siang, aku belum mengemas barang-barang bawaan kita berkemah. Kalau Kakak marah terus, bagaimana perjalanan kita bisa menyenangkan?"

"Hmh, baiklah. Aku tidak marah, Zy. Kalau begitu aku akan makan siang dulu, aku akan datang lagi secepatnya untuk membantumu."

Enzy mengangguk cepat. "Tapi cium dulu, biar aku tidak sedih lagi."

Aku menghela napas tipis, kemudian mengecup keningnya sekali diakhiri kecupan singkat di bibirnya. Dia tersenyum begitu manis setelah menangis tersedu-sedu beberapa menit lalu. Ya, memang selalu seperti itu. Pertengkaranku dengan Enzy tidak pernah berlangsung lama, anak ini meski mudah marah, tetapi mudah luluh dengan hal kecil sekalipun.

***

Beberapa jam pergi ke tempat tujuan.

"Aaaaah! Ini nyaman sekali, aku suka!" Enzy berteriak senang, dia berlari kecil seraya menyeret koper besarnya ke arah tempat tidur. Dia mengempas tubuhnya di sana, berguling-guling seperti baru menemukan tempat yang nyaman.

Sementara aku? Astagfirullah. Sudah berapa kali aku mengucap istighfar hari ini? Pertama kali datang untuk berkemah, kupikir Enzy akan mengajakku ke pegunungan yang benar-benar hanya ada pemandangan alam saja. Tapi ini?

HOT WIFE-Mengejar Cinta Istri KecilkuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang