"Apa kau yakin akan melakukan ini, Zy? Aku khawatir dengan kesehatanmu," ujarku saat Enzy melepaskan jarum infus dan benar-benar ingin berniat kabur dari rumah sakit.
"Jadi Kakak mau aku tinggal di sini sampai berapa lama? Sampai Papa memasukanku lagi ke kamar dan dikunci di sana selama berbulan-bulan? Kakak tahu? Papa berniat mengajukan gugatan cerai atas namaku untuk Kakak."
"Apa? Papa akan melakukan itu?" tanyaku sangat terkejut. Aku memang mengira Pak Guntur akan melakukan segalanya, tapi apa sampai sejauh itu? Dia sangat ingin memisahkanku dengan Enzy. Lebih mengherankan lagi, Enzy bersedia membahayakan diri hanya demi ikut dengan lelaki sederhana sepertiku?
"Ini adalah kesempatan paling baik. Aku tahu tubuhku mungkin tidak akan mendukung, tapi keinginanku jauh lebih kuat dari itu," ujar Enzy meyakinkan padaku.
"Enzy ...." Aku menahannya sebelum dia turun dari bed stretcher. "Kau tahu siapa yang akan kau ikuti ini? Itu adalah aku, aku yang hanya pegawai biasa dan tidak bisa memberimu kehidupan mewah. Kalau kau melakukan ini hanya karena emosi sesaat, aku harap kau bisa berpikir ulang. Aku tidak ingin kau menyesal di kemudian hari, Zy."
Enzy terdiam. Dia tampak berpikir akan keputusannya pergi bersamaku.
"Lalu Kakak akan membiarkanku merawat bayi ini sendiri? Kalau suatu saat nanti dia menanyakan ayahnya, lalu Papa melarang kalian bertemu. Apa yang Kakak lakukan? Ah ... tidak. Mungkin saja aku tidak akan bertahan sampai selama itu." Enzy mengalihkan pandangannya dariku.
"Zy ... ini adalah keputusan besar. Hidupmu akan berubah sangat drastis, kau harus memiliki alasan kuat agar kau tidak menyesalinya."
"Karena aku terlalu menyukai Kakak! Suka Kakak, dan selalu menyukai Kakak setiap waktu! Apa Kakak puas?" Enzy bersuara begitu keras seraya menatapku dengan wajah serius.
Seketika aku diam. Apa ini bukan mimpi? Sungguh? Dalam keadaan seperti sekarang, aku semakin mencemaskan banyak hal. Namun, apa artinya kecemasan itu jika Enzy ada bersamaku?
"Kakak kenapa lihat aku begitu? Jangan lihat terus ih, aku malu ...."
Kedua pipinya bersemu kemerahan. Dia tertunduk malu, tapi aku terus mengangkat dagunya dan memberi sebuah ciuman kecil di bibirnya yang selalu manis. Tangannya sedikit meremas sudut kemejaku karena dia mungkin saja kesulitan mengimbangi aktivitas ini lebih lama.
"Sudah ... nanti Kakak ikut sakit." Enzy berkata lirih, seraya menatapku dengan sayu.
"Kita pulang?"
Enzy mengangguk kecil. "Iya."
"Pakai ini, jangan sampai ada angin masuk ke tubuhmu. Aku hanya membawa motor ke sini, Zy." Aku memberinya pakaian hangat yang kupakai, dia terlihat sangat senang. "Aku akan membawamu ke rumah sakit di Purwakarta kalau kita sudah sampai. Jadi bertahanlah selama perjalanan, hmh?"
"Iya."
Dia tersenyum lagi, lalu memeluk tengkukku saat tubuhnya berpindah tempat di kedua lengan. Aku sangat berhati-hati saat membawanya keluar secara diam-dima dari rumah sakit ini. Untung saja Langit dan yang lainnya belum kembali, suasana juga sudah sepi karena ini sudah termasuk jam malam.
Aku tidak pernah mau menebak apa yang akan terjadi besok dan seterusnya. Enzy adalah istriku, tanggungjawabku, dan seluruh kehidupanku saat ini.
"Kakak ...."
"Hmh?" Aku memasangkan helm di kepalanya saat Enzy masih menatapku dengan senyum manis itu.
"Aku sayang Kakak. Sangat sayang Kakak ...."
"Kau merayuku lagi, hmh? Jangan banyak bergerak, perjalan kita akan jauh, Zy."
Aku pun menaiki motor dan mulai memacunya ke jalanan besar, Enzy hanya memelukku dari arah belakang begitu erat. Perasaan ini melegakan, meski terselip setitik kecemasan untuknya yang tidak terbayangkan. Semoga saja aku bisa terus bertanggungjawab untukmu, Zy.
KAMU SEDANG MEMBACA
HOT WIFE-Mengejar Cinta Istri Kecilku
RomanceCerita si gadis super manja dan pria dewasa dingin