Orang-orang di sekitar berlalu-lalang cepat, membawa kepedihan masing-masing, sebagian dari mereka tak peduli pada urusan orang lain. Kecuali para perawat dan dokter jaga yang sigap menangani pasien dengan berbagai keluhan. Tangisan anak, rintihan, jeritan terdengar riuh.
Mereka semua menggangu pikiranku yang kalut, memikirkan bagaimana keadaan istriku di dalam satu ruangan dan tengah ditangani dokter. Luka sayatan itu, kenapa Enzy sampai berpikir ingin mengakhiri hidupnya? Apa ia masih belum bisa melupakan cintanya pada adikku?
“Kenapa mereka lama sekali?” gumamku. Hanya mampu berucap lewat hati. Meremas jemari sendiri untuk menangkal perasaan gundah yang terasa menyakitkan. Do’a terus kuucap agar ia baik-baik saja.
“Kau ….”
Suara berat berasal dari arah depan, wajahku sedikit mendongak melihat siapa yang datang. Sontak tercekat dan langsung berdiri saat sesosok tubuh jangkung berjas hitam berdiri tegap dengan tatapan sangar.
“Papa?”
“Apa yang terjadi? Katakan padaku bagaimana bisa putriku berakhir di tempat ini?!” bentaknya, keras. Menyalurkan energi negatif sampai mampu membius segala susunan kata yang sudah terangkai sejak tadi.
Ya, aku tahu beliau pasti datang ke sini. Cepat atau lambat, berita Enzy masuk rumah sakit pasti cepat mengalir bagai listrik di telinganya. Membawa dua orang bertubuh kekar di belakang, ia menatap angkuh padaku.
“Maaf, Pa. Aku tidak tahu jadinya akan seperti ini.”
Satu tangannya mengambil gerakan cepat meraih kerah kemejaku, ia menunjukkan kekuasaanya atas diriku yang telah lalai menjaga Enzy.
“Sial. Kalau terjadi hal buruk menimpa putriku, bukan hanya kau yang akan merasakan akibatnya. Tapi keluargamu menjadi taruhan atas nyawa anakku!”
Dia mendorong kasar, tubuhku menyasar dinding bata bercat putih di belakang. Dalam situasi begini kemarahan Pak Guntur tidaklah sepenuhnya salah, percobaan bunuh diri Enzy karena aku telah gagal membuatnya teralih dari masa lalu.
Suara pintu terbuka dibarengi seseorang yang keluar dari dalam ruangan, seorang dokter yang menangani Enzy akhirnya keluar juga sekaligus mengakhiri perkataan Pak Guntur yang mungkin akan berbuah pahit.
“Apa kalian keluarganya?” tanya dokter berjilbab cokelat dengan kacamata itu. Ia mengabsen kami semua satu per satu.
“Saya—“
“Saya ayahnya, bagaimana kondisi putri saya, Dok?” sela Pak Guntur memotong perkataanku.
“Pasien harus rawat inap, tapi sebelum itu. Apa bisa Bapak ikut dengan saya? Saya akan menjelaskan lebih rinci kondisi pasien.” Dokter tersebut berkata lagi.
Pak Guntur mengangguk menyetujui, namun setelah dokter itu pergi lebih dulu. Ia masih berada di dekatku dengan sinis.
“Jaga orang ini, jangan sampai ia kemana-mana,” ujarnya pada para bodyguard. Kembali memasang wajah sangar ia berganti mendelik ke arahku. “Aku akan bicara lagi denganmu setelah ini, jadi jangan harap kau bisa bebas dan melakukan apapun.”
Aku menunduk pasrah. Tak lagi kulihat ia kecuali bayang tubuhnya yang mulai menjauh.
Setelah cukup aman, aku kembali menegakkan tubuh dan berbalik arah. Respons tercepat diambil kedua bodyguard Pak Guntur sudah siap menghadang saja.
“Aku hanya ingin bertemu istriku.” Mereka berdua lantas mundur dan memposisikan diri menjaga pergerakkanku.
Cukup lama menatapi pintu yang tertutup rapat di hadapan, akhirnya kuputuskan untuk menyiapkan diri sebaik mungkin untuk menyaksikan apa yang ada di dalam. Memutar gagang pintu, dingin meresap ke telapak tangan. Langkah berat menghampiri bentangan tirai biru yang setengahnya menghalangi tubuh istriku.
KAMU SEDANG MEMBACA
HOT WIFE-Mengejar Cinta Istri Kecilku
RomanceCerita si gadis super manja dan pria dewasa dingin