“Hiks … kakak jahat. Kenapa tidak meminta persetujuanku dulu?” Enzy meremas sudut selimut bermotif bunga membalut tubuh, kedua kakinya merapat di atas tempat tidur yang baru kami singgahi satu jam lalu.
Tempat tidur yang cukup besar ini sedikit berantakan akibat permainan pertama kami, malam pertama yang tertunda kini berakhir dengan isakan Enzy.
“Persetujuan? Untuk apa? Kau juga yang mekaksaku menikahimu,” ujarku. Sedikit merasa bersalah sebenarnya, ia begitu kesakitan setelah memberikan pengalaman pertamanya bersamaku.
“Iya tapi kenapa harus sekarang? Aku belum siap,” lirihnya. Disela isakan tangis ia meremas kuat selimutnya lagi.
Jadi tidak tega sendiri dibuatnya, kuhampiri ia yang masih terduduk pasrah di tempat tidur. Semenjak permainan kami berakhir sampai aku selesai mandi, ia terus menangis bagai anak kecil.
Ah, iya. Dia memang masih kecil, 19 tahun usianya. Pemikirannya belum matang juga sifatnya yang mudah sekali berubah. Seperti sekarang.
“Mana yang sakit?” tanyaku.
“Tidak mau. Kakak jahat.” Ia memejamkan mata seolah menahan sakit luar biasa.
Yah, tampaknya aku memang terlalu kasar. Ini pertama kali baginya, tapi aku menyingkirkan alasan itu hanya karena nafsu yang tak bisa kutahan.
“Maaf. Sepertinya aku memang terlalu memaksamu. Sekarang kau mandi dulu sesudah itu kita Shalat Zuhur dan kita bisa melakukan yang kau mau.” Aku mengusap pangkal rambutnya, kedua mata Enzy memutar ke arahku.
“Tapi, Kak, aku tidak mau itu lagi,” ucapnya.
Terkekeh kecil sambil menggelengkan kepala pelan, aku paham maksudnya. Wanita, yah, begitu. Itulah panggilannya sekarang untuk sebuah penekanan status istri.
“Iya, iya baiklah. Aku akan memberi jarak waktu kita berhubungan. Sekarang kau mandi, aku berjanji akan mengantarmu membeli oleh-oleh sebelum kita ke Purwakarta,” ucapku mencoba mengalihkan perhatiannya pada yang lain.
“Benarkah? Tapi aku takut ke kamar mandi. Di sana ada makhluk aneh, aku takut.”
“Oh, ya? Apa kau mau aku menemanimu di dalam sana?” Aku bertanya bernada menggoda, ia lantas meneguk ludah sendiri. Beringsut dari tempat tidur lalu cepat melangkahkan kaki ke kamar mandi.
Bug!
Ia terjatuh sendiri di lantai. Tubuhnya tergulung selimut sampai akhirnya kepalanya timbul lagi untuk mencuri napas.
“Akh!” Enzy meringis. “Ini semua gara-gara Kakak!” omelnya kesal menyalahkanku.
"Apa kau serius? Kau jatuh sendiri, Zy! Atah kau memang mau aku datang ke sana menyusulmu?!" Aku berteriak, Enzy bergegas beranjak dari lantai dan berlari kecil ke kamar mandi.
***
Keesokan harinya aku menepati janji, membawa Enzy ke Purwakarta menemui ayah, ibu, juga Ismi yang kebetulan masih tinggal di sana.Ibu menyambut kami berdua, senyum sumringah merekah. Menantu barunya datang berkunjung selang satu hari pernikahan.
“Arvin! Hai ….” Telapak tangannya melebar, menyapa seseorang yang baru datang usai menutup bengkel tempatnya bekerja.
Arvin adikku, laki-laki usia dua puluh tahun dengan perawakan sedang berhidung mancung itu mengerutkan dahi.
“Assalamu’alaikum, Bu.” Enzy mengucap salam, menghampiri kami seraya mencium punggung tangan ayah dan ibu.
Tak lupa juga menghampiri istrinya yang tengahp hamil empat bulan. Ismi, wanita usia dua puluh dua, dua tahun lebih tua darinya itu menyambut. Membantu merapihkan barang bawaan Arvin dan menyediakan air untuknya melepas penat.
KAMU SEDANG MEMBACA
HOT WIFE-Mengejar Cinta Istri Kecilku
RomanceCerita si gadis super manja dan pria dewasa dingin